Oleh IWAN SANTOSA
Tahun 1960-an adalah masa saat kekuatan militer Indonesia amat disegani. Selain memiliki alat utama sistem persenjataan yang lengkap dan modern, saat itu juga banyak prajurit yang dikirim ke luar negeri untuk belajar meningkatkan kemampuannya.
Dalam periode itu, militer Indonesia juga terlibat aktif dalam dua operasi militer besar, yaitu Operasi Trikora untuk pembebasan Papua dan Operasai Dwikora.
Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) yang dicanangkan di Yogyakarta pada 19 Desember 1961 berakhir 15 Agustus 1962. Lima bulan setelah berakhirnya operasi itu, ada Operasi Dwikora Ganyang Malaysia yang berlangsung 20 Januari 1963 hingga 11 Agustus 1966.
Kekuatan yang dikerahkan TNI di dua operasi itu tidak main-main. Dalam buku Dan Toch Maar: Apa Boleh Buat, Maju Terus terbitan Penerbit Buku Kompas ditulis, pada tahun 1950-an, para kadet dan perwira TNI telah dikirim belajar ke Belanda, terutama di Akademi Angkatan Laut di Den Helder dan Akademi Militer di Breda.
Selain itu, menurut sejarawan Hendi Jo, sejumlah perwira TNI juga dikirim ke Inggris dan Amerika. Inggris dijadikan tempat melatih perwira Angkatan Udara karena Angkatan Udara Kerajaan Inggris (Royal Air Force/RAF) adalah organisasi angkatan udara tertua di dunia. Sementara Amerika Serikat menjadi tempat pelatihan sejumlah perwira intelijen dan perwira Angkatan Darat RI.
Ketika hubungan dengan Belanda memburuk terkait pengembalian Papua ke Indonesia, sejumlah prajurit TNI juga dikirim untuk belajar ke negara Blok Timur, yakni Uni Soviet, Republik Rakyat Tiongkok, dan Yugoslavia.
“Pada 1960, Bung Karno mengunjungi Amerika Serikat dan bertemu Presiden John F Kennedy. Indonesia mendapat bantuan armada pesawat angkut C-130 Hercules yang termodern pada zaman itu dan sejumlah kapal angkut eks Perang Dunia II. Namun, Bung Karno murka karena tidak mendapat bantuan senjata seperti yang diharapkan. Bung Karno pun beralih ke Blok Timur,” tutur Hendi Jo.
Misi lalu berlanjut ke Uni Soviet. Pada 1961, Perdana Menteri Nikita Khrushchev menjanjikan bantuan militer senilai 400 juta dollar AS bagi Indonesia yang saat itu sedang menghadapi Belanda terkait Papua. Uni Soviet juga mengirimkan personelnya untuk membantu Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Hendi Jo mengatakan, ada sekurangnya 360 personel Uni Soviet di armada kapal selam Angkatan Laut RI. “Pelaut kita sudah disiapkan untuk mengikuti pelatihan di Vladivostok, Uni Soviet. Namun, masih ada kekurangan personel. Akhirnya dikirim pelaut Uni Soviet yang ditempatkan terisolasi di Dermaga Ujung, Surabaya,” ucapnya.
Bantuan personel dari Uni Soviet untuk Indonesia ini termasuk istimewa. Pasalnya, saat Perang Dingin Blok Barat-Blok Timur, saat itu Uni Soviet biasanya hanya mengirimkan penasihat militer bagi negara yang mereka bantu, seperti Korea Utara, Vietnam Utara, Etiopia, dan Yaman Selatan.
Kekuatan militer Indonesia dalam perebutan kembali Papua berikut keterlibatan langsung personel Uni Soviet di dalamnya diuraikan Matthijs Ooms dalam tesisnya yang diajukan di Jurusan Sejarah Universitas Amsterdam tahun 2012. Tesis itu berjudul “Het Nieuw Guineaconflict in nieuw perspectief. Hoe in 1962 actieve militaire Sovjetsteun aan Indonesie leidde tot hef verlies van onze laatste kolonie in de Oost” atau Konflik Nugini (Papua) dalam Perspektif Baru tentang Keterlibatan Militer Soviet dalam Militer Indonesia hingga Lepasnya Koloni Terakhir Belanda di Timur.
