Tuesday, 28 March 2017

"Persetan dengan Bantuanmu"


Oleh BUDIARTO SHAMBAZY
Hari ini, 53 tahun silam, tepatnya 25 Maret 1964, Bung Karno mengucapkan kalimat yang mungkin termasuk paling bersejarah dalam perjalanan republik ini. Itulah kalimat go to hell with your aid. Jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia, artinya lebih kurang “persetan dengan bantuanmu”.
Soekarno-KRI-Irian.jpg.jpg
Presiden Soekarno dan Duta Besar AS Howard Jones
Sejarah mencatat, kalimat yang diucapkan Bung Karno itu tidak berakhir dengan tanda seru. Tetapi, isinya tajam dan ditujukan langsung kepada Duta Besar AS untuk Indonesia (saat itu), Howard Jones. Pernyataan itu disampaikan dalam peletakan batu pertama pembangunan gedung Sarinah di Jalan Thamrin, Jakarta.
Sambil menunjuk Jones, Bung Karno berkata dalam bahasa Inggris, “Ada sebuah negara yang mengancam akan menghentikan bantuan luar negeri kepada Indonesia. Negara itu mengira akan membuat Indonesia takut. Saya katakan, persetan denganmu.”
Bung Karno mengatakan pula, jika bantuan itu distop, ekonomi Indonesia tidak akan kolaps karena “sumber-sumber ekonomi kita kaya”. Pernyataan itu juga didengar oleh sejumlah dubes asing dan tentunya para wartawan. Kontan berita itu langsung disebarkan dan dimuat di sejumlah surat kabar terkenal AS.
Beberapa hari sebelumnya, Menteri Luar Negeri AS Dean Rusk di hadapan Komisi Hubungan Luar Negeri DPR AS mengungkapkan, AS akan menyetop bantuan untuk Indonesia kecuali jika Bung Karno menyelesaikan politik konfrontasi melawan Malaysia. Ironisnya, Bung Karno malah memerintahkan Indonesia keluar dari PBB pada awal 1965.
Di arena global, Bung Karno bekerja keras memproyeksikan Indonesia sebagai kekuatan regional yang disegani. Ia percaya, hubungan pribadi di antarpemimpin berpengaruh pada pergaulan internasional. Ia pelopor Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955 dan merasa jadi duta Gerakan Nonblok menghadapi Presiden AS Dwight Eisenhower (1953-1961), Sekjen Partai Komunis Uni Sovyet (PKUS) Nikita Khrushchev (1953-1964), dan Ketua Partai Komunis China Mao Zedong (1945-1976).
334010_bung-karno-dan-eisenhower-_663_382.jpeg
soekarno-mao.jpg
soekarno-nikita-8.jpg
soekarno-JFK.jpg
Berturut-turut dari atas ke bawah, Presiden Soekarno bersama Eisenhower, Mao Zedong, Nikita Khrushchev, dan John F Kennedy
Setahun setelah KAA, ia diundang Eisenhower ke AS, September 1956. Setelah itu bertemu Mao di Beijing serta Khrushchev di Moskwa. Bung Karno marah ditelantarkan 10 menit sebelum diterima Eisenhower. Hubungan mereka buruk karena Eisenhower mendukung PRRI/Permesta dan memerintahkan CIA membunuh dia.
Hubungan pribadi dia dengan Mao atau Khrushchev hanya basa-basi. Mao malah sering mengundang Ketua Umum PKI DN Aidit ke Beijing. Khrushchev lebih tertarik menumpahkan senjata untuk TNI. Setelah PRRI/Permesta, hubungan Bung Karno-Presiden John F Kennedy (1961-1963) amat akrab.
Waktu di Washington DC tahun 1961, Bung Karno merasa cocok dengan JKF. JFK menghadiahi Bung Karno sebuah heli Sikorsky. Mereka bergosip tentang Gina Lollobrigida.
AS, China, dan Uni Soviet enggan kehilangan Indonesia karena nilai strategisnya. Asumsi JFK, kehadiran pangkalan komunis di Jawa-Sumatera melemahkan kekuatan pakta militer SEATO (Southeast Asia Treaty Organization). Jakarta yang pro Soviet atau China akan mengisolasi Australia-Selandia Baru dari pengawasan Barat.
Soviet dan China mengincar kita lewat strategi “lompat katak”: lebih mudah mengomuniskan daratan Asia Tenggara jika kita di bawah pengaruh satelit mereka. Siapa yang menguasai kita akan mengontrol Samudra India dan Pasifik.
Sebagian dari senjata Soviet yang komitmennya akan mencapai lebih dari semiliar dollar AS merupakan rudal darat-ke-darat yang bernama Kuba. Peralatan militer itu yang digunakan TNI untuk menyerbu ke Semenanjung Malaysia saat puncak konfrontasi tahun 1964.
China tak mau kalah. Mao berjanji mengalihkan teknologi senjata nuklir jika diizinkan melakukan uji coba senjata nuklir di bawah laut di wilayah perairan sekitar Irian Barat atau di sekitar Pulau Mentawai. JFK tak mau ketinggalan, lewat program Atom for Peace meminjamkan 2,3 kilogram uranium untuk pengembangan reaktor nuklir milik ITB di Bandung. Pada tahun 1965, reaktor yang bertujuan damai itu sudah beroperasi sampai 25 persen.
Sejak 1964, Bung Karno rajin menyuplai berbagai jenis senjata ke sejumlah negara Afrika yang memerangi rezim antek bekas negara-negara penjajah. Ia mengundang latihan serdadu Korea Utara, Vietnam Utara, dan Laos. Pilot Kamboja dan Burma berlatih menerbangkan pesawat tempur buatan Soviet, MiG-17, di sini.
Tahun 1965, kita menyuplai berbagai jenis MiG dan kapal-kapal perang untuk Pakistan yang ketika itu terlibat perang melawan India.
Satu-satunya pemimpin Barat yang prihatin menyaksikan Bung Karno dan selalu mengulurkan tangan adalah JFK. Ia beberapa kali menekan Inggris untuk mengalah dari Bung Karno, terutama dalam soal rencana Inggris mendirikan pangkalan militer di Singapura. JFK juga berkali-kali “menginjak kaki” Belanda dalam perundingan Irian Barat.
Setelah JFK tewas, Presiden Lyndon Johnson (1963-1969) melonggarkan komitmen. Ia mengurangi keterlibatan AS di sini karena berbagai alasan, terutama sukarnya menghindari risiko Indonesia menjadi komunis. Itulah sekelumit sejarah tentang “persetan dengan bantuanmu”.
Kompas, Sabtu, 25 Maret 2017

