Saturday, 22 May 2021

Deretan Panjang Gempa Merusak di Jawa yang Dilupakan

Oleh Ahmad Arif

Deretan gempa bumi berkekuatan menengah yang terjadi di Samudra Hindia di sebelah selatan Jawa Timur telah menimbulkan berbagai kerusakan. Banyak yang masih terkejut dengan kejadian ini padahal Pulau Jawa, termasuk Jawa Timur, memiliki deretan panjang gempa di masa lalu sehingga wajib dimitigasi, di antaranya dengan bangunan tahan gempa.

Gempa berkekuatan M 5,9 yang mengguncang Samudra Hindia sekitar 57 kilometer arah tenggara Kabupaten Blitar, Jawa Timur, pada Jumat (21/5/2021) pukul 19.09 WIB, memicu kerusakan di lima kabupaten, yaitu Blitar, Malang, Lumajang, Pasuruan, dan Jember.

Seperti disampaikan Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) Raditya Jati, terdapat satu rumah rusak berat dan 28 rusak ringan di Blitar. Kerusakan juga terjadi pada 2 fasilitas pendidikan, 1 fasilitas kesehatan, tempat ibadah dan berbagai fasilitas umum lain.

Di Kabupaten Malang, terdapat 1 rumah rusak berat dan 27 rusak ringan. Kerusakan juga terjadi pada fasilitas kesehatan dan ibadah. Daerah lain yang juga dilanda kerusakan bangunan adalah Lumajang, Pasuruan, dan Jember.

Walaupun tak sekuat gempa sebelumnya, kejadian ini mengingatkan saat gempa bumi berkekuatan M 6,1 mengguncang Samudra Hindia di selatan Malang pada 10 April lalu. Ketika itu, 16.541 bangunan rusak, 10 orang meninggal, 2 luka berat, dan 97 luka ringan.

Laporan tentang kerusakan itu juga bertebaran di sosial media, seperti Twitter. Sebagian terlihat merespons gempa ini dengan terkaget-kaget dan panik yang menunjukkan ketidaksiapan menghadapinya.

Padahal, jika mencermati kondisi geotektonik Pulau Jawa dan Samudra Hindia di selatannya, kita mestinya menyadari bahwa pulau yang menjadi pusat kepadatan penduduk di Indonesia ini memiliki kerentanan yang tinggi terhadap gempa bumi. Jawa Timur tidak terkecuali.

Gempa merusak ke-12

Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono mengatakan, gempa di Blitar pada Jumat malam lalu merupakan gempa urutan yang ke-12 dari rentetan gempa merusak di selatan Malang-Blitar sejak 15 Agustus 1896. ”Gempa kali ini merupakan gempa baru, bukan gempa susulan dari gempa M 6,1 yang terjadi pada 10 April 2021 meskipun kedua gempa tersebut sama jenisnya, yaitu gempa intraslab,” katanya.

Selain gempa 10 April 2021 yang memiliki skala guncangan VI MMI (Modified Mercally Intensity), sejumlah gempa lain yang pernah merusak di Jawa Timur di antaranya terjadi pada 17 November 2016 dan 28 September 1998 dengan kekuatan masung-masing VI MMI.

Gempa pada 2016 itu setidaknya merusak 108 rumah di Malang. Sementara gempa pada 1998, selain merusak puluhan rumah juga menewaskan dua warga Desa Wonokerto, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang, dan warga Tambakrejo, Blitar. Kedua korban tewas setelah tertimpa atap rumah yang roboh akibat diguncang gempa.

Berikutnya, gempa merusak juga terjadi pada 4 Oktober 1972 dengan kekuatan VI-VII MMI dan lebih kuat lagi pada 20 Februari 1967 dengan kekuatan VIII-IX MMI—versi BMKG terjadi pada 19 Februari 1967.

Arsip berita di harian Kompas menyebutkan, gempa pada 20 Februari 1967 itu mengakibatkan, ”...kerusakan besar bangunan rumah penduduk serta korban manusia di daerah Malang.”

Disebutkan, tiga daerah yang terutama menderita adalah Turen, Dampit, dan Gondanglengi. ”Di Dampit terdapat 72 rumah rusak atau hancur, 7 orang tewas, 24 orang luka-luka. Di Gondanglegi ada 59 rumah rusak atau hancur, 10 rumah roboh, dan 37 orang luka-luka. Sementara di Turen banyak sekali rumah yang roboh,” tulis berita di Kompas pada 23 Februari 1967.

