Friday 28 December 2018

Indonesia Diguncang 11.577 Gempa Sepanjang 2018

JAKARTA, KOMPAS ━ Frekuensi gempa bumi di Indonesia terus meningkat sejak lima tahun terakhir. Sepanjang 2018, terjadi 11.577 kali gempa, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2017 sebanyak 6.929 kali dan hampir empat kali lipat dibandingkan dengan 2013.
Berdasarkan data Pusat Gempa Nasional Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), selama 2018 aktivitas gempa di Indonesia didominasi dari sumber dangkal atau kurang dari 60 kilometer yang mencapai 9.585 kali. Gempa dengan kedalaman sumber menengah atau berkisar 61-300 kilometer terjadi 1.856 kali. Sementara gempa hiposenter dalam atau di atas 300 km hanya terjadi 136 kali.
"Di antara belasan ribu gempa ini, yang merusak 23 kali," kata Kepala Bidang Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Daryono di Jakarta, Jumat (28/12/2018).
Gempa merusak tersebut di antaranya terjadi di Lebak, Banten, M 6,1 pada 23 Januari yang menyebabkan 1.231 rumah rusak dan 1 orang meninggal. Berikutnya gempa Geumpang, Aceh Barat, pada 8 Februari berkekuatan M 6,3 merusak 11 rumah dan 1 masjid. Gempa M 4,8 terjadi di Sumenep, Madura, 13 Juni, merusak 77 rumah dan 6 orang luka-luka. Gempa Lebak pada 7 Juli M 4,4 merusak 28 rumah.
Adapun gempa M 4,4 terjadi di Muara Teweh pada 12 Juli dan merusak beberapa rumah. Gempa M 5,2 di Kepulauan Mentawai pada 20 Juli menyebabkan 12 rumah rusak. Gempa berkekuatanM 5,3 melanda Padang Panjang pada 21 Juli.
Berikutnya, gempa merusak terjadi beruntun di Lombok sejak 29 Juli dan di Sulawesi Tengah 28 September 2018. Terbaru, gempa M 6 terjadi di Manokwari pada 28 Desember 2018. Episenter gempa di darat pada jarak 11 km arah selatan Kota Manokwari di kedalaman 80 km.
"Dengan memperhatikan lokasi episenter dan kedalaman hiposenter, gempat terjadi merupakan jenis dangkal akibat akitvitas sesar Yapen," kata Daryono.
Peningkatan jumlah aktivitas gempa itu terjadi sejak tahun 2013. Saat itu jumlah gempat yang terjadi di Indonesia 4.234 kejadian, lalu tahun 2014 meningkat menjadi 4.434 kejadian, tahun 2015 sebanyak 5.292 kali, dan selanjutnya pada 2016 menjadi 5.645 kejadian.
"Kami belum tahun mengapa terjadi peningkatan frekuensi gempa bumi. Namun, untuk tahun ini kemungkinan karena ada gempa besar yang diikuti sejumlah gempa susulan, termasuk ada gempa swarm (beruntun) di Mamasa," kata Daryono.
Roger Bilham dari Universitas Colorado dan Rebecca Bendick dari Universitas Montana sebelumnya memperingatkan kenaikan frekuensi gempa. Hal itu disampaikan dalam risetnya yang dipublikasikan di Geophysical Research Letters pada Agustus 2017 dan dipaparkan pada pertemuan tahunan Geological Society of America, akhir Oktober 2017.
Awal siklus
Kajian Bilham dan Bendick ini didasarkan data statistik sejak 1900 yang menunjukkan kaitan kenaikan jumlah gempa besar secara global dengan perlambatan rotasi Bumi setelah memasuki periode 5-6 tahun. Siklus itu terjadi setiap 32 tahun sekali. Tahun 2018 disebut awal siklus meningkatnya gempa besar tersebut.
Menurut kajian itu, jika tahun-tahun biasanya gempa besar terjadi rata-rata 15 kali setahun di dunia, dalam siklus 32 tahunan terjadi 25-30 gempa besar setahun. Dua peneliti itu mencari anomali ini dan menyimpulkan, kenaikan aktivitas gempa terjadi setelah sekitar rotasi Bumi melambat milidetik dalam sehari.
Profesor geologi dari Brigham Young University, AS, Ron Haris, dalam diskusi di Pusat Studi Geoteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bandung, juga mengingatkan potensi gempa-gempa besar di Indonesia yang mendekati siklusnya. Menurut data historis, Indonesia memiliki siklus gempa-gempa besar, lalu sepi dari gempa.
Setelah gempa Aceh tahun 2004, Indonesia memasuki siklus gempa besar. Kerentanan bencana di Indonesia dikhawatirkan meningkat seiring pertumbuhan penduduk di zona rentan bencana (Kompas, 15 Juni 2017).
Dalam pemetaan Haris, daerah yang dikhawatirkan berisiko tinggi adalah selatan Jawa hingga selatan Bali. Kerentanan di Bali amat tinggi karena besarnya populasi wisatawan di kawasan ini, terutama di selatan Bali yang berhadapan dengan zona subduksi. Kajian paleotsunami yang dilakukannya tahun lalu menemukan dua lapisan deposit tsunami di selatan Bali. (AIK)
Kompas, Sabtu, 29 Desember 2018

No comments:

Post a Comment