Saturday, 25 March 2017

Adolf Eichmann

Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Tengah malam, antara tanggal 31 Mei 1962 dan 1 Juni 1962, di Penjara Ramleh, Israel, berakhirlah sudah perjalanan hidup Ricardo Klement. Tubuhnya menggantung antara langit dan bumi. Ia dihukum gantung. Inilah bentuk hukuman mati yang dijatuhkan oleh tiga hakim di pengadilan Jerusalem.
Jenazah Ricardo Klement (56) dikremasi dan abunya disebar di laut lepas pantai Jaffna, perairan Laut Tengah. Ricardo Klement, mandor pabrik mobil Mercedes-Benz di Bueno Aires, Argentina, ditangkap agen rahasia Israel, Mossad, pada 11 Mei 1960. Ia bersembunyi di negeri itu sejak tahun 1950.
adolf eichmann.jpg
Adolf Eichmann di bawah pengawalan polisi Israel saat pengadilan di Yerusalem (DailyMail)
Sebelumnya, orang tidak pernah tahu bahwa Ricardo Klement adalah Karl Adolf Eichmann, salah seorang aktor utama dalam holocaust di zaman Nazi berkuasa di bawah kepemimpinan Adolf Hitler. Karena itu, Adolf Eichmann diadili dengan tuduhan melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan melakukan kejahatan perang.
Sidang atas Adolf Eichmann berlangsung selama empat bulan. Lebih dari 100 orang memberikan kesaksian terhadap kejahatannya. Di depan pengadilan, ia mengatakan, “Mengapa saya? Mengapa saya yang diadili?” Ya, mengapa Adolf Eichmann? Jawabannya jelas: karena Eichmann bertanggung jawab atas pendeportasian lebih dari 1,5 juta orang Yahudi dari seluruh Eropa ke pusat-pusat pembantaian.
Adolf Eichmann, lahir pada 19 Maret 1906, adalah mantan komandan SS Nazi yang bertanggung jawab atas pembunuhan jutaan orang Yahudi di Eropa di kamar-kamar gas. Ia bergabung menjadi anggota Schutzstaffel (SS), organisasi militer elite Nazi, saat berusia 26 tahun.
adolf eichmann ss.jpg
Adolf Eichmann saat aktif menjadi letnan kolonel SS, Nazi
Catatan kejahatannya–paling tidak ia dikenai 15 tuduhan kejahatan–sangat mengerikan. Akan tetapi, Adolf Eichmann dilukiskan sebagai warga negara baik-baik yang patuh pada aturan. Karena itu, Elie Wiesel, seorang sastrawan, menulis, “Adalah mengganggu, saya memikirkan Eichmann sebagai manusia. Saya lebih memilih melukiskan Eichmann sebagai sosok monster seperti lukisan Picasso dengan tiga kuping dan empat mata.”
Wajah dan penampilan memang tidak jarang menipu. Banyak kali terjadi, yang jahat itu tidak tampil dalam wajah monster sadistis, kejam, tetapi bisa tampil dalam sosok orang atau warga negara yang baik-baik saja; warga negara yang patuh dan taat pada aturan; orang yang kesehariannya dibalut dengan kesantunan–dan termasuk–ketaatannya menunaikan ibadah, serta hidup bersosial dalam masyarakat.
Seorang teroris tidak pernah menempelkan plakat bertuliskan “Saya teroris” pada dada atau punggungnya atau memasang tulisan pada jidatnya “Saya teroris”. Ia akan tampil biasa. Tidak membuat orang lain curiga atau mencurigai atau selalu memperhatikannya. “Tidak ada tanda-tanda jasmaniah untuk disebut sebagai tipe penjahat, demikian pula tidak ada tanda-tanda rohaniah untuh menyatakan penjahat itu memiliki suatu tipe,” kata Charles Buckman Goring (1870-1919), seorang kriminolog.
Banyak pelaku kejahatan–termasuk koruptor– berpenampilan seperti orang suci. Banyak pula di antara mereka yang memiliki penampilan fisik tampan rupawan, cantik jelita, santun, dan saleh, rajin beribadah. Bahkan, ada yang terpandang sebagai sosok baik karena sikap kedermawanannya; pandai berpidato, supel, lemah lembut tutur kata dan penampilannya. “Yang jahat tidak radikal, melainkan banal, yakni dangkal dan sehari-hari, seolah-olah merupakan pekerjaan administrasi rutin,” kata Hannah Arendt.
Karena itu, ada pepatah “serigala berbulu domba” untuk menggambarkan bahwa penampilan semata tidak menjamin kebaikan hati seseorang. Memang manusia adalah serigala bagi sesamanya, begitu Thomas Hobbes, mengutip metafora yang disodorkan penyair Romawi, Plautus (lahir 254 SM di Sarsina, Umbria, Italia, dan meninggal tahun 184 SM). dengan mengatakan itu, Thomas Hobbes ingin mengingatkan bahwa dalam diri manusia ada tersembunyi benih-benih kejahatan, ada sekawanan serigala yang setiap saat bisa muncul. Dengan kata lain, akar kejahatan yang sebenarnya juga terletak dalam diri manusia.
Adakah yang menyangka bahwa Khalid Masood (52) nekat menyerudukkan mobil yang dia kemudikan ke orang-orang yang berjalan di trotoar dan kemudian menusuk polisi? Meskipun Khalid Masood pernah diperiksa polisi karena kegiatan “ekstremisme”-nya, ia kemudian dinyatakan tidak membahayakan. Akan tetapi, di dalam dirinya sudah telanjur tertanam benih-benih kejahatan karena berbagai alasan.
Sama halnya, tidak ada yang pernah mengira dan menduga bahwa Adolf Eichmann adalah tokoh yang bertanggung jawab atas kamp konsentrasi. Tidak ada yang mengira, karena menilik latar belakangnya–ayahnya seorang industrialis yang memberikan anak-anaknya pendidikan doktrinal Protestan yang saleh. Ibunya meninggal saat ia berusia 10 tahun, dan ayahnya menikah lagi dengan seorang perempuan yang juga seorang Protestan yang saleh. “Di bawah bimbingan ibunya, Adolf Eichmann membaca Kitab Suci dan menandai dengan pensil warna merah bagian-bagian yang sangat menarik baginya–deskripsi tentang peperangan dan pertempuran” (Hausner G: 1996).
Kalau begitu, “Benarkan Agama Berbahaya?”, tulis Keith Ward (2006). Keith Ward mengatakan, agama terlibat dalam kekerasan, khususnya di mana agama menjadi penanda identitas dalam situasi konflik sosial. Agama sering menjadi suara moderasi dan rekonsiliasi. Itulah peran yang benar. Dengan agama, ada kesempatan bahwa suara orang-orang yang memberikan hidupnya itu bukanlah untuk mencari keuntungan, melainkan agar yang baik menjadi lebih jelas terdengar. Dengan agama, ada kesempatan bawah, sekurang-kurangnya tempat untuk sementara, dan lebih luas, kebaikan akan berjalan baik di muka bumi.
Akan tetapi, pendapat Keith Ward tersebut tentu masih bisa digugat melihat kenyataan di banyak tempat, di banyak negara di dunia ini, dan juga di sekitar kita saat ini. Yang belakangan ini tampak adalah agama sering dikaitkan dengan fenomena kekerasan; kekerasan atas nama agama atau kekerasan bertopeng agama. Apalagi, di sekitarnya berkeliaran “karl adolf eichmann, karl adolf eichmann” lain yang berpenampilan bagaikan domba-domba tetapi berhati serigala. Padahal, seharusnya agama mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan.
Kompas, Minggu, 26 Maret 2017