Arsip berita di harian Kompas edisi 23 Februari 1967 yang menulis tentang gempa pada 20 Februari 1967 yang merusak di Jawa Timur

Gempa merusak juga pernah melanda Jawa Timur pada 27 Juni 1963 dan 21 Desember 1962, dengan kekuatan guncangan masing-masing VI MMI. Lalu pada 20 November 1958 terjadi gempa berkekuatan VIII MMI dan 27 September 1937 terjadi gempa besar berkekuatan VIII-IX MMI.  Pada 31 Agustus 1902 dan 15 Agustus 1896 juga terjadi gempa dengan skala guncangan masing-masing VII MMI.

Kebanyakan gempa bumi yang merusak di Jawa Timur ini bersumber di bawah laut Samudra Hindia yang menjadi tempat pertemuan tumbukan lempeng Indo-Australia. Tak hanya gempa bumi, pesisir selatan Jawa Timur juga memiliki kerentanan tsunami.

Pada Jumat, 3 Juni 1994 dini hari, gempa berkekuatan M 7,8 yang bersumber sekitar 18,4 kilometer di bawah Samudra Hindia sebelah selatan Banyuwangi memicu tsunami dahsyat setinggi hingga 10 meter.  Sebanyak 215 orang tewas, 400 orang terluka, dan 1.000 rumah hancur. Sebagian besar korban berada di Dusun Pancer, Pantai Plengkung, dan Rajegwesi di Banyuwangi.

Sejarah gempa merusak di daerah Malang-Blitar. Sumber: Daryono, BMKG

Kerentanan Daratan Jawa

Selain gempa-gempa yang bersumber di laut Selatan Jawa, Pulau Jawa juga sebenarnya dilintasi banyak sesar darat yang aktif. Dalam buku Sumber Gempa Nasional 2017, disebutkan bahwa Pulau Jawa dilintasi sesar Kendeng yang memanjang mengarah barat timur Jawa Tengah hingga bagian barat Jawa Timur. Di bagian barat sesar Kendeng menyambung ke sistem sesar Semarang dan Baribis.

Hasil penelitian terakhir dan juga hasil diskusi kelompok tim revisi zonasi gempa menunjukkan, sesar Baribis merupakan bagian dari satu kesatuan jalur sesar naik belakang busur, termasuk sesar Semarang dan sesar-sesar naik di zona Kendeng, Jatim (Natawidjaja dan Daryono, 2016).

Gayatri Indah Marliyani, dosen Fakultas Geologi dari Universitas Gadjah Mada, dalam disertasinya tentang jalur sesar di Pulau Jawa, menyebutkan, sumber-sumber kolonial telah merekam banyak gempa di Jawa. Misalnya, pada 26 November 1852, gempa merusak terjadi di Grati, Pasuruan, Jatim. Gempa ini dirasakan sampai di Surabaya yang berjarak 60 km dari Grati.

Catatan Visser SW (1922) merekam setidaknya 21 kali gempa cukup kuat di Jawa pada kurun 1699-1920. Pusat gempa antara lain Cirebon, Rembang, Banyumas, Ambarawa, Yogyakarta, Kuningan, Cianjur, Sukabumi, Majalengka, Madiun, dan Salatiga.

Patahan yang terdapat di Pulau Jawa

Jakarta tidak luput dari gempa besar. Dalam katalog Arthur Wichman disebutkan, gempa amat kuat dirasakan di Jakarta pada 5 Januari 1699 sekitar pukul 01.30, saat hujan lebat. Selain merobohkan banyak bangunan, gempa itu menyebabkan longsor besar di Gunung Gede Pangrango dan Salak. ”Banjir bandang berisi lumpur dan kayu memenuhi Sungai Ciliwung di Batavia, mengalir ke laut. Di mana-mana terjadi kehancuran,” tulis dokumen ini.

Menurut catatan Wichman, gempa kuat juga pernah melanda Jakarta pada 1780. Hingga saat ini, sebagian sumber gempa di Pulau Jawa ini belum teridentifikasi dengan baik, salah satunya karena kepadatan hunian dan lapisan sedimen tebal telah menutup jalur sesar darat di pulau ini.

Gempa belum bisa diprediksi kapan terjadinya. Akan tetapi, dari data sejarah ini hanya soal waktu kota-kota padat penduduk di Jawa akan kembali mengalaminya. Lewat mitigasi, seperti memperkuat bangunan jadi tahan gempa, risiko kerugian dan korban seharusnya bisa dikurangi.

No comments:

Post a Comment