Oleh ASEP SALAHUDIN
Mempercakapkan kiprah politik dan pemikiran Sutan Sjahrir-yang sering disebut Bung Kecil-hari ini tidak hanya penting, tetapi juga sangat relevan justru di tengah situasi perpolitikan kita yang seolah kehilangan pandu. Politisi memang banyak, partai menjamur, bahkan kita setiap saat dikepung perbincangan yang berujung pada politik. Namun, nyaris kita mengalami kesulitan menemukan politisi yang tegak lurus dengan kebenaran, kokoh mempertahankan prinsip, apatah lagi lengkap diimbangi dengan kapasitas intelektualismenya.
Di sinilah letak penting membaca kembali Bung Sjahrir. Kepada siapa mencari teladan kecuali kepada sosok-sosok manusia pergerakan yang telah jelas ikut menggarami republik ini bukan hanya dengan raga, bahkan rohnya; tidak saja lewat gerakan politiknya, tetapi juga senarai pemikirannya, seperti dapat kita telusuri dalam Indonesische Overpeinzingen dan Perdjoeangan Kita. Dalam kata pengantar cetakan ketiga, dikatakan penerbit Belanda, "Sjahrir mengejutkan dunia dengan kedalaman, dinginnya berpikir, dan kebijakan seorang negarawan." (Daniel Dhakidae, 2009)
Bahkan, Sjahrir harus meninggal sebagai martir secara mengenaskan di tempat jauh dari negara yang diperjuangkannya, di Swiss, setelah dipenjarakan Bung Karno dari sebuah kemelut intrik politik yang dituduhkan kepadanya.
Sosok dengan tubuh kecil, tinggi 145 sentimeter, itu giat mempromosikan Indonesia Merdeka bersama Hatta dari tanah Belanda lewat Perhimpunan Indonesia (PI) ketika kebanyakan masyarakat negeri kepulauan disekap ketakutan. Bersama Hatta, ia tidak pernah henti menyampaikan gagasannya lewat "Daulat Rakyat", menyerukan agar gerakan kerakyatan jangan berhenti walaupun PNI dibubarkan dan sang pemimpinnya dipenjarakan. Bahwa tugas utama para pemimpin adalah mendidik rakyatnya agar sadar terhadap politik dan lingkungan sekitarnya, supaya paham akan hak-haknya yang dirampas kaum kolonial. Untuk meraih kedaulatan, pendidikan politik rakyat adalah suatu keniscayaan.
Sjahrir adalah sosok yang atas nama panggilan Ibu Pertiwi rela meninggalkan sekolahnya di Belanda, lalu berjuang dalam hiruk-pikuk memburu fantasi Indonesia merdeka dalam rimba gelap kebangsaan yang belum jelas juntrungnya.
Sedari awal dia meletakkan intelektualisme itu tidak pada buku, rentetan gelar, apalagi pada keterampilan mengutip pendapat orang secara jumud, seperti yang sering dilakukan kaum intelektual hari ini, tetapi justru pada kesigapan mendengar suara nurani, pada keterlibatan dengan napas massa dan otentisitas berpikir.
Semangat ini dapat kita simak dari ungkapannya, "Lama-kelamaan saya tahu bagaimana membebaskan diri dari perbudakan ilmu resmi (de slavernij van de officiƫle wetenschap). Otoritas ilmiah tidak terlalu berarti bagiku secara batin. Dengan begitu seolah-olah jiwaku semakin bebas, tak ada nama besar dan tenar, yang resmi maupun tidak resmi, yang menguasai pikiranku untuk membutakanku dengan kehebatannya dan membuang atau membantai semua kegiatan orisinalku. Yang lebih penting bagiku adalah bagaimana tiba pada kebenaran harmonis." (Perdjoeangan Kita, 29 Desember 1936)
Dialektika
Sjahrir mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) yang berhaluan sosial revolusioner. Tahun 1932 ia terpilih jadi pemimpin umum PNI Baru. Di tangan Sjahrir, hal pertama yang digarap adalah melakukan konsolidasi para kader supaya mendahulukan jiwa politik dan menumbuhkan sikap kritis. Kegiatan politik revolusionernya ini yang mengantarkannya harus mendekam di Cipinang (1934) dan pada 25 Februari 1934 dipindahkan ke Tanah Merah, Boven Digul, Papua, menyusul kemudian Hatta dan pengurus PNI Baru lainnya, sebelum akhirnya dipindahkan lagi ke Banda Neira. Ini terjadi pada Sjahrir yang masih belia, 25 tahun.