Bandara Cengkareng, Burung, dan Cakar Ayam

Oleh JOHNNY TG
Cengkareng di Tangerang utara sempat menjadi perbincangan ketika dilakukan survey tahun 1970 sebagai salah satu dari delapan lokasi calon pengganti Pelabuhan Udara Kemayoran. Adalah Pulau Rambut (45 hektar) di kawasan Kepulauan Seribu, yang letaknya hanya terpisah laut dan pesisir sekitar 5 kilometer dari calon bandara internasional Cengkareng, yang memiliki luas 1.800 hektar. Pulau berstatus suaka margasatwa itu dihuni unggas liar yang dilindungi. Dikhawatirkan, lalu lintas pesawat terbang di Cengkareng dapat mengganggu habitat burung di pulau itu.
cengkareng 4.jpg
Anak-anak bermain di lapangan di Cengkareng, kawasan Jakarta Internasional Airport yang direncanakan sebagai pengganti airport Kemayoran. Foto ini terkait berita Kompas (18/3/1975). (Kompas/DJ Pamoedji)
cengkareng 1.jpg
Pesawat Merpati MZ-451 dari Pontianak menjadi pesawat komersial pertama yang melandas mulus di JIA Cengkareng, Senin (1/10/1984). (Kompas/DJ Pamoedji)
cengkareng 2.jpg
Suasana hari pertama pengoperasian Bandar Udara Cengkareng, Senin (1/4/1985). (Kompas/JB Suratno)
cengkareng 5.jpg
Suasana Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Banten pada tahun 1984. (Kompas/Dudi Sudibyo)
Dengan pertimbangan, antara lain, aspek lingkungan, pembebasan tanah, kebisingan, dan keselamatan penerbangan, Cengkareng ditetapkan sebagai pengganti Kemayoran yang akan ditutup pada 1985. Penutupan itu didasarkan atas prediksi frekuensi penerbangan di Jakarta yang akan mencapai “kejenuhan” pada 1985 sekitar 138.000 gerakan pesawat dalam setahun (Kompas, 13 Maret 1983, halaman 7).
Kontrak pembangunan fisik dilakukan dengan sistem tender yang dimenangi konsorsium kontraktor Perancis. Dalam pengerjaannya yang dimulai awal tahun 1980, mereka wajib bekerja sama dengan kontraktor nasional PT Waskita Karya. Diperkirakan biaya pembangunan tahap pertama yang selesai akhir 1984 menelan Rp 335 miliar yang berasal dari APBN dan pinjaman Pemerintah Perancis.
Cakar ayam
Untuk pertama kalinya di dunia, sistem fondasi cakar ayam ciptaan Prof Sedyatmo digunakan untuk fondasi landasan pesawat udara di Cengkareng. Sebelumnya teknologi ini sudah diterapkan di  bendungan dan apron (tempat parkir pesawat). Akan tetapi, untuk fondasi yang menampung beban bergerak sebesar gedung bertingkat sepuluh seperti pesawat B-747, baru pertama kalinya.
cengkareng 3.jpg
Ilustrasi pondasi cakar ayam di Pelabuhan Udara Internasional Cengkareng, Selasa (1/2/1983)
Teknologi ini juga cocok untuk tempat yang kondisi tanahnya lembek. Prinsipnya, sejumlah pipa beton yang cukup panjang ditanam di dalam tanah. Di atas pipa-pipa itu dicorkan sebuah pelat beton dengan ketebalan mulai dari 10 sentimeter sehingga pipa-pipa itu terhubung satu sama lain. Pelat inilah yang menjadi alas bagi konstruksi landasan tanpa sambungan.
Dengan luas 1,2 juta meter persegi untuk seluruh landasan termasuk taxi way (landasan pacu) dan apron, dibutuhkan sekitar 240.000 buah pipa cetakan berdiameter 1,20 meter, panjang 2 meter, tebal 5 cm, dan ketebalah pelat 17 cm (apron), serta 20 cm (taxi way) yang akan diisi adonan beton. Karena itu dibuat pabrik pipa di lokasi dengan kapasitas produksi 600 buah pipa sehari. Bandara ini memiliki dua landasan. Bagian selatan panjangnya 3.600 meter dan 3.050 meter di utara dengan lebar masing-masing 60 meter.
Presiden Soeharto memutuskan pemakaian fondasi cakar ayam saat menerima Menteri Perhubungan Rusmin Nuryadin di Bina Graha, Rabu (26/12/1979). Pada 5 Juli 1985, Soeharto meresmikan Bandar Udara Internasional Cengkareng menjadi Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta.
Riset foto dan naskah: Johnny TG, Chris Pudjiastuti dan Eristo S/Pusat Informasi Kompas
Sumber: 1. Kompas, Sabtu, Maret 1974, halaman 1, 2. Kompas, Selasa, 1 Februari 1983, halaman 1, 3. Kompas, Minggu, 13 Maret 1983, halaman 7, 4. Kompas, Sabtu, 21 Juli 1984, halaman 5, 5. Kompas, Rabu, 8 Mei 1985, halaman 1.
Kompas, Minggu, 26 Maret 2017

