Thursday, 19 November 2015

Profesor dan Absurditas

Oleh ACEP IWAN SAIDI
Profesor sedang dicecar. Surplus jumlah, defisit kualitas. Terlalu banyak profesor prosedural-absurd. Dengan begitu, apakah mereka harus digugat. Nanti dulu. Mari bikin kasusnya lebih gamblang. Biar awam paham. Agar ihwal ilmu pengetahuan tidak melulu milik "para penghuni langit".
Profesor lomba
Begini. Saya punya teman dosen, doktor. Tisna Sanjaya namanya. Selain dosen, Tisna adalah seniman kontemporer kenamaan. Namanya tidak hanya dikenal di Asia, tetapi juga di dunia. Karya-karyanya telah dipamerkan di sejumlah negara di dunia. Di kampusnya, tentu saja, semua ilmunya ia ajarkan kepada mahasiswa. Tisna bahkan pernah tercatat sebagai dosen teladan.
Satu poin lagi, Tisna sempat beberapa tahun menjadi pembawa acara kebudayaan bertajuk "Si Kabayan Nyintreuk" di sebuah televisi swasta lokal di Jawa Barat. Acara ini eksplisit menunjukkan "pengabdian" Tisna kepada masyarakat. Melalui acara ini, Tisna terus-menerus mengkritik (nyintreuk) sekaligus memberi masukan kepada pemerintah, khususnya soal kebudayaan dan lingkungan hidup.
Pertanyaannya, akankah Tisna menjadi profesor? Jawabannya nyaris bisa dipastikan: tidak! Soalnya, sekeren apa pun karya Tisna, setulus apa pun mengamalkan ilmunya, dan seberwibawa apa pun di dunia, seluruh prestasinya itu tidak tercatat pada daftar kriteria untuk menjadi profesor. Seorang akademisi hanya dicatat kognisinya. Itu pun harus dituangkan dalam rangkaian kalimat yang disebut karya ilmiah, yang formalistik dan administratif pula. Karya seni tidak diakui sebagai buah riset. Puih!
Padahal, karya seni yang bagus hanya diniscayakan oleh riset seumur hidup senimannya: riset yang dalam perspektif hermeneutika disebut sebagai aprosiasi,appropriation of meaning (Ricoeur, 1981). Riset seni adalah internalisasi secara terus-menerus realitas ke dalam diri. Pada titik ini, seniman adalah juga ilmuwan (tanpa tanda kutip).
Namun, kini profesor bukanlah sebentuk penghargaan yang diberikan presiden terhadap seorang hamba ilmu pengetahuan yang telah memiliki kualitas mumpuni di bidangnya sedemikian, melainkan penghargaan yang dilombakan. Untuk itu, sejumlah syarat dan prosedur administratif-formal diberlakukan. Barangsiapa memenuhinya, ia akan menjadi Sang Guru Besar. Maka, lahir darinya profesor prosedur. Tidak pernah ada institusi atau sekadar tim ad hoc yang bertugas untuk "meriset" pelamar, kecuali hanya memeriksa syarat-syarat yang diajukan si pelamar tersebut.
Parahnya pula, syarat yang dilombakan bersifat pukul rata. Artinya, siapa pun dari ranah keilmuan apa pun syaratnya sama, laik iklan sebuah merek minuman. Sebut saja bahwa semua pelamar harus meriset dan memublikasikannya di jurnal internasional terindeks scopus. Risetnya harus empirik pula. Bagi pelamar dari ranah ilmu-ilmu eksak, syarat ini mungkin cetek saja. Namun, lain soal bagi mereka yang dari ranah filsafat, seni, ilmu-ilmu kemanusiaan, dan ranah disiplin lain yang risetnya cenderung teoretik. Pun demikian bagi dosen praktikum seni semacam Tisna.
Oleh sebab itu, jumlah profesor di ranah seni bisa dihitung dengan jari. Di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, misalnya, bertahun lamanya hanya ada seorang guru besar. Lihatlah pula di Institut Kesenian Jakarta, di beberapa Institut Seni Indonesia, dan sekolah tinggi seni lain di Indonesia, berapa jumlah profesornya? Di ranah ini, mungkin juga di ranah filsafat dan ilmu-ilmu kemanusiaan, profesor adalah manusia langka. Maka, dapat dipastikan bahwa surplus profesor prosedural tidak termasuk guru besar bidang kesenian di dalamnya.
Ironi linearitas
