Friday 8 March 2019

Seks, Manusia Modern, dan Kesejahteraan

Oleh M ZAID WAHYUDI
Manusia adalah makhluk seksual, punya dorongan seksual, butuh berhubungan seks, dan ingin kepuasan seksual. Namun, bagi sebagian orang, seks bukan lagi jadi hal yang menyenangkan. Terus turunnya gairah seksual masyarakat perkotaan dianggap sebagai puncak ketidakbahagiaan manusia modern.
Di Indonesia, isu menurunnya frekuensi hubungan seksual masyarakat memang belum jadi perhatian. Wajar, hingga kini Indonesia masih berusaha menurunkan fertilitas warganya hingga mencapai titik penduduk tumbuh seimbang.
Namun, dugaan turunnya hasrat seksual itu sudah muncul dari analisis terhadap data hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017 yang dipublikasikan 9 Oktober 2018. Meski tingkat pemakaian kontrasepsi modern turun dan jumlah anak ideal versi laki-laki naik, tingkat fertilitas masyarakat justru turun.
Walau belum ada data tentang turunnya frekuensi hubungan seksual di Indonesia, apa yang dialami Daya (39) bisa jadi pertanda. Perempuan yang tinggal di Bogor, Jawa Barat, itu selalu kelelahan saat pulang kerja dari kantornya di Jakarta. Hanya untuk kerja 8 jam sehari, ia harus menempuh perjalanan 5 jam pergi-pulang dengan sepeda motor dan kereta.
Setiap hari, pagi buta ia sudah keluar rumah dan tiba kembali di rumah saat hari sudah gelap. Di rumah, ia disibukkan berbagai urusan, seperti membersihkan rumah, memasak, dan membantu anak mengerjakan pekerjaan rumah. Kesibukan dan kelelahan itu membuat hasratnya berhubungan suami-istri tergerus.
Hal serupa dialami Vetty (40), warga Bandung, Jawa Barat, Perempuan yang punya anak balita itu mengaku keinginan untuk berhubungan suami-istri mencapai titik nadir setelah melahirkan hingga anaknya berumur 1 tahun 6 tahun. Mengurus anak, rumah, dan pekerjaan paruh waktu menguras tenaganya.
Saat anak-anak semakin besar, gairah itu tumbuh kembali. Namun, karena suaminya bekerja di luar kota, praktis dia jarang melakukannya. "Sebulan paling hanya 4-6 kali saja," katanya.
Masalah Daya dan Vetty itu bisa jadi cerminan perilaku seksual kaum urban Indonesia. Beban kerja dan pekerjaan domestik, stres di perjalanan, hingga terpisahnya tempat tinggal suami-istri berpotensi menurunkan frekuensi dan kualitas hubungan seksual mereka.
Bisa saja Anda menyangkal tak memiliki masalah seperti yang dihadapi Daya dan Vetty. Namun, jika hal terakhir dan pertama yang Anda lihat sebelum dan sesudah tidur bukanlah suami atau istri Anda, dapat dibayangkan seberapa sering dan berkualitas hubungan seksual itu.
Negara maju
Persoalan turunnya frekuensi hubungan seksual itu jadi perhatian serius di sejumlah negara maju. Kurangnya frekuensi hubungan suami-istri berkorelasi dengan rendahnya tingkat kesuburan masyarakat, situasi yang membuat negara-negara maju kekurangan tenaga kerja produktif dan menghadapi lonjakan penduduk lansia.
Studi Jean M Twenge dkk (2017) menyebutkan, frekuensi orang Amerika Serikat berhubungan seks turun 15 persen pada 1990-an hingga 2010-an. Sebelumnya, mereka berhubungan seks 5,2 kali sebulan, tetapi dua dekade berikutnya menjadi 4,4 kali sebulan.
Di Inggris, Survei Perilaku Seksual dan Gaya Hidup Nasional (Natsal) 2013 menemukan masyarakat berhubungan seks 6,3 kali sebulan pada 2000 dan menjadi 5 kali sebulan, pada 2013. Situasi serupa terjadi di Australia, yaitu dari 7,2 kali sebulan pada 2004 jadi 5,6 kali sebulan pada 2014.
Kondisi di Jepang mungkin paling mengkhawatirkan. Survei Perkumpulan Keluarga Berencana Jepang (JFPA), dikutip dari nippon.com, 23 Februari 2017, menyebutkan, 47,2 persen pasangan menikah di Jepang tidak melakukan hubungan seks sama sekali minimal satu bulan. Jumlah itu lebih tinggi 15,3 persen dari survei serupa pada 2004.
Kekurangtertarikan warga Jepang terhadap seks itu sudah terjadi sejak muda. Survei Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang tentang hubngan laki-laki dan perempuan yang dikutip dari japantimes.co.jp, 29 April 2012, menunjukkan terus naiknya pemuda laki-laki dan perempuan yang tak tertarik dengan seks.
