Oleh AHMAD ARIF
Danau Toba di Sumatera Utara telah diketahui terbentuk dari letusan gunung api raksasa. Letusan terakhirnya, pada 74.000 tahun lalu, merupakan yang terkuat di Bumi dalam 2 juta tahun terakhir. Letusan itu ternyata bukanlah aktivitas terakhir vulkanologi Toba.
Potret pemandangan di salah satu sudut Danau Toba, Desa Parapat, Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, 28 Juni lalu. (Kompas/Wawan H Prabowo)
Dengan meneliti umur material vulkanik sekitar Toba menggunakan radioaktif argon-argon (40Ar/39Ar), Craig A Chesner, geolog dari Eastern Illinois University, menyimpulkan, danau ini terbentuk melalui empat fase letusan. Letusan awal terjadi 1,2 juta tahun lalu, menciptakan Kaldera Haranggaol. Letusan berikutnya sekitar 840.000 tahun lalu menghasilkan kaldera di sebelah timur, meliputi Prapat dan Porsea. Sekitar 501.000 tahun lalu, Toba kembali meletus dan menghasilkan kaldera utara di Silalahi dan Haranggaol.
Letusan terakhir, sekitar 74.000 tahun lalu, merupakan yang terdahsyat dan membentuk danau seperti sekarang. Letusan ini mengeluarkan magma (thepra) ke udara dengan volume 2.800 kilometer (km) kubik atau sekitar dua kali besaran gunung tertinggi di dunia, Everest. Letusan Toba merupakan yang terkuat di Bumi dalam dua juta tahun terakhir.
Kajian Chesner yang dipublikasikan dalam jurnal Quaternary International tahun 2011 ini menyebutkan, luncuran awan panas letusan Toba mencapai area seluas 20.000 km persegi, menimbun daratan Sumatera dengan ketebalan material rata-rata 100 meter dan di beberapa area mencapai 400 meter. Letusan Toba menyemburkan abu yang menutupi wilayah 4 juta km persegi. Jejak abu Toba di Perak dan Pahang (Malaysia), yang jaraknya lebih dari 400 km, memiliki ketebalan 1,5-6 meter.
Namun, bencana terbesar dan berskala global dari letusan Toba adalah terjadinya pendinginan Bumi secara tiba-tiba. Abu Toba telah melapisi atmosfer dan menghalangi sinar matahari selama bertahun-tahun. Beberapa jurnal menyebutkan, letusan Toba nyaris memunahkan kehidupan di Bumi.
Ahli genetika Stephen Oppenheimer (2012) meyakini migrasi manusia dari Afrika ke Asia sempat terhenti ketika terjadi letusan Toba, 74.000 tahun lalu. Diduga, letusan Toba telah memunahkan migrasi pertama manusia modern Homo sapiens ke luar Afrika yang terjadi sekitar 120.000 tahun lalu. Itulah yang menyebabkan manusia di dunia saat ini memiliki leluhur dari gelombang migrasi kedua dari Afrika, sekitar 71.000 tahun lalu atau sekitar 3.000 tahun setelah letusan Toba.
Setelah erupsi
Setelah letusan hebat pada 74.000 tahun lalu, kubah gunung Toba runtuh dan melalui proses ribuan tahun akhirnya terisi air dan terbentuk danau vulkanik terbesar di dunia. ”Ternyata yang runtuh saat itu baru bagian atap dapur magma. Di bawahnya masih ada magma sangat besar,” kata Indyo Pratomo, geolog senior dari Museum Geologi Badan Geologi, yang sejak beberapa ta- hun terakhir aktif meneliti Toba bersama sejumlah geolog lain dari berbagai belahan dunia.
Menurut Indyo, Toba masih menjadi fokus studi banyak geolog dunia karena dampak global letusannya pada masa lalu dan prospeknya pada masa mendatang. Penelitian Indyo bersama Shanaka L De Silva dari Oregon State University, Amerika Serikat, yang dipublikasikan di jurnal Frontiers in Earth Science (2015) membuktikan adanya aktivitas magmatis Toba setelah letusan 74.000 tahun lalu dalam bentuk pengangkatan Pulau Samosir dari dasar kaldera.
Bukti-bukti pengangkatan Pulau Samosir tersebut dipastikan dengan adanya fosil ganggang—yang hanya hidup di dalam air—yang ditemukan di hampir semua lapisan tanah pulau ini. Indyo dan tim kemudian menghitung laju pengangkatan pulau ini berdasarkan umur lapisan endapan tanah di Pulau Samosir.
