Oleh IWAN SANTOSA
STOVIA atau Sekolah Pendidikan Dokter Hindia merupakan lembaga pendidikan dokter yang tumbuh di awal 1900-an yang mampu melahirkan gagasan kebangsaan Indonesia. STOVIA lahir pada zaman politik etis, yakni utang budi bangsa Belanda kepada bangsa Indonesia. Politik etis ini mengangkat tiga tema, yaitu irigasi, migrasi, dan pendidikan.
Tampak depan bekas Gedung STOVIA, sekarang Museum Kebangkitan Nasional di Jakarta (Hari Akbar Muharam Syah)
Wujud balas budi bidang pendidikan di STOVIA adalah kebebasan berpikir dan bergaul dalam lintas komunitas. Kondisi ini akhirnya melahirkan kesadaran memperbaiki nasib bersama para mahasiswa STOVIA. Tahap awal gagasan kebangsaan tersebut diusung para mahasiswa STOVIA melalui perkumpulan Boedi Oetomo yang berdiri pada 20 Mei 1908.
Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Ravando, dalam buku Dokter Oen: Pejuang dan Pengayom Rakyat Kecil terbitan Penerbit Buku Kompas menceritakan, STOVIA didirikan karena kebutuhan tenaga medis akibat terjadinya berbagai wabah penyakit di Hindia Belanda, seperti pes, cacar, kolera, dan malaria.
Wabah penyakit ketika itu menjalar begitu cepat dari satu daerah ke daerah lain. Tio Tek Hong dalam Memoir Orang Tionghoa Pasar Baroe mencatat betapa dirinya menghindari wabah kolera dengan berpindah-pindah dari Batavia ke sejumlah kota hingga daerah pedalaman Jawa Barat.
Dalam kondisi tersebut, dokter sangat dibutuhkan masyarakat. Pekerja medis waktu itu bersifat mengabdi kepada masyarakat, gajinya jauh di bawah pamong praja. Akhirnya orang-orang idealis berpendidikan tinggilah yang masuk di STOVIA.
Sadha, seorang edukator di Museum Kebangkitan Nasional, di Gedung STOVIA , Kamis (18/5), mengatakan, sebagian besar siswa STOVIA angkatan tahun 1902 hingga 1920 adalah anak-anak bangsawan. Selain itu, ada siswa Eropa, Indo-Eropa, Tionghoa, dan kelompok lain. “Ada tokoh-tokoh yang tidak menyelesaikan kuliah, tetapi menjadi tokoh nasional, seperti tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan tokoh pers RM Tirto Adhisoerjo,” kata Sadha.
Sejarawan Bonnie Triyana mengatakan, para siswa STOVIA memiliki akses informasi terhadap perkembangan zaman waktu itu, seperti kekalahan Belanda dalam Perang Boer di Afrika Selatan, Perang Spanyol-Amerika yang diikuti revolusi Filipina, dan era liberal yang memberi ruang bagi masuknya pemikiran dan pendidikan di negara-negara jajahan, termasuk Hindia Belanda.
“Para mahasiswa STOVIA yang didirikan tahun 1902 itu bergaul lintas komunitas dan terinspirasi dengan gagasan kemanusiaan. Mereka bebas dari sekat agama dan suku. Revolusi Perancis yang mengusung kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan menjadi inspirasi STOVIA,” kata Bonnie.
Pada masa angkatan awal siswa STOVIA tahun 1905, Jepang mengalahkan Rusia dalam pertempuran laut Tsushima. Kemenangan bangsa Asia untuk pertama kalinya terhadap bangsa Eropa ini turut membangkitkan kesadaran bagi siswa STOVIA.
Para siswa generasi pertama STOVIA pun mendirikan Boedi Oetomo (BO), 20 Mei 1908. Pendirian BO diikuti kongres pertama pada 3-5 Oktober 1908 di Yogyakarta yang menghasilkan ketua RAA Tirtokoesoemo, wakil ketua dokter Wahidin Soedirohoesodo, dan dokter Tjipto Mangoenkoesoemo sebagai komisaris.
Pendirian Boedi Oetomo mendapat dukungan awal dari bupati Jepara, Demak, Temanggung, Karanganyar, dan Kutoarjo. Bupati Jepara dan Demak adalah keluarga besar dari tokoh pembaru pendidikan perempuan, RA Kartini.
BO pada masa awalnya mendorong beasiswa bagi siswa tidak mampu di Jawa. Namun, hal itu lalu bergulir dalam keterlibatan anggota BP di Volksraad, Parlemen Hindia Belanda, hingga pendirian Indische Partij atau Partai Hindia.
Bola salju
Aktivitas para tokoh dan alumnus STOVIA dari periode 1910 menjadi bola salju politik yang bergulir dengan Sumpah Pemuda yang dilakukan pada 28 Oktober 1928. Lagu “Indonesia Raya” pertama kali diperdengarkan dalam acara yang berlangsung di bawah pengawasan interlijen Hindia Belanda itu.
Alumnus STOVIA, Mas Soetardjo Kertohadikusumo, bersama IJ Kasimo, GSSJ Ratulangi, Datuk Tumenggung, dan Ko Kwat Tiong mengajukan Petisi Soetardjo tahun 1936 menuntut pemberian otonomi kepada Indonesia dalam waktu 10 tahun. “Soetardjo adalah kerabat Mangkunegaran yang juga pernah bersekolah di STOVIA,” kata Daradjadi Gondosuputro, penulis buku Mr Sartono: Pejuang Demokrasi dan Bapak Parlemen Indonesia.
Para alumnus STOVIA pun aktif bergaul lintas komunitas memperjuangkan kebangsaan. Mereka, misalnya, adalah dokter Tjipto Mangoenkoesoemo, yang bergaul dengan Liem Koen Hian, pendiri Partai Tionghoa Indonesia (1932). Partai ini mendorong warga Tionghoa mendukung Indonesia merdeka.
Liem Koen Hian adalah senior AR Baswedan di media massa Sin Tit Po. AR Baswedan mendirikan Partai Arab Indonesia (1934) yang juga mendorong Indonesia merdeka.
Pandangan kemanusiaan lintas suku bangsa dan agama khas STOVIA ini yang membuat dokter Tjipto Mangoenkoesoemo berkata “Met of zonder pitji, Liem Koen Hian adalah Indonesier…” yang berarti ‘... dengan atau tanpa peci, Liem Koen Hian adalah seorang putra Indonesia’.
Puncak bola salju politik para alumnus STOVIA adalah kemerdekaan 17 Agustus 1945. Radjiman Wedyodiningrat, mantan dokter Keraton Surakarta, menjadi pemimpin Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Semangat STOVIA adalah gagasan kemanusiaan yang mampu melahirkan dan mempersatukan kebangsaan dengan sangat relevan. Kampus-kampus Indonesia harus mampu melahirkan cendekiawan dengan gagasan kemanusiaan lintas komunitas yang memperkuat kebangsaan Indonesia.
Kompas, Minggu, 28 Mei 2017
No comments:
Post a Comment