Thursday, 17 September 2020

Toleransi di Tepian Musi

Semangat toleransi dan keberagaman sudah tumbuh di Palembang sejak lama. Hal itu tercermin dari bangunan-bangunan yang menjadi penanda akulturasi budaya, juga dari pembauran masyarakat.

Tepian sungai Musi dari kawasan Sebelarang Ulu 1, Palembang, Rabu (28/8/2020)

Tidak ada yang bisa menyangkal, keberagaman sudah tumbuh di Palembang, Sumatera Selatan, sejak abad ke-7. Di “Bumi Sriwijaya” ini bertebaran bangunan tua bersejarah penanda akulturasi budaya. Spirit toleransi pun bersemi dalam kehidupan sehari-hari di tepi Sungai Musi.

Kami menikmati perjalanan di Palembang selama tiga hari, pada Selasa – Kamis (25-28/8/2020). Perjalanan diawali dengan menempuh jalur darat melintasi Jalan tol Trans Sumatra ruas Bakauheni-Palembang, Selasa siang.

Perjalanan yang biasanya ditempuh sembilan hingga sepuluh jam, kini bisa dipangkas jadi empat jam berkat kehadiran jalan tol Trans Sumatra. Setelah berhenti menyantap menu makan siang pindang salai di sebuah rumah makan sederhana di daerah Kayu Agung, Sumsel, perjalanan berlanjut.

Kedatangan kami di Palembang disambut pemandangan matahari tenggelam di atas Jembatan Ampera. Ikon Kota Pelembang ini dibangun di atas Sungai Musi, sungai terpanjang di Pulau Sumatra yang membelah Kota Palembang menjadi dua bagian, Ulu dan Ilir. Sejak masa Kerajaan Sriwijaya hingga kini, sungai ini menjadi sarana transportasi warga.

Arsitektur rumah di Kampung Kapitan Palembang ini merupakan perpaduan antara arsitektur etnis China, Melayu, dan Eropa, Rabu (26/08/2020). Kampung Kapitan ini terletak di kawasan 7 Ulu ini sudah menjadi cagar budaya dan kini salah satu destinasi wisata di kota Palembang.

Di pinggir Sungai Musi, berjajar bangunan-bangunan mengapung yang menjadi rumah warga. Kami pun berhenti di dekat Jembatan Ampera untuk memotret kehidupan sehari-hari warga. Anak-anak yang berenang dan masyarakat yang berjualan di pasar apung.

Dari arah dermaga Pasar 16 Ilir, bangunan Klenteng Soei Goeat Kiong, atau lebih dikenal dengan Klenteg Chandra Nadi, yang berwarna merah menyala mencuri perhatian. Klenteng yang dibangun sekitar tahun 1820 – 1850 ini menghadap ke arah Sungai Musi. Kami pun bergegas menyinggahi klenteng ini untuk menikmati keunikan bangunan dan berinteraksi dengan warga yang ada di sana.

Bagi warga Palembang, Klenteng Chandra Nadi ini penting karena menjadi tempat beribadah Thridarma, serta pusat budaya dan interaksi masyarakat Tionghoa. Klenteng ini merupakan situs bersejarah dan menjadi simbol pembauran. Memasuki halaman klenteng, semangat pembauran itu tercermin dari keberadaan Masjid Al Ghazali yang berada di dekat klenteng.

Klenteng Candra Nadi atau klenteng Dewi Kwan Im ini terletak di tepian Sungai Musi, Seberang Ulu 1, Palembang, Rabu (26/08/2020). Kelenteng ini dibangun sekitar tahun 1821 dan hingga kini menjadi tempat ibadah bagi komunitas pecinan di Palembang.

Setiap Idul Fitri, masjid penuh dengan jemaah yang menjalankan salat Ied. Kendaraan yang membludak akan diparkir dalam halaman klenteng. Bergantian kendaraan milik umat Buddha diparkir di halaman masjid ketika hari raya Imlek dan hari ulang tahun Sang Kwan Im. Saat perayaan hari besar, umat Buddha yang datang bukan hanya dari Palembang, tetapi juga dari luar kota bahkan luar negeri, seperti Singapura dan Malaysia.

