Semangat toleransi dan keberagaman sudah tumbuh di Palembang sejak lama. Hal itu tercermin dari bangunan-bangunan yang menjadi penanda akulturasi budaya, juga dari pembauran masyarakat.
Tidak ada yang bisa menyangkal, keberagaman sudah tumbuh di Palembang, Sumatera Selatan, sejak abad ke-7. Di “Bumi Sriwijaya” ini bertebaran bangunan tua bersejarah penanda akulturasi budaya. Spirit toleransi pun bersemi dalam kehidupan sehari-hari di tepi Sungai Musi.
Kami menikmati perjalanan di Palembang selama tiga hari,
pada Selasa – Kamis (25-28/8/2020). Perjalanan diawali dengan menempuh jalur
darat melintasi Jalan tol Trans Sumatra ruas Bakauheni-Palembang, Selasa siang.
Perjalanan yang biasanya ditempuh sembilan hingga sepuluh
jam, kini bisa dipangkas jadi empat jam berkat kehadiran jalan tol Trans
Sumatra. Setelah berhenti menyantap menu makan siang pindang salai di sebuah
rumah makan sederhana di daerah Kayu Agung, Sumsel, perjalanan berlanjut.
Kedatangan kami di Palembang disambut pemandangan matahari
tenggelam di atas Jembatan Ampera. Ikon Kota Pelembang ini dibangun di atas
Sungai Musi, sungai terpanjang di Pulau Sumatra yang membelah Kota Palembang
menjadi dua bagian, Ulu dan Ilir. Sejak masa Kerajaan Sriwijaya hingga kini,
sungai ini menjadi sarana transportasi warga.
Di pinggir Sungai Musi, berjajar bangunan-bangunan mengapung
yang menjadi rumah warga. Kami pun berhenti di dekat Jembatan Ampera untuk
memotret kehidupan sehari-hari warga. Anak-anak yang berenang dan masyarakat
yang berjualan di pasar apung.
Dari arah dermaga Pasar 16 Ilir, bangunan Klenteng Soei
Goeat Kiong, atau lebih dikenal dengan Klenteg Chandra Nadi, yang berwarna
merah menyala mencuri perhatian. Klenteng yang dibangun sekitar tahun 1820 –
1850 ini menghadap ke arah Sungai Musi. Kami pun bergegas menyinggahi klenteng
ini untuk menikmati keunikan bangunan dan berinteraksi dengan warga yang ada di
sana.
Bagi warga Palembang, Klenteng Chandra Nadi ini penting
karena menjadi tempat beribadah Thridarma, serta pusat budaya dan interaksi
masyarakat Tionghoa. Klenteng ini merupakan situs bersejarah dan menjadi simbol
pembauran. Memasuki halaman klenteng, semangat pembauran itu tercermin dari
keberadaan Masjid Al Ghazali yang berada di dekat klenteng.
Setiap Idul Fitri, masjid penuh dengan jemaah yang
menjalankan salat Ied. Kendaraan yang membludak akan diparkir dalam halaman
klenteng. Bergantian kendaraan milik umat Buddha diparkir di halaman masjid
ketika hari raya Imlek dan hari ulang tahun Sang Kwan Im. Saat perayaan hari
besar, umat Buddha yang datang bukan hanya dari Palembang, tetapi juga dari
luar kota bahkan luar negeri, seperti Singapura dan Malaysia.
Di klenteng, kehadiran kami disambut oleh Ali Shahab (50),
seorang Muslim berdarah keturunan Arab yang sudah selama sembilan tahun bekerja
sebagai petugas keamanan di klenteng. Perbedaan warna kulit, tekstur wajah,
juga latar belakang suku dan agama, tidak membuat Ali gerah bekerja di
lingkungan yang mayoritas merupakan warga Tionghoa. Ia justru merasakan
indahnya kerukunan di antara warga Palembang yang berbeda suku dan agama.
Menurut Ali, meski masyarakat Palembang menganut agama
berbeda-beda, tetapi tidak pernah ‘usil’ satu sama lain. “Beragama itu hak
masing-masing, yang penting kita hidup saling menghargai dan menghormati,”
ujarnya.
Klenteng ini juga mempekerjakan Rozi Alamsyah (64), warga
asli Palembang selama lebih dari 30 tahun. Sebagai Muslim yang bekerja di
klenteng dan menjadi minoritas di lingkungan itu, Rozi tidak pernah mengalami
diskriminasi. Ia pun menikmati hidup rukun di tengah perbedaan.
“Pernah dulu ada orang yang bertanya kenapa saya bekerja di
klenteng? Saya jelaskan bahwa niat saya hanya bekerja. Orang-orang mengerti dan
tidak ada lagi yang mempermasalahkan. Di Palembang, bukan agama yang menyatu,
tetapi umatnya menyatu,” ujarnya.
Pengurus Klenteng Chandra Nadi, Tjik Harun mengatakan,
semangat toleransi dan keberagaman sudah tumbuh di Palembang sejak lama. Hal
itu tercermin dari bangunan-bangunan yang menjadi penanda akulturasi budaya,
juga dari pembauran masyarakat. Di Kelenteng Chandra Nadi terdapat 20 pekerja
yang berasal dari berbagai agama dan etnis.
“Keluarga dan orang tua para pekerja kemungkinan juga sudah
lebih dulu bekerja di klenteng. Ini membuktikan toleransi dan keberagaman sudah
ada sejak lama, toleransi diwariskan turun temurun oleh generasi sebelumnya,”
jelas Harun.
Jalur perdagangan
Menyusuri jalur di pinggir Sungai Musi dan berinteraksi
dengan masyarakat yang tinggal di sana seolah mengajak kita berefleksi mengenai
hakikat hidup dalam keberagaman.
