Walau tidak suka, nyatanya banyak orang menikmati gosip. Meski dibenci, gosip berperan besar sebagai kontrol sosial untuk menjaga norma kelompok. Dan, gosip bukan hanya milik perempuan.
Gosip… gosip… dan gosip…. Tak perlu menuding emak-emak
sebagai biang gosip seperti dalam film pendek Tilik (2018) yang sedang viral
karena kita semua suka gosip. Kebiasaan bergosip dilakukan semua orang, tak
peduli jenis kelamin, kelompok sosial, tingkat ekonomi, bahkan pendidikan.
Bergosip adalah proses pertukaran informasi yang evaluatif, baik positif maupun negatif, dengan membicarakan pihak ketiga tanpa kehadiran pihak yang dibicarakan tersebut. Proses pertukaran ini akan berlangsung jika ada timbal balik atau orang lain yang menimpali hingga jadi cerita yang menyenangkan.
”Orang suka bergosip karena efeknya bisa memberi rasa
senang,” kata Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam
Ratulangi, Manado, Taufiq Pasiak, Kamis (27/8/2020).
Secara evolutif, manusia adalah makhluk yang gemar berkisah
tentang apa pun, baik hal-hal faktual yang dirasakan, dilihat, dan dihadapi
atau sesuatu yang imajinatif. Tambahan mimik wajah, bahasa tubuh, dan pilihan
kata khas membuat cerita yang disampaikan kian menarik hingga menyenangkan
sistem limbik di otak.
Perpaduan aspek kognitif dan emosi dari bergunjing itulah
yang membuat bergosip menghasilkan pola yang sama dengan rumor, hoaks, atau
bercerita (story telling) di otak. Terlepas dari dampak baik dan buruknya,
semua hal itu mampu menghasilkan kesenangan secara instan tanpa manusia
perlu mengeluarkan energi besar.
Namun, bukan hanya informasi atau kesenangan yang bisa
diperoleh dari gosip. Eko A Meinarno dan rekan dalam Apakah Gosip Bisa MenjadiKontrol Sosial? di Jurnal Psikologi Pitutur, Juni 2011, menyebut gosip juga
bisa dijadikan alat pertemanan yang merekatkan persahabatan dan ikatan
kelompok.
Gosip juga bisa dijadikan sarana untuk memengaruhi
masyarakat. ”Gosip menjadi alat komunikasi asertif (langsung, tapi tetap
memperhatikan kondisi lawan bicara) yang efektif, tidak agresif atau merusak,”
kata Eko yang merupakan dosen psikologi sosial Universitas Indonesia, Depok,
Jumat (28/8/2020).
Karena itu, Frank T McAndrew, profesor psikologi di Knox
College, Illinois, Amerika Serikat, dalam The Conversation, 25 September 2019,
menyebut bergosip sebagai keterampilan sosial seseorang, bukan cacat karakter.
Orang yang sulit bergosip cenderung sulit mempertahankan hubungan dan sering
merasa dikucilkan.
Pada dasarnya, gosip adalah strategi seseorang untuk
meningkatkan reputasi dan kepentingan diri dengan mengorbankan orang lain.
Karena itu, gosip bisa digunakan dengan kejam untuk mewujudkan kepentingan
egois seseorang.
Eko menambahkan, orang yang suka bergosip memiliki kemampuan
mengolah data dan menggabungkannya dengan kata-kata yang menarik. Namun,
penyatuan ide itu umumnya dilakukan secara acak dan mengabaikan faktor-faktor
pendukung lainnya hingga berisiko menghasilkan kesimpulan yang salah. Pola
cocoklogi itu pula yang banyak ditemukan pada hoaks.
Prasejarah
Tidak ada data pasti sejak kapan manusia mulai bergosip.
Namun, gosip diyakini bertumbuh seiring dengan berkembangnya kemampuan manusia
berbahasa.
Dosen antropologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Aris
Arif Mundayat, dalam webinar Antropologi Ghibah, Rabu (26/8/2020), mengatakan,
jika agama-agama melarang bergosip atau gibah, artinya perilaku ini sudah ada
sejak ribuan tahun lalu.
Di Indonesia, catatan pergosipan tertua ada di relief Candi
Borobudur yang dibangun pada abad ke-8 Masehi. Pahatan batu di sesi
Karmawibhangga atau bagian paling bawah candi itu menggambarkan laki-laki
dengan mimik wajah dan bibir sedang bergosip.
”Rasan-rasan (membicarakan orang lain dalam bahasa Jawa)
adalah keluh kesah orang yang tertindas,” kata Aris mengutip pendapat Karl
Marx. Karena itu, selama ada yang merasa tertindas, pergunjingan akan abadi.
Direktur Institute for Multiculturalism and Pluralism
Studies (Impulse) Yogyakarta Gutomo Priyatmono menambahkan, gosip juga selalu
muncul dalam konteks kontestasi. ”Ada persaingan, pasti ada gibah,” katanya.