Dalam operasi Trikora, Indonesia berniat bertempur hingga titik darah terakhir. Mayor Jenderal (TNI) Soeharto–kemudian menjadi Presiden RI–sebagai Panglima Mandala yang bertugas menyiapkan dan melakukan operasi militer untuk membebaskan Papua, sudah merencanakan operasi pendaratan one way ticket di Papua yang diperkirakan menelan korban besar.
Satuan kapal selam Angkatan Laut RI sudah berada di utara Papua ketika atas desakan Amerika Serikat, Kerajaan Belanda akhirnya menyetujui upaya damai pada 15 Agustus 1962.
KRI Teluk Tomini saat bersandar di Kolinlamil Tanjung Priok, Jakarta, 20 Mei 2010. Kapal itu salah satu saksi bersejarah pendaratan Sekutu di Normandia, Perancis, tahun 1944, hingga evakuasi ribuan pengungsi dari Timor Timur pada 1990. (Kompas/Wisnu Widiantoro)
KRI Teluk Tomini 508 teronggok di pemotongan besi di Jalan Cilincing, Kelapa Dua, Jakarta Utara, menunggu dipotong sebagai besi tua pada Mei 2012. (Kompas/Iwan Santosa)
Konfrontasi Malaysia
Setelah dari Papua, TNI disibukkan dengan Operasi Dwikora. Dalam operasi ini, beberapa penerbang Angkatan Udara RI melakukan penerbangan pada malam hari untuk menjatuhkan pamflet propaganda. Penerbang Angkatan Udara, Lulu Lugiyati–menikah dengan Edi Sudrajat, Menhankam/Pangab pada zaman Orde Baru–menceritakan pengalamannya yang berulang kali ikut penerbangan malam menjatuhkan pamflet propaganda di atas wilayah kota Kinabalu, Malaysia, serta perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak.
Dalam operasi ini, jet tempur Mig-21 milik Angkatan Udara amat disegani. Dalam satu kesempatan, penerbang Angkatan Udara, Rudi Taran–yang pensiun sebagai marsekal utama–membawa Mig-21 dari Pangkalan Angkatan Udara Polonia, Medan, berhadap-hadapan dengan sepasang jet temput Hawker Hunter RAAF Australia yang berpangkalan di Butterworth, Penang.
Di daratan pun perjuangan berlangsung tidak kalah sengit. Shamsawal Kamar, wartawan asal Palembang, Sumatera Selatan, yang menjadi relawan bersama pasukan Angkatan Darat di pedalaman Kalbar-Sarawak, berjuang menembus hutan selama berminggu-minggu serta berhadapan dengan Pasukan Gurkha dan berbagai satuan militer Inggris.
Shamsawal dalam memoar “Code-Name Konfrontrasi” mencatat, untuk mendengar pesan dari Jakarta dengan kode khusus, mereka mendengarkan siaran radio. Radio memang menjadi sarana propaganda sekaligus komunikasi khusus bagi pasukan dan relawan Indonesia.
Pasukan KKO–kini Korps Marinir TNI AL–dan Kopaska serta relawan menyusup di pesisir Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, dan Kepulauan Riau. Sejumlah unit kecil pasukan KKO dan Kopaska berulang kali juga masuk ke wilayah Singapura dan Johor, Malaysia.
Pihak lawan mencatat kerasnya perlawanan TNI dan relawan dalam Operasi Dwikora. Nick van der Bijl dalam buku Confrontation The War With Indonesia 1962-1966 mengatakan, tidak diragukan, pihak Indonesia bertempur dengan berani dan berhasil memenangi sejumlah pertempuran.
Operasi Dwikora berakhir seiring dengan hadirnya Orde Baru yang menggantikan Orde Lama. Perjanjian damai antara Indonesia dan Malaysia secara resmi ditandatangani pada 11 Agustus 1966.
Kini, dalam usianya yang telah menginjak 71 tahun, TNI terus berupaya membangun kekuatan pokok minimum (minimum essential force/MEF). Pengalaman pada 1960-an menjadi pelajaran berharga dalam membangun angkatan perang yang profesional serta rela berkorban untuk bangsa dan negara.
Kompas, Minggu, 9 Oktober 2016
No comments:
Post a Comment