Menurut catatan sejarah, sungai yang menjadi saksi kejayaan
Sriwijaya ini digunakan sebagai jalur perdagangan dan transportasi. Sungai
sepanjang 720 kilometer dengan lebar 300 meter hingga 2,1 kilometer ini
mempertemukan orang antarsamudra, antarbenua, menjadikan Palembang sebagai lalu
lintas perdagangan yang ramai di Asia Tenggara.
Multikulturalisme di Palembang sangat kental terasa, karena
sebagai pusat perdagangan, kota ini mudah dijangkau oleh orang asing. “Akses
dan ketersediaan komoditas dagang menjadi magnet untuk orang dari luar daerah,”
jelas Arkeolog Retno Purwanti.
Orang-orang yang datang dari luar kemudian membangun
perkampungan multietnis di pinggir Sungai Musi. Untuk menyelami akulturasi ini,
keesokan harinya, tim Kompas mengunjungi dua perkampungan yang menyimpan jejak
pembauran, yaitu Kampung Arab Al Munawwar dan Kampung China Kapitan. Di kedua
kampung ini, jejak pembauran terasa mulai dari ornamen, arsitektur bangunan,
hingga interaksi antar masyarakat.
Kampung Arab Al Munawar umumnya menjadi tempat tinggal warga
keturunan Arab di antaranya bermarga Assegaf, Al-Habsy, Al-Kaaf, Hasny, dan
Syahab. Tulisan “Al Munawar” menyambut pengunjung yang datang melalui jalur
Sungai Musi.
Rumah-rumah di Kampung Arab ini dulunya dibangun oleh Al
Habib Abdurrahman Al Munawwar untuk delapan anaknya. Dari 17 rumah yang ada,
sebanyak delapan rumah ditetapkan sebagai cagar budaya. Bangunan rumah sebagian
besar masih asli dan klasik. Di antara rumah terdapat lorong yang sudah ditata
rapi, menambah kesan sebagai kota tua.
Keunikan kampung ini antara lain ada pada bangunannya yang
terpengaruh ornamen Timur Tengah dan Eropa. Selain untuk tempat tinggal, rumah
juga difungsikan sebagai tempat beribadah dan sekolah.
Ahmad Syech, keturunan dari Al Munawwar menjelaskan, warga
sepakat menjadikan kampung ini sebagai kawasan wisata religi. Sebagai destinasi
wisata religi, ada kegiatan kesenian seperti gambus yang ditonjolkan. Kegiatan
ini dilakukan pada hari-hari tertentu, seperti Maulid Nabi, Bulan Ramadan, dan
Tahun Baru Islam.
Di kampung ini terdapat makanan khas yaitu nasi minyak atau
nasi kebuli. Biasanya, makanan disuguhkan secara lesehan dan dapat dinimati
bersama-sama.
Menjelang sore, perjalanan kami lanjutkan ke Kampung Kapitan
yang menjadi simbol pembauran antara etnis China, Melayu, dan Eropa. Pembauran
dapat dilihat dari bentuk rumah yang merupakan perpaduan arsitektur ketiganya.
Pilar rumah dibangun berbentuk silinder layaknya ciri khas bangunan Eropa. Bagian
depan rumah mengadopsi bentuk rumah limas (khas Palembang atau Melayu).
Sementara di bagian tengah rumah khas bangunan China.
Kampung Kapitan dulunya merupakan sentral perdagangan kota.
Di kampung ini ada beberapa rumah milik masyarakat etnis Tionghoa di masa
kolonial Hindia Belanda. Akan tetapi, kini hanya tersisa dua rumah panggung
peninggalan leluhur etnis China.
Meski sudah berusia ratusan tahun, keaslian arsitektur
bangunan yang mencerminkan keberagaman masih dipertahankan. Demikian juga,
semangat toleransi dan gotong royong tetap dijaga.
“Sampai sekarang, kalau ada warga Melayu yang membutuhkan
halaman rumah ini untuk menggelar acara pernikahan, kami persilakan. Kami tidak
membeda-bedakan kelompok,” kata Mulyadi, anggota keluarga yang masih tinggal di
situ.
Menurut budayawan Sumsel Vebri Al Lintani, orang-orang
Palembang dikenal keras, tetapi konflik tidak pernah berkepanjangan. Itulah
yang menjadi kunci kerukunan. “Kami selalu mencari persamaan di antara begitu
banyak perbedaan, serta mengedepankan kearifan lokal untuk memecahkan
persoalan,” kata dia.
Menurut Vebri, nilai-nilai yang diturunkan oleh karakter
kota pelabuhan yang terbuka di masa lalu dan terbiasa menerima kehadiran
masyarakat itu masih ada dan terus dipertahankan. “Di Sumsel, paling mudah
mencari saudara, karena kami mempunyai kearifan lokal seperti angkan-angkanan, sebuah
tradisi mengangkat persaudaraan di antara warga,” ujarnya.
Kami mengakhiri perjalanan di Palembang dengan berburu
makanan khas seperti pempek. Sebelum kembali ke Jakarta, kami menyempatkan
sekali lagi berkunjung ke Klenteng Chandra Nadi. Di sana, terasa bahwa semangat
keberagaman dan toleransi itu tidak jatuh dari langit. Semangat ini terus
dihidupi dari generasi ke generasi melalui sikap hidup sehari-hari.
Penulis: Denty
Piawai Nastitie, Rhama Purnajati
Fotografer: Eddy
Hasby
Editor: Nur
Hidayati, Mohammad Hilmi Faiq
No comments:
Post a Comment