Titik tertinggi di Pulau Samosir saat ini berada di ketinggian 1.600 meter dari permukaan laut (mdpl). Padahal, titik terdalam atau dasar Kaldera Toba berada di ketinggian 400 mdpl. ”Jadi setidaknya, Pulau Samosir telah terangkat 1.200 meter dalam kurun 74.000 tahun setelah letusan terakhir,” kata Indyo.
Laju pengangkatan Pulau Samosir akibat dorongan magma ini 4,9 sentimeter (cm) per tahun selama 11.200 tahun pertama setelah letusan Toba. Laju pengangkatan Samosir cenderung melemah hingga lebih kecil dari 1 cm per tahun dalam 22.500 tahun terakhir.
”Hal ini bisa jadi karena energi magma Toba sudah mencapai kesetimbangan baru atau bisa jadi terdapat saluran baru, misalnya dengan munculnya Gunung Pusuk Buhit (di Pulau Samosir) dan beberapa aktivitas vulkanik lain di sekitar kaldera,” katanya.
Pertanyaan dalam penelitian ini kemudian terjawab dalam penelitian lanjutan yang dilakukan Indyo bersama geolog Adonara E Mucek dari Universitas Oregon State (Amerika Serikat) dan para ahli lain dari Universitas Curtin (Australia), Universitas Heidelberg (Jerman), Universitas Stanford (Amerika Serikat) telah diterbitkan di jurnal internasional bergengsi, Nature Communication, pada Mei 2017.
Proses pengangkatan Pulau Samosir dari dasar Danau Toba hingga ketinggian 1.200 meter.
Sinabung
Dalam penelitian tersebut ditemukan jejak mineral zirkon (Zr) yang bersumber dari magma Toba berusia 74.000 tahun lalu dalam aliran lava Gunung Sinabung. ”Temuan ini menjadi indikasi awal adanya kaitan Gunung Sinabung dengan Toba,” katanya.
Sinabung saat ini merupakan salah satu gunung paling aktif di Indonesia dan terus erupsi sejak tercatat meletus pada 2010. Sebelumnya, gunung setinggi 2.460 mdpl dan terletak sekitar 30 kilometer (km) sebelah utara-barat daya Danau Toba ini tertidur selama 1.200 tahun.
Indyo menjelaskan, dapur magma Gunung Sinabung kemungkinan tumbuh di atas dapur magma Toba purba. ”Setelah seribuan tahun tidur dan kemudian meletus, artinya ada injeksi magma baru ke dapur magma Sinabung. Injeksi ini rupanya menerobos bagian dapur magma Toba purba dan terbawalah mineral zirkon dari sana kemudian terbawa dalam aliran lava Gunung Sinabung,” kata Indyo.
Temuan ini juga mengindikasikan sistem magma Toba ternyata jauh lebih besar—30 km lebih jauh ke utara dari yang sebelumnya diperhitungkan para ahli, misalnya oleh Masturyono (2001) dan Koulakov (2009). Kajian-kajian sebelumnya ini menyebutkan, ujung utara sistem magma Toba berada di Tanduk Benua (Sipisupisu) dan Singgalang. “Hal ini seharusnya berpengaruh terhadap upaya memperhitungkan ancaman bahaya di kawasan ini,” kata Mucek.
Untuk memastikan perluasan sistem magma Toba ini, Mucek dan tim akan melakukan kajian intensif kondisi bawah permukaan, mulai dari Sipisupisu hingga Sinabung. ”Dugaan keterkaitan sistem magma Toba ini yang mungkin turut menyebabkan letusan Gunung Sinabung tidak berhenti-henti,” kata Indyo.
Ahli gunung api Surono mengatakan, Toba merupakan kaldera gunung api terbesar di dunia sehingga pasti memiliki dapur magma sangat besar. ”Wajar jika semua gunung api yang berdekatan, bukan hanya Sinabung, Gunung Sibayak pun layak diduga ada kaitannya dengan Toba. Selama Sinabung meletus, kecil kemungkinan Sibayak akan turut meletus karena aliran magmanya sudah tersalurkan. Ini seperti Merapi dan Merbabu, yang letusannya tersalurkan di Merapi,” katanya.
Terkait bagaimana masa depan aktivitas Toba, Surono mengatakan tidak bisa menjawabnya karena datanya belum cukup. Hal yang jelas, periode letusan besar Toba sebelumnya, setidaknya terjadi dalam siklus sekitar 350.000 tahunan. ”Akhir dari proses alam tidak harus sama dengan masa lalu, tetapi bisa bergantung dengan proses saat ini,” kata Surono.
Kompas, Minggu, 9 Juli 2017
No comments:
Post a Comment