Di klenteng, kehadiran kami disambut oleh Ali Shahab (50), seorang Muslim berdarah keturunan Arab yang sudah selama sembilan tahun bekerja sebagai petugas keamanan di klenteng. Perbedaan warna kulit, tekstur wajah, juga latar belakang suku dan agama, tidak membuat Ali gerah bekerja di lingkungan yang mayoritas merupakan warga Tionghoa. Ia justru merasakan indahnya kerukunan di antara warga Palembang yang berbeda suku dan agama.

Menurut Ali, meski masyarakat Palembang menganut agama berbeda-beda, tetapi tidak pernah ‘usil’ satu sama lain. “Beragama itu hak masing-masing, yang penting kita hidup saling menghargai dan menghormati,” ujarnya.

Klenteng ini juga mempekerjakan Rozi Alamsyah (64), warga asli Palembang selama lebih dari 30 tahun. Sebagai Muslim yang bekerja di klenteng dan menjadi minoritas di lingkungan itu, Rozi tidak pernah mengalami diskriminasi. Ia pun menikmati hidup rukun di tengah perbedaan.

Suasana di Kampung Arab Al Munawar, Palembang, Sumatra Selatan, Rabu (27/8/2020). Arsitektur bangunan di kampung ini terpengaruh budaya Timur Tengah dan Eropa.

“Pernah dulu ada orang yang bertanya kenapa saya bekerja di klenteng? Saya jelaskan bahwa niat saya hanya bekerja. Orang-orang mengerti dan tidak ada lagi yang mempermasalahkan. Di Palembang, bukan agama yang menyatu, tetapi umatnya menyatu,” ujarnya.

Pengurus Klenteng Chandra Nadi, Tjik Harun mengatakan, semangat toleransi dan keberagaman sudah tumbuh di Palembang sejak lama. Hal itu tercermin dari bangunan-bangunan yang menjadi penanda akulturasi budaya, juga dari pembauran masyarakat. Di Kelenteng Chandra Nadi terdapat 20 pekerja yang berasal dari berbagai agama dan etnis.

“Keluarga dan orang tua para pekerja kemungkinan juga sudah lebih dulu bekerja di klenteng. Ini membuktikan toleransi dan keberagaman sudah ada sejak lama, toleransi diwariskan turun temurun oleh generasi sebelumnya,” jelas Harun.

Jalur perdagangan

Menyusuri jalur di pinggir Sungai Musi dan berinteraksi dengan masyarakat yang tinggal di sana seolah mengajak kita berefleksi mengenai hakikat hidup dalam keberagaman.

Menurut catatan sejarah, sungai yang menjadi saksi kejayaan Sriwijaya ini digunakan sebagai jalur perdagangan dan transportasi. Sungai sepanjang 720 kilometer dengan lebar 300 meter hingga 2,1 kilometer ini mempertemukan orang antarsamudra, antarbenua, menjadikan Palembang sebagai lalu lintas perdagangan yang ramai di Asia Tenggara.

Multikulturalisme di Palembang sangat kental terasa, karena sebagai pusat perdagangan, kota ini mudah dijangkau oleh orang asing. “Akses dan ketersediaan komoditas dagang menjadi magnet untuk orang dari luar daerah,” jelas Arkeolog Retno Purwanti.

Bentuk bangunan Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo, di jantung kota Palembang ini, merupakan perpaduan antara arsitektur Melayu, China, dan Eropa, Rabu (26/08/2020).

Orang-orang yang datang dari luar kemudian membangun perkampungan multietnis di pinggir Sungai Musi. Untuk menyelami akulturasi ini, keesokan harinya, tim Kompas mengunjungi dua perkampungan yang menyimpan jejak pembauran, yaitu Kampung Arab Al Munawwar dan Kampung China Kapitan. Di kedua kampung ini, jejak pembauran terasa mulai dari ornamen, arsitektur bangunan, hingga interaksi antar masyarakat.

Kampung Arab Al Munawar umumnya menjadi tempat tinggal warga keturunan Arab di antaranya bermarga Assegaf, Al-Habsy, Al-Kaaf, Hasny, dan Syahab. Tulisan “Al Munawar” menyambut pengunjung yang datang melalui jalur Sungai Musi.

Rumah-rumah di Kampung Arab ini dulunya dibangun oleh Al Habib Abdurrahman Al Munawwar untuk delapan anaknya. Dari 17 rumah yang ada, sebanyak delapan rumah ditetapkan sebagai cagar budaya. Bangunan rumah sebagian besar masih asli dan klasik. Di antara rumah terdapat lorong yang sudah ditata rapi, menambah kesan sebagai kota tua.