Negara Versus Freeport

Oleh SITI MAIMUNAH
Setelah skandal “Papa Minta Saham”, PT Freeport Indonesia dan Pemerintah Indonesia kembali berbalas pantung. Perusahaan tambang asal Amerika Serikat ini mengumumkan force majeur pada 17 Januari 2017 untuk menekan Indonesia agar terhindar dari kewajiban pengolahan dan pemurnian di smelter dalam negeri dan mengubah kontrak karya sesuai dengan perintah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.
501freeport1.jpg
Penandatanganan kontrak pengelolaan tambang antara Freeport dengan pemerintah Indonesia, 1967. (ANP)
Padahal, telah berulang kali Pemerintah Indonesia mengubah peraturannya sendiri karena gagal memaksa PT Freeport Indonesia patuh. Freeport juga tak malu-malu menggunakan cara memperhadapkan buruh sebagai bidak menghadapi pemerintah lewat ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK). Sudah waktunya taktik seperti itu diakhiri.
Kontrak karya Freeport sudah berumur setengah abad, ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 1967 sebelum UU Pertambangan Indonesia disahkan, bahkan sebelum penentuan pendapat rakyat Papua berlangsung. KK ini mewariskan luka mendalam bagi Indonesia dan rakyat Papua.
Model kontrak karya Freeport yang diadopsi dalam UU Nomor 11 Tahun 1967 tak hanya membuat Indonesia memberikan pelayanan luar biasa kepada investasi asing. Model kontrak itu juga mewariskan kasus-kasus pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan di sekitar tambang, seperti di sekitar tambah Rio Tinto, Newmont, Newcrest, dan Inco/Vale di Kalimantan, Sulawesi, Sumbawa, dan Halmahera.
Bagi rakyat Papua–pemilik sebenarnya cebakan emas terkaya di dunia itu–kehadiran PT Freeport Indonesia bagai pisau bedah yang memutus ikatan orang Papua dengan alamnya dan pintu terjadinya pelanggaran HAM. Pada 1972 dan 1977, lebih dari 1.000 orang Amungme meninggal karena kekerasan (Elsham Papua, 2003).
Australian Council for Overseas Aid (1995) melaporkan kasus-kasus pembunuhan dan penghilangan paksa oleh militer terhadap puluhan warga asli Papua di sekitar tambah PT Freeport Indonesia sepanjang 1994-1995. Kucuran dana keamanan PT Freeport Indonesia untuk kepolisian dan TNI–sekitar Rp 711 miliar sepanjang 2001-2010 (Indonesia Corruption Watch, 2011) membuat kawasan itu menjadi ajang kekerasan dan bisnis militer.
Selamatkan Papua, bukan Freeport
Meskipun kehadiran Freeport menjadi sumber ketidakpuasan rakyat Papua dan Indonesia, sistem pemerintahan oligarki dan korup negeri ini memungkinkan korporasi internasional berkuasa dan mendapat keuntungan di atas keselamatan rakyat dan lingkungan. Salah satunya dengan mengubah peraturan tentang pengelolaan lingkungan hidup demi kepentingan korporasi tambang.
Itu_kabut_kah,_(_Richard_Erari_)_di_Surface_Mine_PT._Freeport_Indonesia.jpg
Kondisi permukaan tambang PT Freeport Indonesia. (Richard Erari)
Pertama, pembuangan limbah. Hasil kajian dampak lingkungan hidup pertambangan PT Freeport Indonesia menemukan, limbah tailing telah merusak 36.000 hektar kawasan Sungai Ajkwa sepanjang 60 kilometer ke arah laut (Walhi, 2006). Angka padatan tersuspensi total (TSS) limbah tailing pada beberapa lokasi dalam kurun September-Desember 2010 mencapai 18 kali di atas ambang baku mutu yang diperkenankan berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 202 Tahun 2004.
Namun, PT Freeport Indonesia lolos dari jerat hukum karena Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 431 Tahun 2008 yang membolehkan perusahaan membuang tailing dengan TSS hingga 45 kali ambang baku mutu yang diperkenankan.
Kedua, PT Freeport Indonesia dibiarkan merusak sungai-sungai dan laut untuk pembuangan limbah dan menggunakan air permukaan Sungai Aghawagon, Otomona, Ajkwa, Minajerwi, dan Aimoe untuk pengangkutan dan pengendapan tailing tambang tanpa membayar pajak. Pemerintah Provinsi Papua menyatakan, PT Freeport Indonesia menunggak pajak pemanfaatan sungai dan air permukaan Rp 32,4 triliun sejak 1991 hingga 2013.
Ketiga, pada 2004 pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri, PT Freeport Indonesia bersama 12 perusahaan tambang lainnya berhasil memotori pemerintah dengan restu DPR Senayan untuk mengubah UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
UU yang semula melarang tambang terbuka di hutan lindung ini diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 yang mengizinkan 13 perusahaan menambang terbuka seluas hampir satu juta hektar hutan lindung, termasuk 10.000 hektar di antaranya di kawasan konsesi PT Freeport Indonesia.
Keempat, pada Februari 2015, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan, audit lingkungan terakhir pemerintah terhadap PT Freeport Indonesia adalah 25 tahun lalu, sementara pengawasan tahunan dihentikan pada 2011. Padahal, sejak pertengahan 2016, PT Freeport Indonesia memperluas tanggul limbah tailing yang justru mengancam Sungai Tipuka (Jatam, 2017).
Hampir setiap tahun, konflik akibat ketidakpuasan terhadap PT Freeport Indonesia muncul di permukaan. Terakhir, perusahaan ini tak mau mematuhi UU Minerba. Lagi, pemerintah pasang badan agar PT Freeport Indonesia tidak melanggar UU. Keluarlah PP Nomor 1 Tahun 2014 yang memungkinkan PT Freeport Indonesia mengundurkan kewajiban pembangunan smelter hingga Januari 2017.
Disusul Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2016 yang mengubah Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2014 yang memerintahkan PT Freeport Indonesia membangun pabriknya hingga 60 persen sebelum boleh mengekspor konsentrat. PT Freeport Indonesia membalasnya dengan ancaman pengadilan arbitrase.
Tak usah terlalu khawatir dibawa ke arbitrase internasional. Presiden Joko Widodo dengan Nawacitanya memiliki modal sosial dan politik cukup kuat untuk menangani kasus PT Freeport Indonesia dengan cara yang berbeda, lebih bermartabat, dan adil bagi Papua dan rakyat Indonesia. Sudah waktunya melakukan penegakan hukum tanpa kecuali. Bukan sebatas negosiasi bentuk perizinan, pembangunan smelter ataupun divestasi saham.
Tambang Freeport hampir setengah abad, kini waktunya menunjukkan kuasa Indonesia di atas Freeport.
SITI MAIMUNAH
Peneliti Sajogyo Institute
Kompas, Sabtu, 18 Maret 2017