Kembali ke soal persyaratan. Tentang jurnal internasional terindeks scopus, bagi akademisi dari ranah seni, budaya, dan ilmu-ilmu kemanusiaan lagi-lagi ini problematik. Bayangkanlah seorang dosen pengajar seni tradisional atau bahasa daerah. Mereka meriset budaya dan bahasanya sendiri, sementara yang mengevaluasi dan melegitimasinya adalah ilmuwan dari bangsa lain yang entah bagaimana hubungannya dengan objek yang dibahas penulis bersangkutan.
"Itu pelecehan!" kata Prof Yusuf Affendi, Ketua Program Magister Desain Trisakti. Benar. Itu melecehkan diri sendiri. Akan tetapi, demikianlah mental inferior bangsa terjajah, tak ada kepercayaan kepada diri sendiri. Maka, scopus pun menjadi bagian dari iman, layaknya FIFA dalam sepak bola.
Satu contoh lagi persyaratan, yakni ihwal linearitas keilmuan dari S-1 sampai S-3. Barangkali bagi ilmuwan di ranah eksakta, linearitas sedemikian bisa menjadi alur pendalaman, menukik mengelaborasi spesialisasi. Namun, nanti dulu untuk ranah kebudayaan. Sudah dalam beberapa dasawarsa terakhir ini spesialisasi dan disiplin dipermasalahkan, bahkan diruntuhkan.
Kebudayaan saling berelasi sekaligus saling bertegangan satu sama lain, memunculkan kompleksitas sekaligus keberagaman, pertentangan sekaligus dinamika, dan seterusnya. Kebudayaan adalah keseharian itu sendiri (Hall, 1996). Oleh karenanya, disiplin yang kaku baku tidak memadai untuk mewadahi dan mengkajinya. Ketegangan teori pun terjadi (Kellner, 1995). Dari situ lahirlah kemudian apa yang disebut perspektif interdisiplin. Banyak pihak telah mengetahui dan membincangkan ini. Di kampus-kampus, "barang" ini sudah jadi makanan sehari-hari. Satu-satunya institusi yang tak mengetahui dan memahami hal ini tampaknya hanya pemerintah. Absurd!
Wajar saja jika kemudian profesor yang diproduksi pemerintah juga banyak yang absurd. Sekali lagi, mereka bukan profesor yang dilahirkan dari dialektika ilmu pengetahuan, melainkan diciptakan oleh sistem yang juga absurd. Jadi, banyaknya jumlah profesor yangjomplang dengan jumlah karyanya bukan karena syarat jadi profesor itu mudah (Terry Mart, Kompas, 11/11), melainkan kacau.
Sistem yang kacau sedemikian tidak melahirkan persyaratan yang mudah atau susah, tetapi memudahkan dan menyusahkan. Bagi mereka yang suka mengikuti lomba dan canggih bermain proyek, sistem yang kacau menjadi sangat memudahkan. Sebaliknya, bagi akademisi yang serius dan ikhlas mendalami serta mengembangkan ilmunya, sistem demikian bisa sangat menyusahkan. Dan, menyusahkan jauh lebih susah dari kategori susah itu sendiri sebab ia bisa jadi tidak nalar, bisa jadi hanya dibuat-buat.
Bertolak dari situasi demikian, jelas yang harus digugat adalah pemerintah, bukan profesor yang diciptakannya. Meskipun absurd, para profesor itu tidak bersalah. Mereka hanya pemenang lomba. Mereka sudah memenuhi semua syarat, meneliti untuk menjadi profesor. Lagi pula, jika yang digugat profesor absurd itu, ketimbang berkreasi mereka justru malah akan mati. Apabila ukuran gugatan itu adalah kesadaran dan tanggung jawab akademik, segera harus pula diingat bahwa, sebelum menjadi profesor, mereka adalah doktor. Jadi, profesor absurd dapat dipastikan kelanjutan dari doktor bodong pula.
Lantas, dari mana datangnya doktor absurd? Mudah dijelaskan. Dan, untuk sekadar disingkat: betapa banyak perguruan tinggi yang mengukur kualitasnya dengan seberapa jumlah doktor yang mereka miliki, bukan dengan seberapa banyak dosen yang memiliki dedikasi dan integritas akademik. Absurd!
ACEP IWAN SAIDI
Dosen Desain dan Kebudayaan, Sekolah Pascasarjana ITB


Kompas, Selasa, 17 November 2015

No comments:

Post a Comment