Keunikan kampung ini antara lain ada pada bangunannya yang terpengaruh ornamen Timur Tengah dan Eropa. Selain untuk tempat tinggal, rumah juga difungsikan sebagai tempat beribadah dan sekolah.

Perkampungan Cina, Kampung Kapitan, Kota Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (8/2/2020).

Ahmad Syech, keturunan dari Al Munawwar menjelaskan, warga sepakat menjadikan kampung ini sebagai kawasan wisata religi. Sebagai destinasi wisata religi, ada kegiatan kesenian seperti gambus yang ditonjolkan. Kegiatan ini dilakukan pada hari-hari tertentu, seperti Maulid Nabi, Bulan Ramadan, dan Tahun Baru Islam.

Di kampung ini terdapat makanan khas yaitu nasi minyak atau nasi kebuli. Biasanya, makanan disuguhkan secara lesehan dan dapat dinimati bersama-sama.

Menjelang sore, perjalanan kami lanjutkan ke Kampung Kapitan yang menjadi simbol pembauran antara etnis China, Melayu, dan Eropa. Pembauran dapat dilihat dari bentuk rumah yang merupakan perpaduan arsitektur ketiganya. Pilar rumah dibangun berbentuk silinder layaknya ciri khas bangunan Eropa. Bagian depan rumah mengadopsi bentuk rumah limas (khas Palembang atau Melayu). Sementara di bagian tengah rumah khas bangunan China.

Kampung Kapitan dulunya merupakan sentral perdagangan kota. Di kampung ini ada beberapa rumah milik masyarakat etnis Tionghoa di masa kolonial Hindia Belanda. Akan tetapi, kini hanya tersisa dua rumah panggung peninggalan leluhur etnis China.

Meski sudah berusia ratusan tahun, keaslian arsitektur bangunan yang mencerminkan keberagaman masih dipertahankan. Demikian juga, semangat toleransi dan gotong royong tetap dijaga.

“Sampai sekarang, kalau ada warga Melayu yang membutuhkan halaman rumah ini untuk menggelar acara pernikahan, kami persilakan. Kami tidak membeda-bedakan kelompok,” kata Mulyadi, anggota keluarga yang masih tinggal di situ.

Klenteng Candra Nadi atau kleteng Dewi Kwan Im ini terletak di tepian Sungai Musi, Seberang Ulu 1, Palembang, Rabu (26/08/2020). Kelenteng ini di bangun sekitar tahun 1821 dan hingga kini menjadi tempat ibadah bagi komunitas pecinan di Palembang.

Menurut budayawan Sumsel Vebri Al Lintani, orang-orang Palembang dikenal keras, tetapi konflik tidak pernah berkepanjangan. Itulah yang menjadi kunci kerukunan. “Kami selalu mencari persamaan di antara begitu banyak perbedaan, serta mengedepankan kearifan lokal untuk memecahkan persoalan,” kata dia.

Menurut Vebri, nilai-nilai yang diturunkan oleh karakter kota pelabuhan yang terbuka di masa lalu dan terbiasa menerima kehadiran masyarakat itu masih ada dan terus dipertahankan. “Di Sumsel, paling mudah mencari saudara, karena kami mempunyai kearifan lokal seperti angkan-angkanan, sebuah tradisi mengangkat persaudaraan di antara warga,” ujarnya.

Kami mengakhiri perjalanan di Palembang dengan berburu makanan khas seperti pempek. Sebelum kembali ke Jakarta, kami menyempatkan sekali lagi berkunjung ke Klenteng Chandra Nadi. Di sana, terasa bahwa semangat keberagaman dan toleransi itu tidak jatuh dari langit. Semangat ini terus dihidupi dari generasi ke generasi melalui sikap hidup sehari-hari.

Jembatan Ampera merupakan ikon kota Palembang, melintas di atas Sungai Musi mengubungkan wilayah Seberang Ulu dan Seberang Ilir, Rabu (26/08/2020). Kini jembatan megah itu berdampingan dengan Jembatan Lintas Rel Terpadu (LRT) di Palembang.

Penulis: Denty Piawai Nastitie, Rhama Purnajati

Fotografer: Eddy Hasby

Editor: Nur Hidayati, Mohammad Hilmi Faiq

No comments:

Post a Comment