Komponen media tanam yang berasal dari jaringan mesokarpium atau sabut buah kelapa (Cocos nucifera) ini termasuk salah satu yang populer dan banyak digunakan penghobi kantong semar. Umumnya, cocopeat dicampur dengan sekam bakar dengan rasio sama banyak. Secara luas, cocopeat mulai digunakan sebagai pengganti gambut, terutama terkait dengan isu lingkungan.
Cocopeat baik digunakan sebagai media stek dalam lingkungan kelembapan tinggi. Berdasarkan pemeriksaan kimia yang dilakukan Suzuki et al (1998), polisakarida dinding sel cocopeat tersubstitusi asam hidroksibenzoat, yang dikenal sebagai kofaktor perakaran. Karena itu, penggunaan cocopeat disebut dapat memicu pembentukan akar (Raviv et al, 2002).
Sabut kelapa mengandung 60-70% jaringan empulur dan sisanya serabut. Setelah dipisahkan dari serabut panjang, sabut kelapa dicacah dan dapat dipisahkan menjadi dua bagian, yang kasar disebut serabut (fiber) dan yang berbentuk halus sebagai serbuk (dust). Di antara keduanya, bentuk serbuk lebih stabil. Serabut lebih mudah mengalami dekomposisi sekunder selama digunakan sebagai media tanam.
Produk limbah kelapa ini memiliki aerasi dan kapasitas penahan air yang baik. Bagian serbuk memiliki ruang pori total (TPS) 86-94% dan ruang pori terisi udara (AFP) 9-14%, sedangkan bagian serabut memiliki TPS 98% dan AFP sekitar 70% (Raviv et al, 2002). Cocopeat mampu menyerap air hingga sembilan kali bobotnya dan memberikan air mudah tersedia (EAW) relatif tinggi, sekitar 35%, sehingga baik digunakan untuk tanaman hias daun (Stamps dan Evans, 1997).
Serbuk cocopeat sangat ringan, dengan densitas (BD) 0,04-0,08 g/cm³. Sifat yang menguntungkan adalah elastisitas yang tinggi dan tahan terhadap pengempaan. Karena sifat ini, cocopeat bisa dikempa menjadi briket, sehingga memudahkan penyimpanan dan transportasi.
Cocopeat, terutama saat masih segar, memiliki kandungan polifenol yang tinggi. Kandungan polifenol dengan kadar di atas 2 mg per liter tersebut bersifat toksik terhadap akar selada (Ma dan Nichols, 2004). Nepenthes dari habitat rawa gambut seharusnya tahan terhadap bahan-bahan tersebut. Air rawa gambut mengandung senyawa polifenol, seperti tanin, dalam kadar tinggi. Tanin tersebut yang memberikan warna gelap pada air (Yule dan Gomez, 2009; Yule et al, 2016).
Rentang pH cocopeat umumnya 5,5-6,8. Karena mengandung lebih banyak lignin dan sedikit selulosa dibandingkan gambut, cocopeat lebih tahan terhadap peruraian oleh mikroba, sehingga tidak cepat menyusut. Cocopeat juga lebih mudah dibasahi kembali dibandingkan peat moss (Robbins, 2018).
Kadar garam
Cocopeat juga memiliki salinitas atau kadar garam yang tinggi. Kondisi ini dapat disebabkan proses pembuatan yang melibatkan perendaman buah kelapa dalam larutan garam untuk memudahkan mendapatkan serabutnya (Evans et al, 1996). Selain itu, kelapa bersifat semi-halofit dan menyerap garam, yang kemudian mengirimkan garam tersebut untuk mengembangkan buah (Jeganathan, 1992). Untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimal, pekebun biasanya memberikan NaCl dan KCl di sekitar pohon kelapa (Konduru et al, 1999).
Ada variasi kadar garam dalam cocopeat dari lokasi asal yang berbeda. Evans et al (1996) memberikan contoh, sampel cocopeat yang mereka ambil dari Rangkasbitung dan Lampung menunjukkan kadar Cl sekitar 500 ppm. Namun, kadar Cl sampel dari Tasikmalaya bisa mencapai 1.600 ppm.
Pengujian kadar Cl seperti itu tentu kurang praktis bagi penghobi. Pendekatan yang lebih aplikatif adalah dengan menggunakan pengukuran padatan terlarut total (TDS). Muhammad Hasan mengingatkan, TDS tidak spesifik menunjukkan kadar garam tertentu. “TDS itu umum. Karena di dalamnya banyak logam, oksida atau pun ion-ion yang ikut terhitung dalam satuan ppm,” ujarnya.
