Oleh KARTONO MOHAMAD
Beberapa bulan yang lalu Zimbabwe menandatangani Konvensi tentang Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau yang disusun oleh Organisasi Kesehatan Dunia. Zimbabwe merupakan negara ke-180 dari 194 anggota WHO yang mengaksesi FCTC.
Indonesia perlu bangga karena ikut aktif merumuskan isi Konvensi tentang Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) yang sekarang sudah diterima sebagian besar negara di dunia. Tinggal beberapa negara kecil, seperti Andorra, Liechtenstein, Monako, dan beberapa negara terbelakang, seperti Somalia, Sudan Selatan, dan Indonesia yang belum mengaksesi.
Kasus Zimbabwe dan Malawi menarik karena kedua negara itu merupakan penghasil tembakau terbesar di Benua Afrika. Penghasilan ekspor tembakau menempati posisi pertama dalam penghasilan devisa. Indonesia mengimpor tembakau antara lain juga dari Zimbabwe.
Pada awalnya Zimbabwe enggan menandatangani FCTC karena mengira akan menekan kepentingan ekonominya. Berkat guyuran dana yang besar dari Phillip Morris dan BAT, mereka terbujuk menolak FCTC. Persatuan petani tembakau Zimbabwe pada awalnya meminta agar pemerintahnya tidak menandatangani FCTC. Namun, kemudian Menteri Pertanian Zimbabwe mampu menyadarkan presidennya agar menandatangani FCTC.
Mungkin karena melihat bahwa Tiongkok, Brasil, dan Malawi, pesaing terbesar Zimbabwe dalam produksi tembakau, sudah lama ikut FCTC dan tetap berjaya dalam pasar tembakau internasional, Zimbabwe merasa terkucilkan. Tidak dapat memperjuangkan kepentingannya ketika negara-negara anggota FCTC berbicara tentang pertanian tembakau. Akhirnya pada 2013 Ketua Perhimpunan Petani Tembakau Zimbabwe Gavin Foster justru mendesak pemerintahnya agar menandatangani FCTC ”sehingga kita dapat membela kepentingan pertanian tembakau Zimbabwe”.
Berbeda lagi dengan Malawi, yang produksi tembakaunya nomor empat sesudah Tiongkok, Brasil, dan Amerika Serikat (Indonesia menduduki nomor tujuh atau delapan, di bawah Turki). Sejak awal aliansi petani tembakau mereka mendesak agar Malawi ikut menandatangani FCTC. Berjuang dari dalam akan lebih baik daripada berteriak-teriak sendirian di luar. Dalam praktik, wakil Tiongkok dalam sidang-sidang mitra FCTC memang gigih memperjuangkan kepentingan pertanian tembakau mereka.
Tanaman substitusi
Sebagaimana diketahui, dalam FCTC memang disepakati bahwa untuk mengurangi suplai rokok, setiap negara berkewajiban mencarikan tanaman substitusi bagi petani tembakau yang ingin alih tanam. Wakil Tiongkok dalam sidang mitra bukannya tidak setuju dengan anjuran alih tanam itu, tetapi mengusulkan agar dilakukan dengan hati-hati dan sejalan dengan menurunnya jumlah perokok di dunia. Dan, mengharapkan negara besar ikut mendanai program alih tanam itu.
Bagaimanapun juga negara-negara penghasil tembakau itu sadar bahwa semakin maju penduduk sebuah negara, semakin kecil jumlah perokoknya. Dan, negara yang bukan mitra FCTC tentu tidak akan berkesempatan diajak bekerja sama dalam program semacam itu. Karena itu, Zimbabwe akhirnya mengaksesi FCTC di akhir 2014.
Berbeda dengan Zimbabwe, asosiasi petani tembakau Malawi sejak awal sudah mendukung pemerintahnya agar menandatangani FCTC. Dalih mereka sama, ”akan lebih baik berjuang di dalam daripada dari luar”. Karena itu, Malawi seperti negara-negara penghasil tembakau lainnya sudah sejak awal bergabung dalam mitra FCTC. Di sana tidak ada yang mengatakan bahwa FCTC adalah untuk kepentingan negara-negara besar, atau semacam proxy waruntuk menghancurkan ekonomi negara kecil.
AS sendiri semula tak mau menandatangani FCTC. Bukan karena khawatir pertanian tembakaunya akan mati, atau takut ekonominya akan dihancurkan oleh ”negara besar”, tetapi lebih untuk melindungi industri rokoknya. Kalau banyak negara yang mengendalikan konsumsi rokok bagi penduduknya, industri rokok raksasa mereka terancam meskipun di dalam negerinya sendiri konsumsi rokok dikendalikan. Dalam 20 tahun terakhir, jumlah perokok Amerika menurun dari 40 persen tinggal 18 persen dan ditargetkan akan tinggal 10 persen pada 2020. Baru pada 2006 Presiden Barack Obama menandatangani FCTC.
Mereka masih untung karena di dunia ini masih ada negara berpenduduk besar yang masih menyediakan rakyatnya konsumen rokok. Bahkan, kedatangan industri rokok asing yang di negaranya sudah mengalami kesulitan disambut dengan tangan terbuka. Dampaknya buruk bagi mutu hidup rakyatnya, tak jadi kepentingan para pemimpinnya, dan para kapitalis asing itu.
KARTONO MOHAMAD
Mantan Ketua PB IDI
Kompas, Sabtu, 12 Maret 2016
No comments:
Post a Comment