Oleh IWAN
SANTOSA
Semua orang
tahu, Wage Rudolf Supratman adalah pengarang lagu “Indonesia Raya”. Namun, di
mana rekaman asli lagu tersebut, hingga kini, tak banyak yang tahu. Di antara
banyak referensi yang menelusuri keberadaan rekaman asli lagu kebangsaan
tersebut, salah satunya cerita yang dituturkan almarhum Des Alwi tentang
pengusaha rekaman, pemilik Toko Populair, Yo Kim Tjan.
Pengusaha
asal Pasar Baru, Batavia, pada 1920-an itu, disebutkan oleh Des Alwi, berhasil
merekam dan menggandakan “Indonesia Raya”. Kebetulan, saat ini pemilik toko
yang baru (nama toko berganti jadi Populair), Ayung, dikenal juga sahabat Des
Alwi.
Meski
demikian, seluk-beluk perekaman, penggandaan, dan keberadaan hasil karya revolusioner
lagu “Indonesia Raya” di masa itu – ketika perlawanan komunis terhadap rezim
Hindia-Belanda dipatahkan pada 1926 dan kegiatan politik dikekang penguasa
Eropa – tidak diketahui lebih lanjut.
Pada Oktober
2014, Kompas mengikuti wawancara
dengan Kartika Yo (91), putri Yo Kim Tjan, yang menceritakan salah satu rekaman
asli berupa permainan biola dan vokal WR Supratman “dipinjam” Pemerintah
Republik Indonesia, tetapi tak pernah dikembalikan. Bahkan, hingga kini tak
diketahui rimbanya. Sayangnya, wawancara belum lengkap, Kartika wafat tahun
lalu. Namun, Kartika sempat mengatakan, rekaman asli “Indonesia Raya” ada dua
jenis yang dibuat dan dsimpan keluarganya.
Untungnya,
pendiri Museum Benteng Heritage, Udaya Halim, yang aktif mengumpulkan karya
budaya peranakan Tionghoa untuk Indonesia sempat merekam kesaksian Kartika.
Dalam rekaman, Kartika yang menderita kanker di pita suaranya – meskipun
terengah-engah, tetap penuh semangat – menceritakan riwayat perekaman dan
penggandaan “Indonesia Raya” di piringan hitam.
Menurut
Udaya, penjelasan Kartika yang diverifikasi dengan keterangan sejarawan dari
Yayasan Nabil, Didi Kwartanada, tentang pertemanan WR Supratman – seorang yang
dibesarkan dalam pendidikan Indo-Eropa – dengan Yo, “Indonesia Raya” direkam
dan digandakan setahun sebelum Kongres II Pemuda, 28 Oktober 1928.
“Semula WR
Supratman meminta perusahaan Odeon merekam dan menggandakannya. Namun,
perusahaan asal Eropa itu menolak. Lalu, dia mendatangi Tio Tek Hong, pengusaha
di Pasar Baru, yang juga punya rekaman. Lagi-lagi ditolak. Akhirnya, dia minta
Yo, temannya, membantu,” kata Udaya.
Rekaman
dilakukan di rumah Yo di Jalan Gunung Sahari Raya Nomor 37, dibantu teknisi
berkembangsaan Jerman, yang belum diketahui namanya. Saat itu, WR Supratman
bekerja sebagai wartawan lepas koran Melayu-Tionghoa, Sin Po, yang banyak bersimpati pada pergerakan Indonesia. Di berkas
partitur “Indonesia Raja” (ejaan lama) dari halaman Sin Po milik Udaya – pemberian dokter Djiam, sepupu mantan menteri
Mari Elka Pangestu – tertulis catatan: “…volkslied
Indonesia in weeblad Sin Po van Zaterdag 10 November 1928. De componist WR
Soepratman was stadreporter van Sin Po…” Artinya, lagu kebangsaan Indonesia
dalam terbitan mingguan Sin Po,
Sabtu, 10 November 1928, oleh komponis WR Soepratman adalah wartawan liputan
perkotaan di Sin Po.
Biola dan keroncong
Di rekaman
video wawancara, Kartika terlihat memeluk piringan hitam bertuliskan “Indonesia
Raja” yang dimainkan Populair Orchest dan di bagian atas tertulis British Made
– Electric Recording. “Ada dua jenis rekaman, yakni biola dan vokal WR
Supratman dan satu lagi orkes keroncong bersama sejumlah lagu lain. Setelah
direkam, Yo menyelundupkan piringan master versi keroncong ke Inggris. Di sana
digandakan juga rekaman “Indonesia Raya”, katanya.
Didi
mengatakan, keroncong dipilih karena jenis musik itu populer dan akrab di kelas
terpelajar di Hindia-Belanda sehingga dianggap mudah untuk mengenalkannya.
