Oleh DWI AS SETIANINGSIH dan WISNU DEWABRATA
Lembar-lembar kain batik lasem menyimpan jejak tentang akulturasi etnis Jawa dan Tionghoa yang telah berumur ratusan tahun. Jejaknya terekam pada motif-motif batik lasem yang beragam serta warna merah “getih pitik”-nya yang identik dan tersohor ke seluruh penjuru negeri.
Motif hewan legenda negeri Tiongkok, Naga, dijadikan salah satu motif khas batik Lasem (BBC Indonesia)
Sigit Witjaksono (87), generasi ke-8 salah satu pengusaha batik di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, Selasa (17/5), memamerkan kemeja-kemeja batik lasem miliknya. Kemeja-kemeja itu rata-rata berwarna merah, khas batik lasem.
Pada kemeja-kemeja batiknya yang beragam motif itu terdapat aksara Han dari Tiongkok yang dia buat sendiri. Menurut Sigit, aksara-aksara itu melafalkan kata-kata mutiara atau peribahasa orang Tionghoa. Salah satunya berbunyi: usia lanjut tua masih tetap sehat, seisi rumah bahagia dan sejahtera.
“Bagus kan? Tidak bermuatan politik, tidak komunis, tidak menjelekkan agama lain, dan tidak cuma (cocok) untuk orang Cina?” kata Sigit.
Dia mempelajari aksara Han secara otodidak sampai bisa menulis kalimat dalam peribahasa Tiongkok. Di batik karyanya itu, Sigit mengombinasikan aksara Han dengan motif khas Lasem, seperti sekar jagad, latohan, dan kricak.
Salah satu batik buatan Sigit diberikan kepada tokoh masyarakat Lasem yang juga pengasuh Pondok Pesantren Kauman, Kiai Haji Zaim Ahmad Ma’shoem (Gus Zaim), sebagai tanda persahabatan. Di kain batik merah untuk Gus Zaim itu ada aksara Han yang artinya di empat penjuru, semua manusia bersahabat. Semua manusia satu, sama, bersahabat.
“Kalau warna, (batik) lasem memang dominan merah, merah getih pitik. Menurut ahli dari Jepang, ini karena air di Lasem mengandung mineral tertentu yang kalau dipersenyawakan dengan bahan kimia menghasilkan warna merah cemerlang seperti itu,” papar Sigit.
Konon warna merah Lasem banyak diburu pembatik dari Solo dan Yogyakarta. Karena tak bisa meyamai merah khas Lasem, para pembatik dari luar Lasem kemudian membeli kain putih dasar merah dari Lasem lalu dibawa pulang dan diberi isen-isen. Diberi nama jarik laseman.
Dalam buku Benang Raja: Menyimpan Keelokan Batik Pesisir karangan Hartono Sumarsono dkk, di masa lampau, Lasem masyhur dengan warna merah getih pitik. Warna khas itu tak bisa ditiru saat masih menggunakan zat warna dari akar mengkudu.
Warna merah itu, ujar Sigit, berkaitan dengan batik lasem yang merupakan batik pesisir, di mana pengusahanya berdiam di daerah pesisir sehingga terpengaruh budaya luar. Salah satunya relasi dengan pedagang Tiongkok. Di Lasem, persentuhan dengan etnis Tionghoa diperkirakan terjadi pada abad ke-14 sampai ke-15 saat Laksamana Cheng Ho menjejakkan kaki di bumi Lasem.
“Selain warna yang merujuk relasi dengan Tionghoa, begitu juga dengan motif-motifnya. Misalnya di batik lasem selalu ada gambar burung atau kelelawar yang khas Cina,” kata Sigit.
Pemilik Batik Maranatha, Priscilla Renny, yang merupakan generasi kelima dari usaha batik yang dirintis ibunya, Naomi, adalah contoh pengusaha batik lasem yang masih meneruskan pembuatan batik lasem bernuansa Tionghoa. Misalnya motif naga, kilin, burung hong, arak-arakan ke kelenteng yang menggambarkan aktivitas warga Tionghoa menuju kelenteng, serta altar cloth dengan motif dewa-dewa yang dipuja dalam kepercayaan Tiongkok.
Untuk mendapatkan warna merah yang diturunkan ibunya, Renny menghabiskan waktu sampai dua minggu. “Tiap malam saya otak-atik rumusnya, ternyata beda-beda antara merah 1 dan merah 2. Akhirnya sampai minggu kedua baru saya tahu. Gini kok susah amat,” ujarnya.
