Oleh Ahmad Arif
Deretan gempa bumi berkekuatan menengah yang terjadi di Samudra Hindia di sebelah selatan Jawa Timur telah menimbulkan berbagai kerusakan. Banyak yang masih terkejut dengan kejadian ini padahal Pulau Jawa, termasuk Jawa Timur, memiliki deretan panjang gempa di masa lalu sehingga wajib dimitigasi, di antaranya dengan bangunan tahan gempa.
Gempa berkekuatan M 5,9 yang mengguncang Samudra Hindia
sekitar 57 kilometer arah tenggara Kabupaten Blitar, Jawa Timur, pada Jumat
(21/5/2021) pukul 19.09 WIB, memicu kerusakan di lima kabupaten, yaitu Blitar,
Malang, Lumajang, Pasuruan, dan Jember.
Seperti disampaikan Kepala Pusat Data, Informasi, dan
Komunikasi Kebencanaan Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) Raditya
Jati, terdapat satu rumah rusak berat dan 28 rusak ringan di Blitar. Kerusakan
juga terjadi pada 2 fasilitas pendidikan, 1 fasilitas kesehatan, tempat ibadah
dan berbagai fasilitas umum lain.
Di Kabupaten Malang, terdapat 1 rumah rusak berat dan 27
rusak ringan. Kerusakan juga terjadi pada fasilitas kesehatan dan ibadah.
Daerah lain yang juga dilanda kerusakan bangunan adalah Lumajang, Pasuruan, dan
Jember.
Walaupun tak sekuat gempa sebelumnya, kejadian ini
mengingatkan saat gempa bumi berkekuatan M 6,1 mengguncang Samudra Hindia di
selatan Malang pada 10 April lalu. Ketika itu, 16.541 bangunan rusak, 10 orang
meninggal, 2 luka berat, dan 97 luka ringan.
Laporan tentang kerusakan itu juga bertebaran di sosial
media, seperti Twitter. Sebagian terlihat merespons gempa ini dengan
terkaget-kaget dan panik yang menunjukkan ketidaksiapan menghadapinya.
Padahal, jika mencermati kondisi geotektonik Pulau Jawa dan
Samudra Hindia di selatannya, kita mestinya menyadari bahwa pulau yang menjadi
pusat kepadatan penduduk di Indonesia ini memiliki kerentanan yang tinggi
terhadap gempa bumi. Jawa Timur tidak terkecuali.
Gempa merusak ke-12
Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono mengatakan, gempa di
Blitar pada Jumat malam lalu merupakan gempa urutan yang ke-12 dari rentetan
gempa merusak di selatan Malang-Blitar sejak 15 Agustus 1896. ”Gempa kali ini
merupakan gempa baru, bukan gempa susulan dari gempa M 6,1 yang terjadi pada 10
April 2021 meskipun kedua gempa tersebut sama jenisnya, yaitu gempa intraslab,”
katanya.
Selain gempa 10 April 2021 yang memiliki skala guncangan VI
MMI (Modified Mercally Intensity), sejumlah gempa lain yang pernah merusak di
Jawa Timur di antaranya terjadi pada 17 November 2016 dan 28 September 1998
dengan kekuatan masung-masing VI MMI.
Gempa pada 2016 itu setidaknya merusak 108 rumah di Malang.
Sementara gempa pada 1998, selain merusak puluhan rumah juga menewaskan dua
warga Desa Wonokerto, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang, dan warga Tambakrejo,
Blitar. Kedua korban tewas setelah tertimpa atap rumah yang roboh akibat
diguncang gempa.
Berikutnya, gempa merusak juga terjadi pada 4 Oktober 1972
dengan kekuatan VI-VII MMI dan lebih kuat lagi pada 20 Februari 1967 dengan
kekuatan VIII-IX MMI—versi BMKG terjadi pada 19 Februari 1967.
Arsip berita di harian Kompas menyebutkan, gempa pada 20
Februari 1967 itu mengakibatkan, ”...kerusakan besar bangunan rumah penduduk
serta korban manusia di daerah Malang.”
Disebutkan, tiga daerah yang terutama menderita adalah
Turen, Dampit, dan Gondanglengi. ”Di Dampit terdapat 72 rumah rusak atau
hancur, 7 orang tewas, 24 orang luka-luka. Di Gondanglegi ada 59 rumah rusak
atau hancur, 10 rumah roboh, dan 37 orang luka-luka. Sementara di Turen banyak
sekali rumah yang roboh,” tulis berita di Kompas pada 23 Februari 1967.