Saturday, 18 March 2017

Profesor dan PT

Oleh HENDRA GUNAWAN
Dunia perguruan tinggi kita heboh lagi. Untuk kesekian kalinya, kinerja para profesor menjadi perbincangan. Yang memicunya kali ini adalah Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 20 Tahun 2017 yang “mengancam” pemberhentian tunjangan kehormatan bagi para profesor yang tidak produktif.
Permenristekdikti itu menyatakan bahwa tunjangan akan dihentikan sementara jika sang profesor tidak menghasilkan sedikitnya satu karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional bereputasi atau tiga karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional terindeks dalam kurun waktu tiga tahun. Untuk bidang tertentu, karya ilmiah tersebut dapat digantikan dengan paten, karya seni, atau desain monumental.
Permenristekdikti ini sebetulnya tidak terbit tiba-tiba. Sebelumnya, ada Permendikbud Nomor 78 Tahun 2013 yang mengatur pemberian tunjangan profesi dan tunjangan kehormatan bagi profesor beserta dengan “ancaman” pemberhentiannya. Dalam permendikbud itu, selain kewajiban menghasilkan karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah bereputasi, para profesor diwajibkan pula menulis buku yang akan dievaluasi oleh Ditjen Dikti setiap lima tahun.
Dirunut lebih jauh ke belakang, ada Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2009 perihal tunjangan profesi guru dan dosen, tunjangan khusus guru dan dosen, serta tunjangan kehormatan profesor yang diterbitkan untuk melaksanakan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Berdasarkan UU inilah, guru dan dosen (PNS maupun non-PNS) yang telah memenuhi persyaratan diberi tunjangan profesi tiap bulan.
Selain itu, para profesor yang memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan diberi tunjangan kehormatan. Dalam UU itu pula dinyatakan bahwa pemberian tunjangan kehormatan akan dihentikan jika sang profesor tak memenuhi persyaratan yang ditentukan.
Beberapa usulan
Lalu mengapa sekarang heboh? Dalam tulisan berjudul “Hantu Scopus” (Kompas, 21/2/2017), Deddy Mulyana mempermasalahkan sedikitnya dua hal. Pertama, terkait dengan kriteria jurnal ilmiah bereputasi yang oleh Kemenristekdikti diidentikkan dengan jurnal yang terindeks oleh pemeringkat internasional seperti Web of Science dan Scopus serta punya impact factor lebih besar dari nol menurut Web of Science atau serendah-rendahnya termasuk kuartil tiga (Q3) menurut Scimagojr.
Kedua, terkait bentuk output ilmiah yang dihasilkan. Menurut Deddy, buku teks berkualitas harusnya diperhitungkan juga. Dalam Permendikbud No 78/2013, profesor memang diminta menulis buku. Namun, jika mengacu pada permendikbud itu, kewajiban menulis buku merupakan kewajiban tambahan selain menghasilkan karya ilmiah yang diterbitkan di jurnal bereputasi.
Menyoroti permasalahan ini, Terry Mart (Kompas, 28/2/2017) mengusulkan jalan tengah berupa kewajiban menghasilkan karya ilmiah yang diterbitkan di jurnal bereputasi atau buku yang berkualitas. Alih-alih menghentikan tunjangan kehormatan, Syamsul Rijal (Kompas, 2/3/2017) mengusulkan agar Kemenristekdikti memberi insentif tambahan bagi profesor yang produktif.
Protes dan seruan dari sejumlah profesor diperkuat oleh Forum Senat Akademik Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum dengan beberapa usulan revisi yang perlu dilakukan Kemenristekdikti terkait pemberian tunjangan kehormatan bagi profesor.
Pertama, evaluasi tunjangan kehormatan profesor dilaksanakan setiap 5 tahun dan dievaluasi untuk pertama kali pada 2018 dengan tetap memperhitungkan karya-karya ilmiah yang dihasilkan sejak 2013 sekaligus menyusun petunjuk teknisnya sesuai Permendikbud Nomor 78 Tahun 2013 juncto Nomor 89 Tahun 2013.
Kedua, memberlakukan bentuk insentif berupa maslahat tambahan sesuai Pasal 52 dan 57 UU No 14/2005, bukan berupa ancaman penghentian tunjangan profesi/tunjangan kehormatan. Insentif dapat diberikan kepada dosen yang menerbitkan/menghasilkan: (a) karya ilmiah nasional, internasional, dan internasional bereputasi; (b) buku nasional dan internasional; atau (c) karya teknologi atau seni yang bermanfaat bagi masyarakat sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106 Tahun 2016.
Ketiga, menghapuskan keharusan menghasilkan karya ilmiah terpublikasi pada jurnal nasional terakreditasi atau jurnal internasional, paten atau karya seni monumental/desain monumental bagi lektor kepala.
Keempat, kriteria jurnal internasional bereputasi merujuk pada Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Pangkat/Jabatan Akademik Dosen dengan memberdayakan indeksasi ilmiah Indonesia.
Misi perguruan tinggi
Melalui tulisan ini, saya hanya ingin mengajak kita semua, terutama pemerhati perguruan tinggi, untuk merenungkan kembali misi perguruan tinggi dan peran para profesor yang berada di garis depan dalam melaksanakan tugas mulia sebagai agen transformasi dan pengembang iptek guna meningkatkan kualitas kehidupan bangsa.
Barangkali hanya di Indonesia ruang gerak perguruan tinggi dan kewajiban dosen diatur demikian rinci dan seragam. Bagi saya, mengatur kewajiban profesor serinci itu bak membuat peraturan bahwa para petani harus bertani. Dengan standar output yang begitu rendah (dibandingkan dengan tuntutan profesor di negara jiran sekalipun), sesungguhnya kita sedang mempermalukan diri sendiri. Namun, yang lebih menyedihkan adalah reaksi dari sejumlah profesor yang menawar standar output yang rendah itu.
Di mana sumber permasalahan sesungguhnya? Di beberapa tulisan terdahulu (dimuat harian ini), saya mengungkapkan berbagai permasalahan seputar perguruan tinggi kita. Terkait fungsi dan kinerja profesor yang sedang mencuat kali ini, kita mesti menengok kembali sistem perekrutan dosen dan kriteria kenaikan jabatan akademik dosen, khususnya pengangkatan profesor.
Seorang profesor semestinya diangkat karena ada misi perguruan tinggi yang diamanatkan kepadanya terkait pengembangan ilmu, bukan semata-mata karena yang bersangkutan telah memenuhi angka kum yang ditentukan. Namun, di negeri ini, ketika seseorang diusulkan menjadi profesor, urusan kum menjadi fokus perhatian unit terkecil di mana yang bersangkutan bekerja hingga kementerian. Energi begitu banyak dicurahkan, tetapi hasilnya begitu-begitu saja. Singkat kata, sistem yang dianut selama ini sesungguhnya tidak efektif atau bahkan gagal.
Dalam benak saya, Kemenristekdikti cukup mengatur peran dan output perguruan tinggi, khususnya PTN yang berada di bawah kendali dan pengawasannya serta mendukung pembiayaannya. Selebihnya, biarkanlah perguruan tinggi mengatur strategi dan mengelola sumber dayanya serta berlomba dalam menjalankan peran dan mencapai output-nya.
HENDRA GUNAWAN
Guru Besar Matematika FMIPA ITB, Bandung
Kompas, Sabtu, 18 Maret 2017