Sosok dengan perawakan kecil, tetapi mental lapang ini nyaris hidupnya selalu berada dalam tarikan dialektika, dalam sikap yang tidak pernah berhenti mempertanyakan keadaan, termasuk menyoal segala bentuk kemapanan, sikap takhayul, dan hal ihwal yang menghinakan akal pikiran. Hidup penuh gelora, seperti terbaca dalam surat-menyuratnya ketika mendekam di Cipinang dan Boven Digul. Di sana, dia sering mengutip sepenggal sajak penyair Jerman, Friedrich Schiller, "Hidup yang tak pernah dipertanyakan, tak layak dipertahankan. Und setzt ihr nicht das leben ein, nie wird euch das leben gewonnen sein."
Keberanian yang membuatnya haram melakukan politik kompromistis-diplomatis dengan Jepang, seperti yang dikembangkan kawannya, Hatta dan Soekarno. Dia tetap teguh dengan pendiriannya bahwa kemerdekaan itu harus direbut dan jangan sampai menimbulkan persepsi sebagai hadiah dari penjajah Jepang. Fragmen ini, yang dengan sangat menarik, direkam oleh penyair Chairil Anwar dalam sebuah puisinya:
//Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi/tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.../Kenang kenanglah kami/Teruskan, teruskan jiwa kami/Menjaga Bung Karno/menjaga Bung Hatta/menjaga Bung Syahrir/Kami sekarang mayat/Berikan kami arti /berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian/Kenang, kenangkanlah kami/yang tinggal tulang-tulang diliputi debu/beribu kami terbaring antara Karawang Bekasi//
Nasionalis demokrat
Tentu saja Bung Kecil adalah seorang nasionalis sejati, seorang yang tidak perlu lagi dipertanyakan kecintaan kepada Tanah Air-nya. Bahkan ketika yang lain membicarakan tentang kumpulan pemuda yang diacukan pada latar etnik, Sjahrir sudah sangat maju: dia menawarkan gagasan "Jong Indonesia" (Pemuda Indonesia), yang kemudian menjadi cikal bakal bagi lahirnya Sumpah Pemuda. Sumpah untuk menginjeksikan kesadaran pentingnya persatuan dalam pengalaman kebangsaan. Dengan sangat menarik, Sjahrir menafsirkan persatuan itu dalam sebuah argumen yang terang, inklusif, dan tampak kosmopolit, "Kalian bicara persatuan? Persatuan itu bukan sekadar konsep untuk menyatukan sebuah perjuangan, tetapi ia sebuah gagasan baru, sebuah zaman baru. Dan, lebih besar lagi, persatuan itu adalah sebuah peradaban baru. Bisa tidak kalian membuat sebuah peradaban baru bernama Indonesia, sebuah peradaban yang bisa saja seagung peradaban Yunani, peradaban Romawi, atau peradaban Eropa Barat? Itulah tujuan dari persatuan."
Bagi Sjahrir, nasionalisme itu jantungnya adalah kemakmuran rakyat, bukan sekadar gempita pekik revolusi, apalagi solidaritas-hierarkis-feodalistis yang disebutnya sebagai fasisme sebagai musuh terbesar seluruh rakyat seperti ia terakan dalam Perdjoeangan Kita. Di lain kesempatan ia menyatakan bahwa "... usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan seperti itu akan terasa sakit, tersesat dan merusak pergerakan" (1945).
Seorang Sjahrir adalah seorang yang ketika di tangannya terletak kekuasaan sebagai Ketua KNIP (16 Oktober 1945) dan Perdana Menteri, maka kekuasaan itu tidak dijadikannya alat untuk bertindak partisan, apalagi mengumpulkan harta benda, tetapi justru menjadi pintu masuk membumikan gagasan-gagasan yang telah lama diimpikannya. Maka, dibentuklah partai-partai sebagai alat penyaluran aspirasi rakyat sekaligus mengubah KNIP sebagai badan legislatif.
Gagasan yang kemudian "memakan" penggagasnya sendiri. Ketika Partai Sosial Indonesia (PSI) yang didirikannya kalah telak dalam pemilu paling demokratis, dengan enteng dia berkata, "Partai itu tidak perlu banyak anggota. Sedikit saja jumlahnya, asal paham, militan, menguasai keadaan, serta memahami teori-teori perjuangan" (1955). Sang demokrat itu kemudian melepaskan jabatan PM walaupun masih banyak kalangan yang masih menginginkannya.
Kepada Sjahrir kita berkaca, kita reguk mata air keteladanannya yang tak pernah kering, agar semesta politik kita tidak semakin tersesat. Juga supaya kerumunan politisi hari ini tidak terus-menerus mengurus dirinya sendiri, hanya sibuk bersolek, mengoleksi mobil mewah, melemparkan wacana tidak keruan, memburu rente untuk memperkaya keluarga dan partainya, sementara massa yang semestinya diperjuangkan dengan raga dan jiwanya dibiarkan semakin jelata.
ASEP SALAHUDIN
Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya;
Dosen di FISS Universitas Pasundan Bandung
No comments:
Post a Comment