Di Pulau Chang Zhou di kawasan delta Sungai Mutiara, kota Guangzhou, Provinsi Guangdong, berdiri Akademi Militer Huang Pu yang melahirkan para tokoh militer dan pemimpin Tiongkok modern yang tidak hanya menyimpan sejarah Tiongkok, tetapi juga hubungan dengan kepulauan Nusantara.
Pada halaman depan dekat pintu masuk Kesatrian Huang Pu, terdapat batu bertuliskan aksara Han Zi (kanji) berisi nama para alumnus Angkatan I hingga Angkatan VII.
Sejak berdiri tahun 1924, Akademi Militer Huang Pu (Huang Pu Jun Xiao - 黄埔军校) atau Akademi Militer Whampoa menjadi simbol sejarah kepulauan Nusantara alias Insulinde atau Indonesia pra-kemerdekaan dan perang kemerdekaan Republik Indonesia. Sejarawan Didi Kwartanada dari Yayasan Nation Building (Nabil) menjelaskan adanya pemuda-pemuda peranakan Tionghoa dari Pulau Jawa yang masuk Akademi Militer (Akmil) Whampoa.
Pendiri akademi itu adalah Bapak Tiongkok Modern, Sun Yat Sen, yang juga mendapat masukan dari tokoh komunis Henk Sneevliet asal Belanda yang sebelumnya di Hindia-Belanda (Indonesia masa penjajahan) banyak mendampingi kaum buruh dan memperjuangkan keadilan sosial versi komunis, hingga akhirnya diusir Pemerintah Hindia-Belanda.
Sejarawan Bonnie Triyana mengisahkan, Henk Sneevliet yang dikenal di Tiongkok sebagai Maring juga menjadi salah satu tokoh penting pendirian Partai Komunis Tiongkok yang kini menjadi salah satu kekuatan politik dunia.
Pendirian Akademi Militer Huang Pu menjadi sarana perjuangan Tiongkok modern dan juga bangsa-bangsa lain yang bersimpati pada gagasan anti imperialisme dan penjajahan. Pada masa Perang Sino-Japan, semakin banyak pemuda Tiongkok dan mancanegara uang datang membantu Pemerintah Tiongkok di bidang militer serta bantuan kemanusiaan, termasuk dari kepulauan Nusantara yang masih menjadi kawula jajahan Belanda.
Jenderal dan politisi
Yang Jian Yu, guru dari Guang Xi International Youth Exchange, mendampingi Kompas melihat batu peringatan berisi nama-nama alumni Akmil Huang Pu. Tokoh-tokoh yang dikenal di Indonesia seperti Lin Biao dan Zhou En Lai adalah alumni Akmil Huang Pu. Zhou En Lai berhubungan erat dengan Soekarno dalam Konferensi Asia-Afrika, serta sama-sama memperjuangkan gagasan Asia-Afrika yang merdeka, mandiri, bermartabat, dan berkepribadian. Sesuai gagasan Trisakti yang diperjuangkan Bung Karno.
Sebelum perang kemerdekaan Republik Indonesia, sejumlah alumnus Huang Pu datang ke Pulau Jawa. Beberapa orang di antara mereka terlibat dalam perang membela “Panji Merah Putih”. Dalam buku Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran terbitan Penerbit Buku Kompas (PBK), terungkap adanya sosok Kho Sien Hoo asal Fujian yang menjadi salah satu pemimpin dalam Pertempuran Palagan Ambarawa. Pramoedya Ananta Toer mencatat dalam biofrafi Ghanda Winata Bangkit serta Pantang Menyerah: Kisah Nyata Inspiratif Seorang Prajurit, Pendidik, dan Pebisnis Tionghoa diungkapkan Surjo Budihandoko alias Kho Sien Hoo menjadi Komandan Tertinggi Laskar Rakyat Magelang dan Kedu. Kho memimpin BKR merampas senjata Nakamura Butai serta melawan Inggris-Gurkha dan NICA di Palagan Ambarawa.
Ghanda Winata, mantan perwira TNI AL berdarah Tionghoa yang pernah menjadi instruktur mantan Dan Korps Marinir Mayor Jenderal (Purn) Djoko Pramono, mengisahkan, mertuanya datang ke Jawa bersama dua alumnus Akmil Whampoa.
“Temannya yang lain adalah Lim Tjiang Kee dan Lim Sun Kho,” kata Gandha yang namanya telah direhabilitasi setelah turut menjadi kambing hitam Orde Baru pasca peristiwa 1965.
Sejarawan Universitas Makau, Akiko Sugiyama, yang fasih berbahasa Indonesia mengaku belum mendengar adanya kajian mendalam tentang para pemuda dari Jawa yang tahun 1930-an masuk Akmil Huang Pu, dan di sisi lain alumni Huang Pu yang aktif terlibat dalam upaya membantu kemerdekaan Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara.
Didi Kwartanada mengingatkan, bagian sejarah yang terlupakan antara Huang Pu dan Nusantara itu merupakan salah satu simpul perekat Indonesia-Tiongkok seperti diperjuangkan Bung Karno sewaktu Indonesia berdiri dengan poros Jakarta-Peking. Sejarah itu adalah salah satu faktor perekat dua bangsa besar. Bangsa yang besar juga tidak melupakan jasa para pejuangnya… (IWAN SANTOSA, dari Guangzhou, Tiongkok)
Kompas, Minggu, 23 November 2014
No comments:
Post a Comment