Oleh ADNAN PANDU PRAJA
Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan seseorang menteri sebagai tersangka, pada umumnya mereka resisten dan mengatakan dirinya tidak merasa pernah korupsi. Sayangnya, hal tersebut juga diamini oleh presidennya.
Fenomena tersebut menggambarkan elite pemerintahan lalu tidak punya kemauan politik (political will) serius dalam memberantas korupsi dan sangat bertolak belakang dengan janji politiknya pada masa kampanye 2009. Ketiadaan political will serupa telah terjadi sejak presiden pertama dengan dikebirinya cikal bakal KPK dengan nama PARAN (Panitia Retooling Aparatus Negara) yang dipimpin AH Nasution.
Dalam perkembangannya, nasib lembaga pemberantas korupsi kembang kempis berganti-ganti nama sampai saat ini. Sebagai masyarakat paternalistik, sesungguhnya peranan pimpinan nasional sangat mujarab mencegah berkembangnya korupsi. Kata orang bijak, ikan busuk mulai dari kepalanya.
Belajar dari kealpaan kampanye 2009 lalu yang hanya menjadikan KPK sebagai komoditas kampanya belaka, para calon presiden pada Pemilu 2014 didaulat menandatangani tujuh komitmen pemberantasan korupsi di hadapan semua media nasional yang sedang meliput deklarasi harta kekayaan para calon presiden di Komisi Pemilihan Umum tanggal 30 Juni 2014.
Akibatnya, siapa pun yang akan terpilih sebagai presiden tak bisa mengelak untuk menjalankan butir kelima komitmen pemberantasan korupsi “mewujudkan adanya tes integritas dalam perekrutan dan promosi di kementerian dan lembaga”.
Komitmen Jokowi
Dalam rangka menjaga konsistensi antara janji politiknya yang akan mendukung anggaran KPK 10 kali lipat dan mematuhi butir kelima komitmen pemberantasan korupsi tersebut, Jokowi merasa perlu datang ke KPK mendengar penjelasan KPK terkait dengan nama calon-calon pembantunya beberapa saat sebelum dilantik sebagai presiden walaupun ditentang para pendukungnya. Itu karena beliau sangat paham risiko yang akan ditanggung apabila mengabaikan rekomendasi KPK, baik terhadap kinerja maupun citra kabinetnya.
Waktu pelacakan yang begitu singkat membuat sulit bagi KPK untuk menjamin mereka tidak akan berurusan dengan KPK selama lima tahun ke depan. Masih ada dua kriteria lagi yang harus dilalui para pembantu presiden; clear dan hebat (“KPK dan Jokowi-JK”, Kompas, 26 Agustus 2014). Yang utama, mereka harus berani menolak intervensi parlemen atau berkolusi dengan partai pengusungnya.
Ternyata hubungan kolutif bukan monopoli Indonesia yang menduduki urutan ke-114 dengan Indeks Persepsi Korupsi 32. Hubungan kolutif terjadi pula baru-baru ini di Negara Bagian New South Wales, Australia, yang melibatkan dua menteri dari Partai Buruh dalam perizinan industri ekstraktif. Padahal, Australia berada di urutan ke-9 dengan indeks 81.
Arti penting konsultasi Jokowi ke KPK malam terakhir sebelum dilantik sebagai presiden memberi pesan kepada seluruh komponen bangsa. Pertama, Presiden telah merekonstruksi batasan hak prerogatif Presiden dalam menentukan para pembantunya tidak lagi bersifat absolut, rahasia, dan sakral. Warna-warni KPK terhadap daftar calon menteri menjadi pertimbangan khusus.
Kedua, Presiden sangat paham posisi KPK sebagai tumpuan harapan rakyat. Bermitra dengan KPK akan memperkuat legitimasi kabinet pro rakyat. Kinerja KPK yang tidak kenal kompromi sangat dibutuhkan untuk membersihkan birokrasi kumuh yang sudah sangat menggurita. Pilihan Presiden berdekat-dekatan dengan KPK bukan tanpa risiko karena setiap saat juga bisa berurusan dengan KPK. Berdasarkan pengalaman selama ini, mereka yang bermasalah cenderung menjaga jarak dengan KPK.
Ketiga, integritas lebih penting daripada kompetensi. Beberapa calon yang tereliminasi memiliki kompetensi yang sangat memadai, tetapi integritasnya diragukan. Para penghuni tahanan KPK umumnya memiliki kompetensi. Bahkan tiga orang bergelar guru besar. Saatnya mereka yang berintegritas tampil memimpin, sebaliknya yang minim integritas akan tergusur.
Jaksa Agung dan Kapolri
Klimaks dari proses seleksi pembantu Presiden nanti pada pergantian Jaksa Agung dan Kapolri khususnya. Untuk itu, kiranya Polri harus secara proaktif membersihkan aparatnya yang berpotensi mencederai visi misi Presiden. Musababnya, visi misi Jokowi-JK akan menempatkan Polri dalam kementerian negara secara bertahap.
Konsekuensi turunan dari kebijakan Presiden, para menteri juga harus memilih para eselon di bawahnya yang berintegritas mulia dengan melibatkan KPK. Di antara eselon I, yang paling berperan signifikan mencegah korupsi adalah inspektorat jenderal. Peranannya sebagai konsultan ataupun quality assurance sangat strategis sebagai second line of defence sebelum ditangani BPK maupun KPK (“Saran Pengawasan kepada Capres”, Kompas, 24 Juli 2014).
Keempat, Presiden memberi contoh bagaimana menafsirkan pasal uji publik pada pemilihan kepala daerah, yang diatur dalam UU Pilkada. Dalam waktu yang memadai, tanpa biaya dan dilakukan oleh instansi yang memiliki kompetensi serta independen, Presiden dapat memperoleh gambaran integritas para calon pembantunya. Karena UU Pilkada tidak mengatur secara jelas, uji publik calon kepala daerah akan multitafsir, makan waktu, berbiaya tinggi, dan rentan pengondisian melalui kampanye media.
Kelima, Presiden dan KPK akan berkoordinasi secara berkala dalam rangka pemberantasan korupsi. KPK diharapkan dapat mengisi jeda kewibawaan Presiden di mata aparatnya ataupun di mata kepala daerah ekses otonomi daerah. Sebagai contoh program KPK tentang koordinasi supervisi mineral dan batubara, ratusan izin tambang telah secara sukarela dicabut para kepala daerah beberapa saat setelah bertemu KPK dan pendapat negara dari royalti meningkat triliunan rupiah (“Tambang dan KPK”, Kompas, 13 Agustus 2014).
Presiden Jokowi sedang membangun tradisi baru dan membangun positioning bahwa Presiden memiliki misi sama dengan KPK, berjuang untuk kepentingan rakyat. Namun, bangunan tersebut akan luluh lantak manakala Presiden tidak segera melindungi KPK pada saat kritis, kriminalisasi ataupun terhadap upaya yang akan mengebiri KPK melalui berbagai produk legislasi.
ADNAN PANDU PRAJA
Komisioner KPK
Kompas, Sabtu, 15 November 2014
No comments:
Post a Comment