Oleh REGINA RUKMORINI dan RINI KUSTIASIH
Berdandan seperti bidadari mungil, 14 anak perempuan dengan gaun dan hiasan kepala serba putih memainkan biola mengiringi empat ibu yang ada di belakang mereka. Sore itu, Jumat (26/6), mereka menebarkan aura teduh melantunkan lagu-lagu islami.
Anak-anak dan ibu-ibu itu adalah umat Gereja Katolik Santo Petrus dan Paulus di Kabupaten Temanggung. Dalam acara itu, mereka membawakan tiga lagu, yaitu “Ilir-ilir”, “Syi’ir Tanpa Waton”, dan “Tombo Ati”.
Lantunan merdu ketiga lagu itu dibawakan dalam bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan bahasa Arab. Mayoritas tamu yang hadir, bapak-bapak berbaju koko dan berpeci serta ibu-ibu berkerudung , memberikan tepuk tangan meriah dan sesekali memberikan siulan pujian.
Acara buka puasa bersama itu diselenggarakan Komunitas GusDurian Temanggung di Pendopo Pengayoman, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Sore itu, semua orang luruh tanpa menonjolkan perbedaan yang ada di antara mereka. Perbedaan agama yang ada sungguh tak terasa dalam suasana guyub rukun di antara mereka.
Tidak hanya hubungan antarumat yang hadir, keharmonisan pun bisa terjadi antara agama dan budaya. Hal ini ditunjukkan Wakil Ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kabupaten Temanggung Rubiyanto dengan membacakan Surat Al Baqarah mulai dari ayat 183 dengan Indah. Suaranya yang merdu mengejutkan para tamu.
Berlatih serius
Purwiyanto (40), pelatih musik dan paduan suara di Gereja Santo Petrus dan Paulus Kabupaten Temanggung mengatakan, sekalipun sudah beberapa kali melantunkan lagu islami untuk acara buka puasa bersama, untuk pementasan Jumat itu mereka tetap berlatih dengan sungguh-sungguh.
“Seminggu sebelum pentas, kami rutin belajar dan berkonsultasi ke TPA (taman pendidikan Al Quran) agar cengkok bernyanyi benar-benar tepat, sekaligus berupaya agar lafaz, pengucapan kata-kata bahasa Arab, nantinya tidak ada yang salah,” ujarnya.
Romo Petrus Santoso MSF, pastor Gereja Katolik Santo Petrus dan Paulus Kabupaten Temanggung, mengatakan, Komunitas GusDurian Temanggung, yang beranggotakan umat dari lima agama, selalu berusaha mewujudkan hubungan harmonis dengan intens melakukan banyak kegiatan lintas agama. Di luar acara-acara agama, mereka pun bersama-sama melakukan kegiatan sosial, antara lain memberikan bantuan air bersih untuk daerah yang mengalami kekeringan.
Menerima keberagaman
Istri almarhum KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Ny Sinta Nuriyah Wahid, yang juga hadir dalam acara itu, mengatakan, komitmen dari semua orang untuk mau menerima keberagaman dan tidak mengingkari perbedaan yang ada di antara mereka.
“Perbedaan tidak semestinya membuat kita saling mengingkari satu sama lain. Beragam perbedaan seharusnya saling melengkapi, mewarnai kehidupan bangsa sebagai Indonesia yang seutuhnya,” kata Sinta.
“Setiap orang harus menyadari bahwa semenjak lahir, kita memang sudah berada di tengah keberagaman. Oleh karena itu, kita pun harus bisa menyesuaikan diri,” lanjutnya.
Gambaran serupa terlihat di Kelenteng Tiao Kak Sie di samping Pelabuhan Kota Cirebon, Jawa Barat, Rabu (8/7) malam, kelenteng yang sekaligus dikenal sebagai Wihara Welas Asih itu penuh sesak dengan pemuda dari berbagai agama dan keyakinan yang sama-sama menanti waktu berbuka biasa.
Sambil menunggu suara beduk, mereka menggelar diskusi ringan tentang makna puasa. Diskusi yang bertema “Puasa dan Perdamaian” itu dihadiri sedikitnya 100 pemuda dari berbagai agama dan kepercayaan yang tergabung dalam Pemuda Lintas Iman (Pelita). Selain kelompok pemuda, acara juga dihadiri oleh akademisi dan pemuka agama di Cirebon.
Devida, Koordinator Pelita Cirebon, mengatakan, sejak empat tahun lalu dirinya dan teman-teman giat menggalakkan pertemuan dengan kelompok pemuda dari berbagai iman dan keyakinan. Lewat kebersamaan tanpa sekat itu, mereka ingin menjaga Cirebon tetap rukun dalam kemajemukannya.
Cirebon, tempat Sunan Gunungjati menyebarkan agama Islam, dikenal dengan kemajemukannya karena persilangan berbagai budaya. Pengaruh Arab, Tiongkok, Hindu-Jawa, Buddha, Kristen, semuanya ada di Cirebon. Hal itu mewujud dalam berbagai bentuk bangunan, tradisi, kesenian, hingga pola pikir masyarakat yang egaliter.
Saat bom bunuh diri di Masjid Adz-Dzikra di Polres Kota Cirebon pada 2011, misalnya, alih-alih menjadi isu agama yang mudah dibakar, masyarakat Cirebon justru menyikapinya sebagai aksi kriminalitas yang harus ditumpas.
Wali Kota Cirebon Nasrudin Azis berkomentar tentang sikap warganya itu. “Masyarakat Cirebon dewasa. Kami biasa hidup berdampingan. Hal-hal semacam itu tidak akan mengganggu kerukunan kami,” ujarnya.
Potret kebersamaan tanpa sekat juga terlihat di Kelenteng Fuk Ling Miau di Kecamatan Gondomanan, Yogyakarta. Sejumlah warga Tionghoa berbagi rezeki berupa paket kebutuhan pokok kepada buruh gendong di pasar, tukang sampah, dan warga kurang mampu dari Yogyakarta, Bantul, hingga Magelang.
Ketua Pengurus Kelenteng Fuk Ling Miau, Angling Widjaya (60), mengatakan dana paket kebutuhan pokok berasal dari sumbangan umat. Kebutuhan pokok itu diberikan kepada warga yang tak mampu tanpa membedakan agama ataupun suku. “Kita harus saling membantu, makanya dari agama apa pun kami tak bedakan. Walaupun berbeda-beda, kita satu di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujarnya.
Menurut Angling, pembagian kebutuhan pokok itu juga untuk menjaga hubungan baik antara umat kelenteng dan masyarakat sekitarnya, termasuk dengan warga berbeda agama.
Jalinan kebersamaan tanpa sekat ternyata selalu terjalin erat di masyarakat. Keberagaman adalah anugerah untuk hidup rukun, damai, dan saling menghormati. (HRS/DRA)
Kompas, Sabtu, 11 Juli 2015
No comments:
Post a Comment