Oleh AHMAD ARIF
Letusan Gunung Tambora di Sumbawa tahun 1815 dan Samalas di Pulau Lombok tahun 1257 merupakan yang terkuat dalam sejarah modern. Demikian halnya tsunami Aceh tahun 2004, yang terkuat yang pernah tercatat. Namun, yang paling mematikan sebenarnya ketidaktahuan dan ketidaksiapan manusia menghadapi bencana.
Simak definisi kata “tsunami” yang tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia tahun 2008; “Tsunami adalah gelombang laut dahsyat (gelombang pasang) yang terjadi karena gempa bumi atau letusan gunung api di dasar laut (biasanya terjadi di Jepang dan sekitarnya)”.
Definisi itu dibuat setelah tsunami raksasa yang menghancurkan Aceh pada 26 Desember 2004. Terasa janggal karena menyebut tsunami seakan tak biasa terjadi di Nusantara. Namun, “biasanya terjadi di Jepang dan sekitarnya”.
Kata tsunami memang berasal dari bahasa Jepang, tsu dan nami yang berarti ombak pelabuhan. Kata ini tercatat pertama kali dipakai dalam Sanpuki, sejarah tertuis Jepang untuk mengisahkan kejadian tsunami yang menghancurkan pantai dan pelabuhan di pantai timur Sendai, 2 Desember 1611.
Namun, frekuensi gempa dan tsunami mematikan di Indonesia sebenarnya tak kalah dibandingkan Jepang. Berdasar data National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat, dalam kurun 1800-2014, Indonesia dilanda 262 gempa bumi bermagnitudo M 5 hingga M 9,1 atau sekitar 1,22 per tahun. Jumlah korban tewas 33.713 jiwa. Rangkaian gempa itu memicu 124 tsunami yang menewaskan 237.793 jiwa. Jika ditotal, penduduk di Indonesia yang tewas akibat gempa dan tsunami pada periode ini mencapai 271.506 jiwa. Bencana gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 tercatat menyebabkan jumlah kematian terbanyak dalam sejarah modern.
Pada kurun yang sama, menurut data NOAA, Jepang dilanda 255 gempa bumi bermagnitudo M 5 hingga M 9. Jumlah korban tewas akibat gempa mencapai 222.052 jiwa. Rangkaian gempa ini memicu 124 tsunami yang menewaskan 55.759 jiwa. Jika ditotal, penduduk Jepang yang tewas akibat gempa dan tsunami dalam periode ini mencapai 277.811 jiwa.
Lubang sejarah
Kepala Badan Geologi Surono, dalam diskusi di Bentara Budaya, Jakarta, Jumat (15/8), mengatakan, pengetahuan kita tentang alam Nusantara masih sangat minim. Apalagi, karakter masyarakat cenderung menolak mengingat kejadian bencana yang mematikan.
Menurut Surono, Indonesia juga menjadi negara dengan penduduk terbanyak di dunia yang berpotensi terpapar letusan gunung api. “Sekitar 4 juta penduduk Indonesia tinggal atau beraktivitas di sekitar gunung api,” kata dia.
Di Jepang, tutur Surono, masyarakat sudah lupa dengan letusan gunung api besar karena kejadiannya 7.000 tahun lalu. “Di Indonesia, Tambora dan Krakatau baru terjadi sekitar 200 tahun. Jumlah korban di dua gunung ini lebih dari separuh jumlah korban gunung api di seluruh dunia. Tahun lalu, kami menemukan bahwa letusan Samalas di kompleks Gunung Rinjani tahun 1257 ternyata terbesar,” papar dia.
Geolog Indro Pratomo, yang turut meneliti soal Samalas mengatakan, letusan gunung ini kemungkinan mengubur Kerajaan Lombok dan bagian timur Bali. Bahkan, dampak letusannya pun global. “Diduga penyebab kematian massal di Inggris pada abad ke-13 disebabkan abu Samalas yang memengaruhi iklim global,” ungkap dia.
Menurut Surono, terungkapnya letusan Samalas sebenarnya inisiatif sejumlah peneliti dari luar negeri, khususnya Perancis, yang menemukan jejak rempah vulkanik di Kutub Utara. “Padahal, letusan Samalas ini sebenarnya ada juga dalam Babad Lombok, yang teksnya kami temukan di Leiden, Belanda.”
Anak Gunung Barujari yang tumbuh di tengah kaldera Gunung Rinjani; baru-baru ini dikenal para ahli dengan nama Gunung Samalas. Pada akhir 2013, sejumlah ahli mengungkap letusan mahadahsyat Gunung Samalas pada tahun 1257 yang diduga menghancurkan kerajaan di Lombok dan timur Bali. Letusan itu, selain meninggalkan jejak berupa kaldera besar yang sekarang menjadi Segara Anakan, meninggalkan bukti material erupsi yang ditemukan di Kutub Utara
Kajian kolaboratif
Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) I Made Griya mengatakan, temuan-temuan arkeologis menunjukkan, peradaban Nusantara pada masa lalu sangat dipengaruhi bencana alam. Namun, hingga kini, kajian-kajian kolaboratif yang mempertemukan perspektif geologi dan arkeologi masih jarang dilakukan.
Penggalian Balai Arkeologi Bali dan Puslit Arkenas di lereng Tambora, tepatnya di Desa Oi Bura, Tambora, Kabupaten Bima, sejak 2006-2014 menemukan bukti penting kondisi permukiman sebelum letusan. Beberapa temuan itu adalah balok kayu bekas rumah yang berarang, tembikar, keramik, peralatan rumah tangga, gabah dan kopi, perhiasan, senjata dari logam, serta kerangka manusia. Temuan ini membuktikan masyarakat Tambora saat itu sudah maju dan mengenal perdagangan melalui lautan dengan negara manca, khususnya Tiongkok.
Arkeolog Puslit Arkenas, Sonny Wibisono, mengatakan, tak hanya membawa petaka, alam Nusantara yang didominasi gunung dan lautan juga memberi berkah kesuburan, termasuk komoditas endemik yang pernah jadi primadona perdagangan dunia, seperti cengkeh dan pala.
Selain itu, kata Sony, kondisi alam ini membentuk kebudayaan Nusantara yang khas. Contohnya, keberadaan batu-batuan gunung api yang dijadikan material candi-candi. “Jika tidak berlimpah material batu, Borobudur mungkin tidak bisa begitu megah. Jadi, kondisi alam ini juga menciptakan teknologi sehingga berbeda dengan candi di India,” tutur dia. “Beda dengan tanah liat yang lebih fleksibel, untuk membentuk batu, perhitungannya lebih rumit. Tidak boleh salah memahat.”
Oleh karena itu, pembangunan Indonesia seharusnya dilandasi pemahaman Nusantara secara utuh, baik ancaman bencananya maupun kekayaan alamnya. Gagal memahami kondisi alam Nusantara dan sejarah peradabannya – yang sangat dipengaruhi gunung dan laut – bisa membawa bencana baru.
Bencana itu bisa karena alam atau kesalahan kebijaksanaan. Perlu diketahui, sebagian pantai di Tanah Air ternyata menyimpan bahaya tsunami. Tak bisa lagi sembarangan membangun fasiltias pubik dan fasilitas strategis di sana.
Kompas, Sabtu, 16 Agustus 2014
No comments:
Post a Comment