Gempa merusak juga pernah melanda Jawa Timur pada 27 Juni
1963 dan 21 Desember 1962, dengan kekuatan guncangan masing-masing VI MMI. Lalu
pada 20 November 1958 terjadi gempa berkekuatan VIII MMI dan 27 September 1937
terjadi gempa besar berkekuatan VIII-IX MMI.
Pada 31 Agustus 1902 dan 15 Agustus 1896 juga terjadi gempa dengan skala
guncangan masing-masing VII MMI.
Kebanyakan gempa bumi yang merusak di Jawa Timur ini
bersumber di bawah laut Samudra Hindia yang menjadi tempat pertemuan tumbukan
lempeng Indo-Australia. Tak hanya gempa bumi, pesisir selatan Jawa Timur juga
memiliki kerentanan tsunami.
Pada Jumat, 3 Juni 1994 dini hari, gempa berkekuatan M 7,8
yang bersumber sekitar 18,4 kilometer di bawah Samudra Hindia sebelah selatan
Banyuwangi memicu tsunami dahsyat setinggi hingga 10 meter. Sebanyak 215 orang tewas, 400 orang terluka,
dan 1.000 rumah hancur. Sebagian besar korban berada di Dusun Pancer, Pantai
Plengkung, dan Rajegwesi di Banyuwangi.
Kerentanan Daratan Jawa
Selain gempa-gempa yang bersumber di laut Selatan Jawa,
Pulau Jawa juga sebenarnya dilintasi banyak sesar darat yang aktif. Dalam buku
Sumber Gempa Nasional 2017, disebutkan bahwa Pulau Jawa dilintasi sesar Kendeng
yang memanjang mengarah barat timur Jawa Tengah hingga bagian barat Jawa Timur.
Di bagian barat sesar Kendeng menyambung ke sistem sesar Semarang dan Baribis.
Hasil penelitian terakhir dan juga hasil diskusi kelompok
tim revisi zonasi gempa menunjukkan, sesar Baribis merupakan bagian dari satu
kesatuan jalur sesar naik belakang busur, termasuk sesar Semarang dan
sesar-sesar naik di zona Kendeng, Jatim (Natawidjaja dan Daryono, 2016).
Gayatri Indah Marliyani, dosen Fakultas Geologi dari
Universitas Gadjah Mada, dalam disertasinya tentang jalur sesar di Pulau Jawa,
menyebutkan, sumber-sumber kolonial telah merekam banyak gempa di Jawa.
Misalnya, pada 26 November 1852, gempa merusak terjadi di Grati, Pasuruan,
Jatim. Gempa ini dirasakan sampai di Surabaya yang berjarak 60 km dari Grati.
Catatan Visser SW (1922) merekam setidaknya 21 kali gempa
cukup kuat di Jawa pada kurun 1699-1920. Pusat gempa antara lain Cirebon,
Rembang, Banyumas, Ambarawa, Yogyakarta, Kuningan, Cianjur, Sukabumi,
Majalengka, Madiun, dan Salatiga.
Jakarta tidak luput dari gempa besar. Dalam katalog Arthur
Wichman disebutkan, gempa amat kuat dirasakan di Jakarta pada 5 Januari 1699
sekitar pukul 01.30, saat hujan lebat. Selain merobohkan banyak bangunan, gempa
itu menyebabkan longsor besar di Gunung Gede Pangrango dan Salak. ”Banjir
bandang berisi lumpur dan kayu memenuhi Sungai Ciliwung di Batavia, mengalir ke
laut. Di mana-mana terjadi kehancuran,” tulis dokumen ini.
Menurut catatan Wichman, gempa kuat juga pernah melanda
Jakarta pada 1780. Hingga saat ini, sebagian sumber gempa di Pulau Jawa ini
belum teridentifikasi dengan baik, salah satunya karena kepadatan hunian dan
lapisan sedimen tebal telah menutup jalur sesar darat di pulau ini.
Gempa belum bisa diprediksi kapan terjadinya. Akan tetapi, dari data sejarah ini hanya soal waktu kota-kota padat penduduk di Jawa akan kembali mengalaminya. Lewat mitigasi, seperti memperkuat bangunan jadi tahan gempa, risiko kerugian dan korban seharusnya bisa dikurangi.
No comments:
Post a Comment