Scopus, ISI-Thomson, dan Predator

Oleh TERRY MART
Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017 mewajibkan seorang profesor dalam tiga tahun menghasilkan satu karya ilmiah di jurnal internasional bereputasi, atau tiga karya ilmiah di jurnal internasional, serta menulis satu buku.
Jika tidak, maka tunjangan kehormatan akan dihentikan. Hal yang mirip, tetapi lebih lunah, juga diberlakukan kepada dosen dengan jabatan lektor kepala. Untuk bidang-bidang tertentu, karya ilmiah tersebut dapat diganti paten atau karya monumental.
Peraturan baru ini memicu pelbagai diskusi. Tampaknya masalah penulisan buku jarang diributkan, yang sering diributkan adalah menulis di jurnal internasional bereputasi. Penyebabnya jelas, definisi jurnal internasional bereputasi sangat robust (kokoh) dan harus terindeks oleh basis data Scopus.
Satu dekade lalu saya mengkritik penggunaan faktor dampak (impact factor) salah satu produk pengindeks ISI-Thomson (Counting Papers, Symmetry 2006). Beberapa tahun kemudian merebak isu jurnal predator, jurnal abal-abal yang dieksploitasi untuk keuntungan finansial bagi si pembuat (Kompas, 2/4/2013).
Kemudahan pembuatan jurnal predator dipicu oleh pesatnya perkembangan internet dan munculnya sistem jurnal open access. Jumlah penerbit jurnal predator pun meledak, hampir mencapai 1.000 penerbit pada akhir 2016. Bayangkan berapa banyak jumlah jurnal predator jika setiap penerbit rata-rata menghasilkan 100 jurnal!
Indeks Scopus
Belakangan Dirjen Dikti menggunakan pengindeks Scopus sebagai acuan jurnal internasional bereputasi. Dengan bantuan Scopus, para pembuat kebijakan, panitia penilai kepangkatan, serta pemberi insentif publikasi sangat terfasilitasi. Penggunaan Scopus mungkin merupakan jalan tengah, mengingat ISI-Thomson sangat ketat sehingga hanya jurnal-jurnal papan atas yang terindeks. Hampir seluruh jurnal yang diindeks ISI-Thomson juga diindeks oleh Scopus. Meski demikian, Scopus memiliki beberapa kelemahan.
Misalnya, Scopus adalah bagian dari Elsevier, penerbit ribuan jurnal ilmiah yang berpusat di Belanda. Scopus juga progresif memasukkan jurnal ke dalam basis data mereka sehingga cukup banyak jurnal kurang pantas dan predator ikut terindeks.
Baru-baru ini kita dihebohkan dengan lenyapnya blog Jeffrey Beall yang memuat kriteria, daftar jurnal, dan penerbit predator. Belum ada penjelasan mengapa laman tersebut tiba-tiba hilang.
Yang jelas jurnal abal-abal akan terus bertambah dan definisi jurnal predator akan tergerus. Pemerintah dan akademisi akan direpotkan dengan makalah abal-abal yang diklaim terbit di jurnal internasional.
Tentu saja jalan keluar yang mudah adalah kembali ke Scopus atau mulai menggunakan basis data ISI-Thomson.
Menarik untuk diamati bahwa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sangat antisipatif menghadapi kerunyaman ini. Jauh sebelum lenyapnya blog Jeffrey Beall, LIPI sudah mengusulkan jurnal internasional yang dapat dinilai dibagi dalam lima peringkat, yaitu jurnal dengan peringkat Q1 hingga Q4 versi ISI-Thomson, sementara di peringkat kelima adalah jurnal yang hanya terdaftar di Scopus dengan terbitan perdana sebelum 2003.
Definisi LIPI dapat saja diadopsi untuk perguruan tinggi (PT). namun, atmosfer PT yang egaliter mungkin sulit menerima ini. Dibutuhkan definisi baru yang bebas Scopus, ISI-Thomson, dan sekaligus jurnal predator.
Definisi yang lebih hakiki
