Oleh MYRNA RATNA
Kebijakan "satu anak" Pemerintah China menjadi bumerang bagi keseimbangan demografi. Saat ini, populasi penduduk lanjut usia melonjak, sementara generasi angkatan kerja menurun drastis. Meski kebijakan itu sudah dicabut pada 2015 dan diganti dengan kebijakan "dua anak", kesenjangan sulit dijembatani.
Pada tahun 1979, pemimpin China, Deng Xiaoping, menerapkan kebijakan "satu anak" untuk memperlambat pertumbuhan populasi China yang saat itu sudah mendekati angka 1 miliar jiwa. Garis kebijakan Deng sangat jelas: jangan sampai keberhasilan pertumbuhan ekonomi terhalang pertumbuhan populasi yang sangat cepat.
Namun, di lapangan, penerapan kebijakan tersebut menimbulkan fenomena memilukan. Terjadi pengguguran kandungan dan sterilisasi secara paksa. Terlebih di desa-desa di mana para orangtua lebih memilih memiliki anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Tidak terhitung berapa banyak calon jabang bayi perempuan yang digugurkan demi harapan kelak bisa memiliki satu anak laki-laki.
Setelah beberapa dekade, kebijakan itu memunculkan risiko baru, antara lain ketimpangan rasio perempuan dan laki-laki. Yang paing terasa adalah ketika para orangtua dari generasi yang lahir tahun 1980-an telah memasuki periode lansia. Berdasarkan data yang dilansir harian The New York Times, Sabtu (11/8/2018), pada tahun 2020-2035 China akan kehilangan angkatan kerja (warga berusia 15-64 tahun) sebanyak 100 juta orang dan 100 juta orang lagi pada periode 2035-2050.
Pertumbuhan ekonomi China sejak tahun 1980-an selalu di atas 10 persen. Namun, sejak tahun 2012, pertumbuhan tersebut terus melambat sampai hanya 6,7 persen. Pemerintah China tidak memiliki banyak pilihan, apalagi saat ini jumlah warga yang berusia 65 tahun ke atas sudah mencapai 10 persen dan akan naik menjadi 15 persen pada tahun 2027. China pun membatalkan aturan "satu anak" pada tahun 2015 dan mengeluarkan aturan baru, "dua anak".
Nyatanya, generasi yang selama 35 tahun dicekoki moto bahwa satu anak tersebut cukup dan menunda perkawinan itu bagus tidak bersemangat menyambut aturan baru. Biaya hidup, termasuk biaya pendidikan dan kesehatan, persaingan kerja, kesulitan memiliki rumah, serta kesulitan mengurus anak, membuat para orangtua enggan menambah anak.
Ketidaksetaraan jender
Diskriminasi di dunia kerja juga ikut mendorong perempuan enggan menambah anak. Perusahaan lebih memilih merekrut karyawan laki-laki dibandingkan dengan perempuan karena mereka tidak perlu membayar cuti hamil ataupun ongkos berobat karyawan perempuan yang hamil.
Berdasarkan survei yang dilakukan 51job.com, seperti dikutip The Economist, Jumat (3/8), sebanyak 75 persen perusahaan menyatakan enggan mempekerjakan perempuan seteah Pemerintah China menerapkan kebijakan "dua anak".
Hal ini juga diperkuat oleh survei yang dilakukan Federasi Perempuan China. Sebanyak 55 persen perempuan mengatakan, dalam wawancara pekerjaan, mereka ditanyai hal-hal yang cenderung "menjebak", seperti: Apakah sudah memiliki pacar?, Kapan Anda berencana memiliki anak?, dan seterusnya.
Survei lain yang dilakukan Zhaopin (situs lowongan pekerjaan) menunjukkan, sekitar 30 persen responden perempuan menyebutkan gaji mereka turun setelah melahirkan dan sebanyak 36 persen posisi mereka diturunkan.
Alhasil, banyak perempuan menolak menambah anak, atau menunda menikah, atau bahkan memilih melajang. Padahal, pada dekade mendatang, jumlah perempuan China yan berusia subur (20-39 tahun) akan berkurang dari 202 juta orang menjadi 163 juta orang. Kenyataan ini membuat Pemerintah China mengupayakan segala cara untuk mendorong para perempuan mau melahirkan lebih dari satu anak.
Aturan tambahan
Di sejumlah provinsi, aturan untuk menggugurkan kandungan diperketat. Di Provinsi Jiangxi, seperti dikutip The New York Times, saat ini ada aturan baru untuk memperoleh izin aborsi, antara lain harus memiliki tiga tanda tangan dari tenaga medis.
Di provinsi lainnya, aturan yang diperketat bukan hanya soal aborsi, melainkan juga soal perceraian. Pengadilan akan semakin mempersulit proses perceraian. Pada tenaga medis juga akan berupaya keras agar proses kelahiran tidak dilakukan melalui operasi caesar karena dinilai akan mempersulit proses kelahiran berikutnya.
Namun, hal yang kini menjadi sorotan para aktivis perempuan adalah betapa Pemerintah China telah terlalu jauh mengatur hak paling pribadi seorang perempuan sehingga perempuan tidak memiliki kontrol terhadap tubuhnya.
Kenyataan ini juga diperburuk oleh diskriminasi jender yang terjadi di China. Indeks global Forum Ekonomi Dunia menunjukkan, peringkat China juga melorot dari urutan ke-69 ke urutan ke-100 daam ha kesetaraan jender (Indonesia peringkat ke-84).
Meski Presiden Xi Jinping sudah berkomitmen untuk memperjuangkan kesetaraan perempuan, hal ini belum terepresentasikan dalam kebijakan nyata, antara lain tak adanya wakil perempuan di Komite Tetap Politbiro Partai Komunis China, yang merupakan badan politik tertinggi di China. Otoritas China juga pada 2016 menutup lembaga bantuan hukum bagi perempuan, Zhongze, yang diapresiasi oleh dunia internasional. Lembaga ini membantu perempuan dalam masalah kekerasan domestik, hak pengasuhan anak, hak tanah, perselisihan kerja, dan lain-lain.
Perkembangan yang dialami China jelas menunjukkan, ketika posisi perempuan menjadi kunci dalam proses pembangunan, maka pemerintah hanya memiliki satu opsi: berinvestasi sebesar-besarnya dalam pemberdayaan perempuan di semua sektor. Jika pemerintahan Xi enggan melakukan hal itu, China akan mengalami problem demografi dan sosial yang lebih berat di masa mendatang.
Kompas, Sabtu, 15 September 2018
No comments:
Post a Comment