Oleh RIKA IRAWATI dan BAKTI BUWONO
Kelenteng yang berada tak jauh dari jalur Pantai Utara (Pantura) Rembang ini merupakan tertua di Jawa.
Kelenteng Cu An Kiong yang berada di Jalan Dasun No 19, Lasem, Rembang, Jateng. (Tribun Jateng/M Syofri Kurniawan)
Kelenteng Cu An Kiong di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Rabu (18/5). Diperkirakan kelenteng tertua di Lasem tersebut dibangun pada abad ke 16 oleh pendatang Tionghoa ke Lasem. (Kompas/Lucky Pransiska)
Klenteng Cu An Kiong di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Rabu (18/5). Diperkirakan klenteng tertua di Lasem tersebut dibangun pada abad ke 16 oleh pendatang Tionghoa ke Lasem. (Kompas/Lucky Pransiska)
Tak salah jika Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah dijuluki "Tiongkok Kecil". Pasalnya, masih banyak bangunan kuno bergaya Tiongkok berdiri kokoh dan menjadi tempat tinggal warga.
Begitu pula, Kelenteng Cu An Kiong yang berada di Jalan Dasun No 19, Lasem. Kelenteng yang berada tak jauh dari jalur Pantai Utara (Pantura) Rembang ini merupakan tertua di Jawa. "Konon, di depan kelenteng ini Laksamana Cheng Ho mendarat," ungkap Cik Lan, penjaga kelenteng.
Di seberang kelenteng memang mengalir Sungai Lasem yang bermuara ke Laut Jawa. Konon, di sungai tersebut ada dermaga tempat para saudagar dari Tiongkok mendarat menggunakan perahu kecil.
Kini, meski tak bersisa tanda-tanda keberadaan dermaga, sungai tersebut masih menjadi tujuan warga mencari ikan.
Ada gapura besar yang menjadi pintu masuk kelenteng. Di depan gapura terdapat dua patung singa berwarna emas dan dua tokoh yang masing-masing membawa senjata dan seolah menjadi penjaga kelenteng.
Menurut Cik Lan, kedua tokoh tersebut merupakan Bi Nang Un dan istrinya, Na Li Ni, dua tokoh Tiongkok yang berbaur dan mengajarkan batik kepada warga.
Lukisan di satu pintu Kelenteng Cu An Kiong di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. (Tribun Jateng/M Syofri Kurniawan)
Gambar motif naga di tiang Klenteng Cu An Kiong di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Rabu (18/5). Gambar-gambar motif di klenteng sebagian diambil sebagai motif batik di Lasem, antara lain motif naga, burung hong, dan awan.(Kompas/Lucky Pransiska)
Di teras, terdapat tiang yang memuat pahatan huruf Cina. Di ruang tengah terdapat cerita bergambar di ubin yang terpasang di kiri dan kanan ruangan. Setiap ubin mewakili satu lukisan. Total ada 50 lukisan yang disusun hingga ke langit-langit.
"Dulu, ada teman saya yang pergi ke Den Haag (Belanda) dan sempat mampir ke museum khusus Indonesia. Di sana ada peta Lasem buatan 1477, dan Kelenteng Cu An Kiong sudah masuk di dalamnya. Itu berarti, kelenteng ini sudah dibangun sebelum peta itu dibuat," kata pengurus Kelenteng Cu An Kiong, Gandor Sugiharto.
Ada yang menyebut, kelenteng itu dibangun pada 1335. Sampai sekarang, mayoritas bangunan fisik Cu An Kiong masih asli. Kelenteng ini pernah menjadi lokasi syuting film Ca Bau Kan.
Makco Thian Siang Sing Bo atau Dewa Laut merupakan tuan rumah kelenteng ini. Namun, ada pula kongco atau dewa lain yang ditempatkan di kelenteng tersebut.
Lorong menuju tempat sembahyang utama Kelenteng Cu An Kiong di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. (Tribun Jateng/M Syofri Kurniawan)
Yang menarik, ada nama dewa berbau Jawa, yaitu Raden Panji Margono. Dewa ini memiliki bentuk dan pakaian yang lebih Jawani karena memakai beskap. Berbeda dari kongco lain yang asli Tiongkok, kongco Raden Panji Margono tak diberi sesembahan berbau babi setiap kali arak-arakan digelar.
Raden Panji Margono merupakan pahlawan yang berjuang mengusir penjajah Belanda bersama tokoh Tionghoa saat itu, Tan Kee Wie dan Raden Ngabehi. Di tempat yang kini menjadi kelenteng itulah mereka menyusun strategi penyerangan meski akhirnya kalah. Belakangan, umat Tionghoa membuat kongco Raden Panji Margono sebagai bentuk penghormatan.
[Wujud penghormatan untuk Raden Panji Margono ada di Kelenteng Gie Yong Bio, bersama dengan dua rekannya, yakni Tan Kee Wie dan Oey Ing Kiat (Raden Ngabehi Widyaningrat)]
Altar khusus Panji Margono, seorang Jawa yang didewakan di Klenteng Gie Yong Bio, Lasem. (Astri Apriyani/renjanatuju.com)
Perjalanan Kelenteng Cu An Kiong cukup berliku, khususnya saat Orde Baru. Saat itu, mengecat tembok pun dipersulit aparat pemerintah setempat. Namun, selepas Ore Baru, banyak pejabat mendatangi kelenteng tersebut.
Ornamen di atap Kelenteng Cu An Kiong, di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. (Tribun Jateng/M Syofri Kurniawan)
Menurut Gandor, ada tulisan berhuruf Cina di depan kelenteng yang menjadi daya tarik. Ia tidak bisa membacanya namun dari sesepuh, diungkapkan maknanya yang kira-kira berbunyi "semua permohonan pasti terkabul".
Maksudnya, doa jelek seseorang juga akan terkabul tetapi orang yang berdoa harus berani menanggung akibatnya. Kelenteng Cu An Kiong ramai tanggal tiga bulan tiga menurut penanggalan Tiongkok. Saat itu, Makco berulang tahun.
Selain Kelenteng Cu An Kiong, di Lasem ada Kelenteng Poo An Bio di Jalan Karang Turi VII Nomor 15, dan Kelenteng Gie Yong Bio di Jalan Babagan Nomor 7. Sekitar tahun 1815, Lasem menjadi kota yang memiliki penduduk Tionghoa terbanyak di Pantura. Itu sebabnya, di wilayah ini terdapat beberapa kelenteng.
National Geographic Indonesia, Jumat, 17 Juli 2015
No comments:
Post a Comment