Pada 2008, sebanyak 11,8 persen laki-laki dan 25 persen perempuan Jepang umur 20-24 tahun tidak berminat dengan seks. Pada 2010, jumlahnya naik jadi 21,5 persen pada laki-laki dan 35 persen pada perempuan. Di usia yang lebih muda lagi, semakin besar keengganan mereka terhadap seks.
Turunnya hasrat seksual pada anak muda itu terjadi di banyak negara. Studi Twenge dkk (2015) menunjukkan, pada usia yang sama, generasi milenial (generasi Y, lahir 1980-2000) paling sedikit berhubungan seks dibandingkan dengan generasi X (lahir 1960-1980) dan generasi baby boomer (lahir 1940-1960).
Namun, Guru Besar Andrologi dan Seksologi Fakultas Kedokteran Universitas Udaya Denpasar Wimpie Pangkahila mengatakan, tidak ada ketentuan berapa kali hubungan suami-istri harusnya dilakukan dalam seminggu. Namun jika kurang, tentu menimbulkan ketidakpuasan.
"Hubungan seks yang sehat dilakukan karena kesepakatan kedua pihak, terserah berapa kali, tetapi harus bisa memuaskan keduanya," tambahnya.
Kesenangan
Antropolog jender, seksualitas, dan kesehatan di Departemen Antropologi Universitas Indonesia, Irwan Martua Hidayana, mengatakan, fungsi dasar seks adalah untuk kesenangan. Namun, di masa lalu, fungsi reproduksi seks tak bisa dilepaskan. Hal itu setidaknya terlihat dari berbagai naskah kuno atau relief candi terkait seksualitas yang ada di sejumlah negara.
Setelah revolusi industri, fungsi kesenangan dan reproduksi seks dipisahkan. Berkembangnya teknologi kontrasepsi membuat orang semakin tidak khawatir hubungan seks bisa memicu kehamilan. Saat inilah, seks lebih dimaknai sebagai rekreasi.
Selain itu, masyarakat modern mencoba memandang seks sebagai sains hingga memunculkan berbagai pengetahuan guna mewujudkan seks "berkualitas". Akibatnya, hubungan suami-istri jadi hal yang terukur yang justru menimbulkan tekanan dan stres sehingga hasrat seksual pun turun. "Seks jadi hal teknis belaka dan lupa kesenangannya," katanya.
Namun, penyebab utama dari turunnya hasrat seks diyakini karena manusia modern memiliki beban jiwa yang lebih besar dibandingkan dengan generasi  sebelumnya. Beban jiwa itulah yang akhirnya memengaruhi gairah dan kepuasan seksual mereka.
Teknologi, khususnya internet, juga sering dituding menurunkan aktivitas seks masyarakat. Pornografi dan media sosial dinilai bisa mengalihkan perhatian, kesenangan, dan keinginan untuk menikah dan berhubungan seks. Namun, dampak itu masih diperdebatkan karena studi lain justru menunjukkan pornografi terukur, bukan kecanduan, bis amembangkitkan gairah seksual.
Selain teknologi, beban hidup juga dianggap menyebabkan turunnya gairah seksual. Beban pekerjaan, tekanan kehidupan, mobilitas yang tinggi, stres, dan kelelahan fisik bisa memengaruhi hasrat seks. Demikian pula dengan situasi krisis politik,ekonomi, dan sosial budaya.
Namun, alasan kelelahan tak selamanya valid. Studi JS Hyde dkk (1998) menunjukkan, aktivitas, kepuasan, dan keinginan seksual antara ibu rumah tangga dan ibu yang bekerja tidak berbeda. Bahkan, studi Twenge dkk (2015) menunjukkan beban kerja yang tinggi justru meningkatkan frekuensi hubungan seks.
Meski demikian, pekerjaan yang buruk memberi banyak tekanan atau memicu stres sehingga bisa memperburuk kesehatan mental seseorang dibandingkan dengan yang menganggur. Studi Evan Atlantis dkk (2012) menunjukkan depresi mengurangi hasrat seksual dan menambah risiko disfungsi seksual. Stres mengubah produksi hormon sehingga membentuk citra negatif pada tubuh dan pasangan.
Situasi itu bisa menjelaskan mengapa gairah seks generasi milenial lebih rendah ketimbang generasi sebelumnya walau mereka lebih terbuka terhadap seks. Anak milenial lebih rentan stres. Mereka memiliki kekhawatiran lebih besar terkait pekerjaan, perumahan, dampak perubahan iklim, hingga rusaknya ruang komunal dan kehidupan sosial.
Karena itu, turunnya frekuensi hubungan seks diyakini jadi cerminan kesehatan mental masyarakat. Tak berlebihan jika kurangnya gairah seks dipandang sebagai puncak beban mental manusia modern.
Situasi itu dikhawatirkan akan menjadikan masyarakat murung, menurunkan produktivitas, dan meningkatkan beban kesehatan. Ujungnya, kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat akan turun, suatu hal yang jadi fokus tujuan pembangunan.
Kompas, Minggu, 4 November 2018

No comments:

Post a Comment