JAKARTA, KOMPAS ━ Terus bertambahnya lahan kritis, terutama di daerah aliran sungai, menjadi penyebab utama banjir yang makin kerap terjadi, terutama di Pulau Jawa yang kondisi ekologinya telah mencapai fase kritis. Apalagi, tren pembangunan saat ini mengabaikan daya dukung lingkungan, bahkan cenderung menambah lahan kritis.
Salah satu indikasi bahwa rentetan banjir akhir-akhir ini akibat daerah aliran sungai (DAS) kritis adalah curah hujan saat ini relatif normal. Berdasarkan data Badan Meteorologi , Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), curah hujan saat ini berada di bawah nilai klimatologis atau nilai rata-rata dalam 30 tahun terakhir.
“Cuaca hanya pemicu, faktor utama bencana ini saya percaya tetap kerusakan lahan dan daerah aliran sungai,” kata Direktur Pengurangan Risiko Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Lilik Kurniawan, Jumat (17/2), di Jakarta.
Hingga kemarin, banjir melanda sejumlah daerah dan cenderung semakin luas, genangan juga semakin tinggi dan lama. Di Jawa Tengah, sekitar 5.000 warga mengungsi akibat banjir yang melanda enam desa di Kabupaten Brebes sejak Kamis (16/2) sore. Kemarin, ketinggian banjir akibat jebolnya tanggul Sungai Pemali di enam titik ini masih mencapai 1 meter di sejumlah lokasi. Selain permukiman warga, ratusan hektar sawah juga terendam hingga 40 sentimeter.
Kepala Badan Penanggulanan Bencana Daerah Brebes Eko Andalas mengatakan, banjir ini besar dan tak terduga. Penanggulangan sementara membuat tanggul darurat dari tumpukan karung berisi tanah dan pasir. “Untuk jangka panjang melibatkan Balai Besar Wilayah Sungai Pemali Juana dan dinas pengelolaan sumber daya air,” katanya.
Di Jawa Timur, luapan Kali Lamong menggenangi 11 desa di tiga kecamatan di Kabupaten Gresik. Ketinggian genangan di jalan-jalan desa berkisar 40-70 cm. Banjir ini diduga dipicu perubahan tata guna lahan. Banyak lahan sawah dan tambak diuruk dan dijadikan perumahan.
Perubahan tata guna lahan diduga menjadi pemicu utama banjir besar di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, beberapa waktu lalu. Lilik mengatakan, terdapat pembukaan hutan yang masif setelah reformasi 1998 dan digantikan tanaman sayur di kawasan hulu. Pada saat bersamaan, laju penyempitan badan sungai dari 1 meter pada Februari 2013 menjadi 7 meter November 2013. Banjir bandang di Garut pada September 2016 juga disebabkan kerusakan daerah tangkapan air dan penyempitan aliran Sungai Cimanuk.
“Laju penambahan lahan kritis semakin tinggi dan terjadi di semua wilayah, baik di Jawa maupun luar Jawa. Di Aceh, misalnya, pada 2006 lahan sangat kritis hanya 67.000 hektar, tetapi pada 2012 mencapai 121.000 hektar. Pada 2006, di Jawa Tengah lahan kritis 9.000 hektar dan pada 2012 menjadi 10.000 hektar,” kata Lilik.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Hilman Nugroho mengatakan, luas lahan kritis di Indonesia saat ini 24,3 juta hektar dari total luas daratan di Indonesia 190 juta hektar.
Kepentingan ekonomi
Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor Hariadi Kartodiharjo mengatakan, tren berkurangnya tutupan hutan seiring meluasnya lahan kritis. Ini konsekuensi kebijakan pembangunan yang hanya mementingkan aspek ekonomi dan mengabaikan daya dukung lingkungan. Padahal, pengabaikan ekologi ini terbukti sangat merugikan.
Kerugian itu, kata Hariadi, bukan hanya disebabkan banjir rutin yang semakin luas, melainkan juga nilai ekonomi yang hilang akibat pembalakan liar, kebakaran, tambang, kebun di kawasan hutan, dan kerusakan lahan. “Berdasarkan kajian Bappenas terbaru, kerugian akibat kerusakan hutan dan hilangnya keragaman hayati secara nasional pada tahun 2013 mencapai Rp 642 triliun,” kata Hariadi.
Meskipun kerugian bencana sangat tinggi, katanya, faktor risiko tak pernah dimasukkan dalam skema investasi pembangunan. Akhir Oktober 2015, Hariadi dan sejumlah akademisi membuat petisi kepada Presiden Joko Widodo agar memperhatikan krisis ekologi di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa yang sudah mencapai fase kritis.
Bencana hidrometeorologi yang kian intensif ini, menurut Hariadi, merupakan salah satu indikasi kehancuran ekologi. Data Indeks Risiko Bencana yang disusun BNPB beberapa tahun terakhir selalu menempatkan Jawa sebagai pulau paling rentan bencana jenis ini.
Dari 118 kabupaten/kota di Jawa, sebanyak 94 daerah memiliki risiko banjir sangat tinggi. Adapun 110 dari 118 kabupaten/kota berisiko mengalami kekeringan. Jika tidak ada perubahan paradigma pembangunan, kata Hariadi, kerugian akibat bencana akan semakin tinggi.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan, banjir di beberapa daerah akhir-akhir ini dipicu lahan kritis yang semakin luas. Banjir di Jakarta, misalnya, selain faktor cuaca dan tersumbatnya drainase, juga dipicu kondisi DAS Ciliwung yang tutupan lahannya kurang dari 15 persen. Seharusnya, tutupan DAS Ciliwung minimal 30 persen.
Salah satu upaya KLHK, katanya, adalah penghijauan di DAS Ciliwung dan Citarum pada 2016. Di DAS Cimanuk dan Citarum juga akan dilakukan penghijauan besar-besaran. “Di DAS lain di Indonesia juga dilakukan, tetapi terbatas anggaran,” katanya. (AIK/ACI/NIK/KRN/DIT/RWN/ODY/SON)
Kompas, Sabtu, 18 Februari 2017
No comments:
Post a Comment