Di beberapa tempat pembatikan milik pembatik Jawa di Lasem, warna merah juga tetap dipakai. Meski demikian, merah racikan setiap pembatik tak lagi sama, seperti diungkap peneliti batik lasem, William Kwan. Saat ini perubahan warna merah Lasem sudah cukup drastis. Hanya sebagian saja yang warnanya masih sama dengan merah klasik laseman.
Produk akulturasi
Apa yang tersaji pada lembar-lembar batik lasem, dituturkan Gus Zaim, menunjukkan, batik lasem adalah salah satu produk akulturasi antara etnis Tionghoa dan Jawa di Lasem. Hal itu, antara lain, karena ada batik lasem yang menggunakan motif Jawa, namun juga ada yang punya kekhasan Tionghoa, seperti gambar burung hong dan naga. Kadang-kadang juga ada satu kain yang di situ terjadi akulturasi, ada burung hong dan bunga wijaya kusuma.
Di lembar batik lasem motif arak-arakan kelenteng karya Renny Maranatha, contohnya, terdapat ornamen yang menggambarkan aktivitas arak-arakan, mulai dari sosok orang Tionghoa, kelenteng, naga, hingga kilin. Namun, pada bagian isen-isen dan pinggir kain terdapat motif latohan dan daun asem yang merupakan motif lokal Lasem.
“Yang pasti akulturasi di sini terjadi secara alamiah. Seperti halnya rumah-rumah di Lasem yang bergaya Mataraman, namun dengan pintu-pintu menghadap 12 arah. Artinya, dari semua penjuru matahari menyinari rumah. Doa semoga rumah ini disinari dari segala penjuru dan mendapat kesejahteraan,” kata Gus Zaim.
Akulturasi di batik lasem, lanjutnya, merujuk pada toleransi dan cairnya toleransi antar-etnis, suku bangsa, atau antar-agama di Lasem yang tak tersekat sedikit pun. “Ini makin menjadikan batik akulturatif. Enggak mungkin ada akulturasi kalau masyarakatnya enggak rukun, enggak ada toleransi,” ujar Gus Zain.
Jejak kerukunan dan toleransi itu sesungguhnya sudah tercatat sejak masyarakat Lasem yang terdiri dari etnis Jawa dan Tionghoa berperang melawan VOC, seperti tercatat dalam Kitab Sabda Badra Santi yang ditulis Mpu Santibadra. “Ada perang sabil, di kalangan pesantren, tercatat di sebuah buku peninggalan Hindu, yang disebut juga perang kuning. Disebutkan ada tiga tokoh yang mencerminkan hubungan antar-etnis di Lasem yang sudah ada sejak dulu dan sangat cair. Ketiganya adalah Ui Ing Kiat (Tiongkok), Raden Panji Margana (Jawa), dan satunya tokoh pesantren, Kiai Haji Ali Baidowi,” kata Gus Zaim.
Ui Ing Kiat, ujarnya, adalah adipati. Ini luar biasa karena ada orang Tionghoa yang menjadi adipati di tanah Jawa dan diterima dengan baik oleh orang Lasem. Dalam konteks ini, warna merah menemukan relasi sebagai representasi karakter masyarakat Lasem yang gentle, tanpa tedeng aling-aling.
Sejarawan Rembang, Edi Winarno, menuturkan, batik lasem kerap diidentikkan sebagai batik Tionghoa peranakan. Padahal, dalam perjalanannya, batik lasem telah menyerap berbagai bentuk interaksi budaya dan perubahan. Sebelum pengaruh masuknya budaya Tiongkok yang diwakili pendaratan ekspedisi maritim Laksamana Cheng Ho, aktivitas membatik sudah lama dikenal masyarakat Lasem.
“Melihat peninggalan masa megalitikum di situs Selodiri, Desa Terjan, Rembang, sudah sejak sekitar 2.000 tahun lalu masyarakat Lasem mengenal nilai seni. Ini tergambar dari ukuran berbentuk garis simetris dan lengkungan yang terpahat di atas keempat batu di situ itu,” kata Edi.