“Supratman juga aktif di beragam orkes. Meski dibesarkan di keluarga
Indo-Eropa, identitas nasionalnya kuat karena masa itu identitas Eropa juga
menguat. Tentu, kelompok lain yang tak masuk strata atas (Eropa) menguat
identitasnya,” ujarnya.
Akhirnya,
“Indonesia Raya” pun disembunyikan jadi bagian album keroncong Orkes Populair milik Yo. Lagu-lagu di
album tersebut diselipkan di antara lagu-lagu Bodoran Dosblang I-IV, Bodoran Tjipoet I-IV, Lalakon Sarkawie I-VIII.
“Indonesia Raja” Serenade Popular menjadi lagu kesembilan di piringan hitam.
Lagu kesepuluh diselipkan lagi sejumlah lagu, di antaranya “Regenboog
Zoeklicht” dan lagu keroncong lain. “Ini harus disimpan buat Indonesia
merdeka,” kata Kartika saat mengenang pesan Supratman ke ayahnya. Rekaman dapat
dilakukan di Inggris. Namun, naas, rekaman disita setiba di Pelabuhan Tanjung
Priok. Hanya kepingan asli yang lolos dan diamankan keluarga besar Yo. Kepingan
rekaman asli biola dan vokal Supratman kemudian dioplos dengan kepingan
piringan hitam kosong yang belum digunakan agar lolos dari Belanda.
Keping
salinan rekaman asli juga disembunyikan Kartika saat mengungsi bersama
keluarganya ketika Jepang mendarat. Mereka mengungsi ke Karawang hingga Garut.
Kartika yang masih remaja kebagian tugas mengamankan rekaman “Indonesia Raya”
versi biola dan vokal Supratman agar tak disita.
Di saat yang
sama, tambah Didi, Jepang berusaha menyiapkan rekaman propaganda “Indonesia
Raya” yang direkam di Tokyo, dan kepingan piringan hitam yang dibawa Raden
Sudjono, guru bahasa Indonesia asal Puro Pakualaman, Yogyakarta, yang mengajar
di Jepang. Namun, kapal angkut militer Jepang yang membawa piringan hitam
“Indonesia Raya” versi orkes Jepang tenggelam di Teluk Banten saat pertempuran.
Jelang
Jepang kalah, Jepang mengedarkan dan memasyarakatkan “Indonesia Raya” untuk
mengambil simpati. Rekaman lagu itulah yang beberapa tahun lalu disebut Roy
Suryo sebagai rekaman asli “Indonesia Raya”. Rekaman itu diedarkan di Belanda
secara komersial sebagai bagian dari paket CD: “Ons Koninkrijk En De Tweede Wereldoorlog Deel 2 Nederlands-Indie In De
Tweede Wereldoorblog”, produksi Nederlands Instituut voor
Oorlogsdocumentatie, Wanders, Beeld en Geluid, dan Tidjsbeeld Media. Rekaman
itu menampilkan bait ke-2 dan bait ke-3 “Indonesia Raya” yang bermaksa
filosofis mengisi kemerdekaan dan revolusi kepribadian. Sayangnya, bait ke-2 dan
bait ke-3 kurang dikenal.
“Dipinjam” negara
Setelah merdeka, 1947, Yo berkunjung ke
Belanda. Saat bersantap di Restoran Indonesia, pemilik restoran yang tahu
tamunya dari Indonesia memutarkan piringan hitam. Ternyata, yang diputar adalah
“Indonesia Raya” yang disita Belanda. “Di pengantar musiknya terdengar suara Yo
selaku pemimpin orkes. Yo lalu menunjukkan nama di paspornya dan menebusnya 15
gulden,” ujar Udaya.
Rekaman
versi keroncong itu kemudian dibawa ke Indonesia. Yo kemudian berusaha menggandakan
“Indonesia Raya” karena punya copyright-nya,
tetapi tak diizinkan pimpinan RRI, Maladi, yang kemudian jadi Menteri
Penerangan. Pada 1957, Yo kembali berusaha menggandakan “Indonesia Raya”.
Komposer Kusbini kemudian meminjam rekaman tersebut untuk kepentingan negara
dengan bekal surat Maladi, yang diserahkan kepada keluarga Yo. Namun, lanjut
Udaya, mengutip rekaman video kesaksian Kartika, rekaman asli tersebut tak
pernah dikembalikan lagi kepada keluarga Yo. Kartika beberapa kali membawa
rekaman keroncong “Indonesia Raya” saat Sumpah Pemuda digelar, tetapi tak
direspons.
Kini, salah
satu salinan rekaman itu dapat diselamatkan Udaya atas izin Kartika.
Mudah-mudahan ada perhatian Pemerintah Indonesia atas dua versi rekaman
“Indonesia Raya” yang “dipinjam” dan tak tentu rimbanya itu.
Kompas,
Minggu, 16 Agustus 2015
No comments:
Post a Comment