Apa tujuan paling hakiki dari publikasi karya ilmiah? Jawaban sederhana tapi operasional adalah guna memberi tahun kepada kolega sebidang bahwa si penulis karya ilmiah telah mendapatkan satu temuan penting dari penelitiannya. Dalam banyak kasus, hanya kolega yang penelitiannya sama atau mirip saja yang dapat benar-benar paham. Di sini mulai terasa pentingnya eksistensi komunitas peneliti sebidang dalam memajukan ilmu mereka.
Sebagai peneliti yang baik, seorang dosen tentu mengenal komunitas bidang ilmunya di tingkat nasional ataupun internasional. Sebab, dari waktu ke waktu, ia harus selalu meng-update diri dengan rutin membaca karya-karya ilmiah di bidangnya. Tentu saja masalah apakah ia dikenal atau terkenal di komunitas dapat dianggap pertanyaan sekunder karena sangat bergantung pada produk penelitiannya. Jadi, dosen tadi tahu persis siapa yang aktif atau bahkan leading (memimpin dan menjadi acuan) dalam bidangnya di tingkat nasional maupun internasional.
Boleh dikatakan, tidak ada yang tahu persis kontribusi seorang ilmuwan kecuali komunitasnya. Mereka yang leading di komunitas tentu saja merupakan pakar bidang tersebut.
Dengan demikian, jurnal internasional bereputasi untuk satu bidang ilmu adalah jurnal tempat para pakar internasional bidang tersebut memublikasikan karya ilmiahnya. Analog untuk jurnal nasional bereputasi. Definisi ini perlu diperjelas ke tingkat yang lebih operasional.
Hampir setiap bidang ilmu memiliki organisasi atau asosiasi bidang ilmu. Karena mereka yang aktif meneliti umumnya menjadi anggota asosiasi tersebut, asosiasi suatu bidang ilmu berperan penting dalam mengarahkan pengembangan bidang tersebut.
Hampir semua asosiasi menerbitkan jurnal ilmiah yang menjadi rujukan anggotanya. Dengan demikian, jurnal-jurnal yang diterbitkan oleh asosiasi bidang ilmu yang sudah mapan dan menjadi rujukan peneliti dunia dapat dipakai sebagai jurnal internasional bereputasi primer karena di sanalah para pakar bidang tersebut berkiprah.
Umumnya, negara-negara maju memiliki asosiasi seperti ini. American Chemical Society, American Geophysical Union, dan American Medical Association adalah contoh asosiasi dari Amerika. Dari belahan lain ada Japan Physical Society dan European Physical Society.
Bagaimana dengan jurnal-jurnal dari penerbit komersial, seperti Elsevier, Springer, dan Wiley? Di sini kita membutuhkan definisi jurnal internasional bereputasi sekunder.
Apakah jurnal-jurnal tersebut juga dirujuk atau menjadi tempat publikasi para pakar internasional di atas? Jika jawabnya ya, maka jurnal-jurnal komersial ini haruslah sering dirujuk oleh jurnal internasional bereputasi primer. Dengan definisi yang lebih operasional, jurnal-jurnal tersebut haruslah sering ditemukan pada daftar acuan (referensi) jurnal internasional bereputasi primer. Idealnya, dengan definisi di atas, kita dapat menciptakan sistem pengindeksan sendiri, bebas dari Scopus dan Thomson.
Seorang kolega dari bidang filsafat bercerita bahwa mereka lebih memilih menulis buku ketimbang menulis di jurnal ilmiah. Ketika di kampus kami diluncurkan program dosen inti penelitian, terlihat bahwa peneliti di bidang sains, teknologi, dan kedokteran lebih memilih jurnal ilmiah sebagai tempat publikasi, sementara untuk bidang lain penulisan buku menjadi favorit. Jadi, mungkin lebih baik kewajiban menulis di jurnal dan buku dalam peraturan di atas diganti dengan jurnal atau buku.
TERRY MART
Fisikawan Universitas Indonesia (UI) dan Anggota Komisi Ilmu Pengetahuan Dasar, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Kompas, Selasa, 28 Februari 2017