Produk batik di Lasem, lanjutnya, sudah lama dikenal sejak masa kejayaan Majapahit. Pada era Majapahit, batik di Lasem banyak menggunakan warna bahan alami, seperti tumbuhan dan akar tanaman. Warna coklat-merah diperoleh dari daun jati, warna merah dari akar mengkudu, warna biru dari bahan indigo, dan warna hijau dari daun mangga.
“Ciri-ciri batik di masa Majapahit juga dapat kita lihat dari warna dasarnya yang putih dan didominasi warna coklat muda dan biru tua. Baru setelah kedatangan Cheng Ho, warna-warna batik lasem lebih cerah, didominasi warna merah. Bagi masyarakat Tionghoa, warna merah identik dengan keberanian dan keberuntungan,” papar Edi.
Akulturasi serupa terjadi di Kudus dan Demak. Proses akulturasi dengan budaya Islam terjadi setelah runtuhnya kekuasaan dan pengaruh Majapahit pada akhir abad ke-15, yang ditandai dengan menguatnya pengaruh kerajaan Islam di Kudus. Melalui proses akulturasi dan kawin-mawin, muncul golongan Tionghoa peranakan yang memeluk Islam sehingga pembauran berlangsung harmonis.
Jejaknya terdapat pada batik kudus yang di antaranya menggunakan kaligrafi, bunga, dan tanaman. Ini diyakini terkait dengan ajaran dan kepercayaan Islam yang melarang penggambaran makhluk hidup, terutama hewan. “Tapi, tak hanya budaya Arab atau Islam dan Tiongkok. Di batik kudus juga ada pengaruh Eropa,” ujar Fadloli, pembatik asal Langgar Dalem yang menjadi cikal bakal batik kudus abad ke-16.
Proses serupa dapat ditelusuri jejaknya melalui motif-motif di batik demak. Setelah meredupnya Majapahit, Demak menguat dan menjadi pusat penyebaran agama Islam. Kawasan Demak yang terletak di pesisir pantai memungkinkan persentuhan dengna pedagang asing, seperti dari Tiongkok.
Komunikasi terbuka
Penulis buku Lasem Kota Tiongkok Kecil: Interaksi Tionghoa, Arab, dan Jawa dalam Silang Budaya Pesisiran, Munawir Aziz mengatakan, Lasem adalah cermin untuk melihat bagaimana orang-orang lintas etnis, lintas agama, dan lintas budaya berkomunikasi secara terbuka. Hubungan antar-etnis di Lasem, ujarnya, sangat cair.
“Bagaimana itu terjadi? Akarnya apa? Saya cek tahun 1998, di beberapa kota kan ramai. Solo, Semarang, dan Jakarta terutama, ada gejolak terhadap orang Tionghoa. Tapi, di Lasem bisa diredam. Ada sih percikan meski kalau kita lihat percikan ada di mana pun. Tapi, Lasem punya mekanisme bagaimana percikan itu dapat diredam sehingga tak menjadi konflik etnis atau komunal,” tutur Munawir.
Hal ini bisa terjadi karena komunikasi di Lasem, katanya, sudah terbangun sejak lama. Akar sejarahnya adalah ketika terjadi geger pecinan 1740, saat ribuan orang Tionghoa di Jakarta dibantai dan berpindah ke daerah pesisir, salah satunya Lasem. “Itulah saatnya mereka kemudian menyatu dengan orang-orang pribumi, dengan orang-orang santri, orang-orang Jawa. mereka kemudian bersama-sama melawan VOC. jadi, memang sejak dulu sudah ada ikatannya,” kata Munawir. Tiongkok bagi warga Lasem adalah saudara, aliansi bersama melawan VOC.
Relasi baik kedua etnis terus terjaga hingga hari ini karena di Lasem ada komunikasi yang memungkinkan tiap kelompok bisa bertemu dan berkomunikasi secara cair. Selain media formal, seperti tempat ibadah, ada pula media informal, yaitu warung kopi, yang menjadi suplai informasi antarkelompok.
“Warung kopi mempertemukan orang-orang lintas etnis, lintas agama, dan lintas stratifikasi sosial yang memungkinkan mereka bisa ngobrol bareng, bisa tertawa bersama tanpa memandang latar belakang. Orang Lasem mungkin enggak sadar, tapi kalau dari luar, ini adalah kanal penting di mana antar-etnis bisa saling dukung,” paparnya. Seperti peribahasa Tiongkok: dari semua penjuru, semua orang satu, bersahabat.
Kompas, Minggu, 26 Juni 2016
No comments:
Post a Comment