Pergunjingan terjadi karena tekanan yang muncul dalam persaingan
itu tak memiliki jalan keluar atau ruang intelektual yang mampu menampung
keresahan dan melawan tekanan. Karena itu, gibah menjadi upaya atau senjata
perlawanan bagi kaum yang lemah.
Walau demikian, lanjut McAndrew, suka atau tidak suka,
manusia adalah makhluk yang senantiasa ingin tahu urusan orang lain.
Keingintahuan itu adalah produk samping otak prasejarah manusia.
Di awal peradaban manusia, manusia hidup dalam kelompok
kecil yang mengenal satu sama lain. Mereka harus bekerja sama agar terhindar
dari musuh dan mampu bertahan di alam yang keras. Namun, pada saat bersamaan,
mereka juga bersaing satu sama lain untuk memperebutkan sumber daya yang
terbatas atau mencari pasangan untuk bereproduksi.
Kondisi itu menuntut nenek moyang kita beradaptasi secara
sosial, menilai siapa yang bisa diandalkan dan dipercaya, siapa yang curang,
atau menyeimbangkan antara kepentingan sebagai teman, keluarga, dan sekutu.
Dalam penilaian itu, perhatian terhadap hal-hal pribadi orang lain akan sangat
berguna dalam proses evolusi.
”Orang yang memiliki kemampuan inteligensia sosial lebih
baik dalam menilai, menerka, dan memengaruhi orang lain akan bertahan hidup
lebih baik,” katanya.
Perempuan ekspresif
Kemampuan bergosip ini ada pada laki-laki dan perempuan.
Namun, tambah Taufiq, perempuan memang jauh lebih ekspresif dalam bergosip
dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan memiliki perbendaharaan kata dan
nuansa emosi dalam bergosip yang lebih kaya dibandingkan dengan laki-laki.
Perbedaan ini terjadi karena struktur otak perempuan dan laki-laki sedikit
berbeda.
Pusat pengaturan bahasa ada di otak kiri manusia. Namun,
pada perempuan, pusat bahasa itu juga tersebar di sejumlah tempat, termasuk di
otak kanan. Sementara pusat bahasa laki-laki hanya di otak kiri.
”Akibatnya, perempuan memproduksi kata-kata lebih kaya,”
katanya. Dalam sehari, perempuan memproduksi kata sembilan kali lebih banyak
dibandingkan dengan laki-laki.
Selain itu, korpus kalosum atau jaringan saraf penghubung
otak kiri dan otak kanan pada perempuan lebih tebal dan padat. Karena otak
kanan dominan dalam mengatur emosi, perempuan saat bergosip memiliki nuansa
emosi yang lebih kuat. Sementara ketika laki-laki bergosip, nuansa emosinya seolah
terpisah dari kata-kata yang digunakan.
Topik gosip laki-laki dan perempuan juga berbeda. Perbedaan
itu adalah konsekuensi dari proses evolusi mereka yang juga tak sama, perempuan
banyak berada di ruang domestik, sedangkan laki-laki di ruang publik.
Akibatnya, tema gosip perempuan lebih didominasi isu
kehidupan pribadi dan rumah tangga, sedangkan tema gosip laki-laki adalah
politik dan seks. Perempuan jarang menggosipkan soal seks, kecuali terkait
hubungan suami-istri dan biasanya tema ini sulit berkembang. Namun, tema seks
yang didorong oleh nafsu dan permainan bisa menjadi pemersatu laki-laki untuk
bergosip meski mereka bertolak belakang dalam pandangan politik.
Meski demikian, gosip tak selamanya buruk seperti yang
dipandang masyarakat selama ini. Gosiplah yang membuat kehidupan sosial manusia
terus berdetak hingga kini.
”Gosip bisa menjadi sarana menegakkan norma kelompok,” kata
Eko. Selain itu, gosip juga bisa menjadi media hukuman sosial bagi orang yang
melanggar norma masyarakat. Penghukuman itu sekaligus menjadi pembelajaran
anggota kelompok untuk tetap mematuhi norma yang berlaku.
Namun, gosip sepertinya mengalami peyorasi karena sering
membicarakan keburukan orang lain. Padahal, agama pun umumnya masih menoleransi
membicarakan keburukan orang lain, seperti membicarakan kezaliman pemimpin
ataupun dalam proses persidangan atau hukum.
Taufiq menilai baik dan buruk gosip sangat bergantung pada
tema yang dibicarakan. Pilihan tema bergosip itu pula yang membuat bergosip
bisa menjadi sarana pelepas ketegangan dan stres. Namun, gosip dipastikan juga
bisa membuat stres orang yang dibicarakan. Saat gosip berisi hasutan atau
fitnah, di situlah gosip benar-benar menjadi perilaku manusia yang merusak.
M. Zaid Wahyudi, "Gosip Tak Kenal Jender", Kompas,
Sabtu, 29 Agustus 2020, halaman 5
No comments:
Post a Comment