Riset Perkuat Asal Orang Papua dari Afrika

JAKARTA, KOMPAS — Riset terbaru pada populasi Aborigin di Australia menguatkan teori keberadaan manusia modern berasal dari Afrika. Setelah keluar dari Afrika sejak 130.000 tahun lalu, mereka bergerak ke berbagai penjuru dunia dan rombongan pertamanya mencapai Australia melalui Asia Tenggara.
Selain itu, ada temuan bahwa Aborigin Australia dengan Papua memiliki kedekatan genetika. Mereka mendapat pembauran genetika dari manusia purba Denisovian. Papua dan Aborigin lalu terpisah sekitar 37.000 tahun lalu, jauh sebelum terbentuknya Selat Torres yang memisahkan Benua Australia dengan Pulau Papua sekitar 10.000 tahun lalu.
Penelitian tentang orang Aborigin dan kaitannya dengan Papua itu disampaikan Prof David Lambert, ahli evolusi dan genetika dari Australian Research Centre for Human Evolution Griffith University, Queensland, Australia, dalam seminar di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, Rabu (8/3). ”Nenek moyang Aborigin dan Papua terpisah dengan populasi di Eropa dan Asia sekitar 58.000 tahun lalu,” ujarnya.
Riset Lambert yang dipublikasikan di jurnal PNAS pada 2016 dan dipilih jurnal Science sebagai satu dari 10 penemuan terpenting pada 2016 membantah teori multiregional yang dipublikasikan Alan Thorne dan koleganya dari Australian National University tahun 2001. Sebelumnya, teori multiregional Thorne menyebut, populasi manusia berasal dari beberapa lokasi berbeda, termasuk Aborigin.
Thorne membangun teorinya setelah melakukan pengurutan DNA (DNA sequencing) purba dari sejumlah individu Aborigin Australia, termasuk Mungo Man yang dikenal sebagai Aborigin tertua. Hasilnya, Mungo Man berbeda dengan Aborigin saat ini, tetapi merupakan keturunan manusia purba sejenis Homo erectus dari Indonesia yang punah.
Lambert mengurut ulang DNA manusia yang dikuburkan di sekitar Mungo Man dan menemukan indikasi bahwa hasil penelitian sebelumnya terkontaminasi. ”Riset saya menunjukkan, Aborigin Australia tak diragukan sebagai manusia pertama Australia,” ucapnya.
Dengan mengurut DNA, Lambert memastikan jejak asal-usul Aborigin dari Afrika, menguatkan teori Out of Africa. Ia menguatkan kesimpulannya dengan meneliti genom modern sejumlah besar individu Aborigin dari berbagai wilayah di benua itu.
Belakangan, ia pun membandingkan DNA Aborigin dengan orang Papua. ”Bisa disimpulkan, orang Aborigin dan Papua punya kedekatan. Mereka berasal dari satu gelombang migrasi sama dari Afrika sebelum berpisah 37.000 tahun lalu,” katanya.
mungo man.jpg
Kerangka manusia yang digali di Danau Mungo pada 1974 dan dikenal sebagai Mungo Man. Kerangka ini disebut sebagai aborigin tertua. (news.com.au)
Posisi Indonesia
Lambert memaparkan, kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia, berperan penting untuk memahami evolusi manusia. Meski kini diakui Afrika merupakan asal semua spesies manusia modern, Indonesia jadi asal manusia purba Homo floresiensis yang baru-baru ini ditemukan.
Di Indonesia juga ditemukan manusia purba Homo erectus atau Java Man, yang menunjukkan kawasan itu dihuni manusia sebelum kedatangan manusia modern. Temuan terbaru berupa lukisan di goa Sulawesi berusia sekitar 40.000 tahun lalu kian menunjukkan pentingnya posisi Indonesia.
Menurut ahli genetika yang juga Deputi Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo Supolo, sampel DNA Papua yang banyak dipakai Lambert berasal dari Papua Niugini. Padahal, masyarakat Papua dan Papua Niugini amat beragam. Di Papua ada 209 kelompok bahasa.
”Data Papua terbatas. Eijkman lebih banyak meneliti di bagian barat Indonesia dan belakangan ini kembali ke Papua,” katanya. Tahun lalu, Eijkman mengambil sampel genetika warga di Koroway, Citak, Yaqai, dan Mapi di Papua bagian selatan.
Kompas, Kamis, 9 Maret 2017