Kadar garam yang tinggi ini berpotensi menimbulkan masalah keracunan pada tanaman (Hewitt-Cooper, 2016, p. 45). Yuping memiliki pengalaman buruk dengan kadar garam yang tinggi dalam air siraman. Dia menceritakan, waktu musim kemarau, debit air Sungai Kapuas menurun sehingga air laut masuk ke sungai. TDS dapat mencapai 2.000 ppm, bahkan di tahun 2015 mengukir rekor TDS 5.000 ppm. Akibatnya, sebagian nepenthes mati. Spesies seperti N. treubiana dan N. mirabilis menunjukkan gejala keracunan tetapi bisa pulih. Gejala keracunan, yang disebut salt-burn, diawali dengan tepi daun menguning dan kemudian mengering, meskipun tulang daun masih terlihat baik. Yuping merekomendasikan TDS air di bawah 100 ppm. “Nepe 200 ppm masih bisa tahan tapi kurang bagus aja,” katanya.
Produsen bisa saja sudah melakukan pembilasan cocopeat sebelum dikemas dan dipasarkan. Proses pencucian dapat melibatkan penambahan kalsium (Ca) dan magnesium (Mg), misalnya dolomit, untuk memudahkan penghilangan Na serta meningkatkan kandungan nutrisi (Raviv et al, 2002). Cocopeat juga mengandung fosfor (P) dan kalium (K) dalam jumlah signifikan, berturut-turut antara 6-60 ppm dan 170-600 ppm (Robbins, 2018).
Kita tidak mengetahui atau memeriksa kadar garam dalam cocopeat yang dibeli. Demikian juga dengan proses produksi, lokasi asal, dan cara penanganan pohon kelapa yang menjadi sumber cocopeat. Chandra Prayitno mengatakan, untuk amannya cocopeat sebaiknya dicuci atau dibilas menggunakan air hujan sampai TDS air bilasannya tidak lebih dari 50 ppm. “Karunge ae ujan-ujano, meringankan cuci-cuci kita,” papar Chandra.
Gejala awal salt-burn pada N. campanulata dengan media 100 persen cocopeat dalam wadah gelas tanpa drainase. Gejala muncul setelah sekitar satu bulan. (Foto: Hadi Susilo)
Referensi:
Evans MR, Konduru S, Stamps RH (1996) Source variation in physical and chemical properties of coconut coir dust. Hortscience 31(6): 965-967
Hewitt-Cooper N (2016) Carnivorous Plants: Gardening with Extraordinary Botanicals. Portland: Timber Press
Jaganathan M (1993) Nut water analysis as a diagnostic tool in coconut nutrition studies. Commun. Soil Sci. Plan. 23(17-20): 2667-2686
Konduru S, Evans MR, Stamps RH (1999) Coconut husk and processing effects on chemical and physical properties of coconut coir dusk. Hortscience 34(1): 88-90
Ma YB, Nichols DG (2004) Phytotoxicity and detoxification of fresh coir dust and coconut shell. Commun. Soil Sci. Plan. 35(1-2): 205-2018
Raviv M, Wallach R, Silber A, Bar-Tal A (2002) Substrates and their analysis. Dalam: Savvas D, Passam H (editor) Hydroponic Production of Vegetables and Ornamentals. Athens: Embrio, pp. 25-102
Robbins JA (2018) Growing Media for Container Production in a Greenhouse or Nursery: Part 1 - Components and Mixes. Greenhouse and Nursery Series, University o f Arkansas. https://www.uaex.edu/publications/PDF/FSA-6097.pdf
Stamps RH, Evans MR (1997) Growth of Dieffenbachia maculata 'Camille' in growing media containing sphagnum peat or coconut coir dust. Hort. Sci. 32(5): 844-847
Suzuki S, Rodriguez EB, Saito K, Shintani H, Iiyama K (1998) Compositional and structural characteristics of residual biomass from tropical plantations. J. Wood Sci. 44(1): 40-46
Yule CM, Gomez LN (2009) Leaf litter decomposition in a tropical peat swamp forest in Peninsular Malaysia. Wetlands Ecol. Manage. 17(3): 231-241
Yule CM, Lim YY, Lim TY (2016) Degradation of tropical Malaysian peatlands decreases levels of phenolics in soil and in leaves of Macaranga pruinosa. Front. Earth Sci. 4:45. doi: 10.3389/feart.2016.00045
No comments:
Post a Comment