Oleh MASDAR HILMY
Kerusuhan Tanjung Balai – dan juga kerusuhan Tolikara tahun lalu – telah mengentakkan kesadaran kita bahwa gambar kerukunan dan toleransi beragama di negeri ini tidaklah “seindah warna aslinya”.
Ternyata masih ada banyak hal yang harus dibenahi. Kondisi semacam ini ibarat memandang gunung: indah ketika dilihat dari jauh, tetapi penuh jurang dan bebatuan mengerikan jika didekati. Lebih berbahaya lagi, sebuah gunung berapi menyimpan magma panas yang sewaktu-waktu dapat meletus dan menghancurkan kehidupan alam sekitar.
Terlepas dari berbagai pujian dunia terhadap tradisi toleransi beragama di negeri ini, kerukunan dan toleransi beragama kita harus diakui berdiri di atas fondasi yang masih rapuh. Hanya karena hasutan “kecil” melalui pesan berantai di media sosial, harmoni sosial umat beragama mendadak terkoyak. Masyarakat kita seolah kehilangan kecerdasan publik untuk memfilter dan menangkis segala isu provokatif.
Di tengah banjirnya informasi di media sosial, rasanya tiada pilihan lain bagi masyarakat kita kecuali perlu memperkuat kecerdasan publik dalam rangka merasionalisasi segala bentuk provokasi agar konflik kerusuhan bernuansa suku, agama, ras, dan antar-agama (SARA) tidak mudah terjadi. Barangkali inilah tantangan terberat masyarakat kita di tengah era digital seperti sekarang ini.
Kekenyalan sosiologis
Sebuah masyarakat dapat dikatakan dewasa dalam hal kerukunan dan toleransi beragama manakala mereka memiliki tingkat kekenyalan sosiologis yang tinggi dalam mengelola, memfilter, dan selanjutnya menangkal berbagai bentuk isu provokatif di seluruh tingkatan: kecil, sedang, dan berat. Berbagai konflik dan kerusuhan sosial bernuansa SARA terjadi akibat minimnya (bahkan absennya) kekenyalan sosiologis dimaksud. Sementara itu, roh dari kekenyalan sosiologis adalah rasionalitas publik yang bekerja untuk menimbang keuntungan dan kerugian dari sebuah tindakan kolektif.
Ketika rasionalitas publik bekerja secara maksimal, maka sebuah masyarakat niscaya tidak akan memilih tindakan yang dapat membahayakan dan merugikan orang lain. Memang, tindakan membakar rumah ibadah agama lain bisa saja dikonstruksi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab sebagai upaya pembelaan diri atas penghinaan terhadap agamanya. Namun, jika mereka sadar sesadar-sadarnya (religiously literate), tindakan tersebut pasti cenderung dihindari karena tidak dibenarkan oleh ajaran agama apa pun di dunia ini. Dalam keadaan perang pun, Islam tidak membenarkan penghancuran rumah-rumah ibadah umat agama lain!
Pertanyaannya, sudah sedemikian parahkan masyarakat kita? Mengapa mereka lebih memilih cara perusakan dan penghancuran ketimbang dialog? Seberapa jauh masyarakat kita “kenyal” secara sosiologis ketika ada “tangan-tangan jahil” mencoba mengail di air keruh? Jangan-jangan Tanjung Balai adalah fenomena gunung es di negeri ini: masyarakat kita secara umum belum teruji untuk menghadapi hantaman provokasi dari yang ringan hingga yang berat. Artinya, masyarakat kita berdiri di atas fondasi toleransi yang rapuh (fragile tolerance) yang sewaktu-waktu dapat meledak jika diprovokasi.
Dalam kondisi semacam ini, ada baiknya kita membayangkan diri sebagai kelompok minoritas di wilayah lain, seperti masyarakat Muslim di daratan Eropa atau di Amerika Serikat. Bagaimana masyarakat non-Muslim di kedua benua tersebut secara umum berusaha sekuat tenaga menjaga harmono di tengah hantaman berbagai provokasi kekerasan melalui ulah segelintir teroris yang menewaskan banyak warga sipil? Bagaimana pula Pemerintah Jerman masih tetap menerima gelombang pengungsi di tengah hancurnya reputasi mereka akibat ulah teroris?
Pembunuhan warga sipil di Nice, Perancis, melalui modus terorisme single wolf yang menewaskan 84 warga sipil (15/7/2016), aksi penembakan membabi buta seorang pemuda berketurunan Iran di kota Muenchen, Jerman (22/7/2016), dan penyerangan sebuah gereja di Perancis (26/7/2016) adalah sebentuk provokasi tingkat berat.
Sekalipun daratan Eropa telah berkali-kali dihantam isu terorisme, masyarakat sejauh ini tetap tenang dan tidak terprovokasi untuk melancarkan aksi balasan. Artinya, masyarakat di kedua negara tersebut secara umum telah memiliki tingkat kekenyalan sosiologis yang tinggi dalam menghadapi berbagai tekanan dan hantaman provokasi.
Memang kasus-kasus diskriminasi dan pelecehan agama kerap terjadi di daratan Eropa, AS, dan Australia. Namun, jatuhnya korban di kalangan warga sipil akibat aksi teroris bukanlah balasan setimpal atas aksi diskriminasi dan pelecehan tersebut. Aksi kekerasan teroris jelas sudah melewati batas-batas kemanusiaan, sesuatu yang semestinya sangat disakralkan oleh ajaran agama apa pun, tak terkecuali Islam. Namun, mengapa aksi-aksi kekerasan masih tetap dilakukan teroris? Jawabannya: karena rasionalitas publik mereka telah tersubordinasi dan terkooptasi oleh fanatisme buta yang justru merugikan semua.
Pilarisasi masyarakat sipil
Sebenarnya aksi kekerasan di kalangan umat beragama dapat dicegah jika kelompok masyarakat sipil (civil society) kita dapat memerankan diri sebagai benteng terakhir kerukunan dan toleransi beragama. Meminjam istilah Bryan S Turner (2016: 266), penciptaan toleransi beragama dapat dilakukan melalui “pilarisasi masyarakat sipil” dengan cara melakukan berbagai bentuk penguatan toleransi di tiap-tiap kluster masyarakat sipil, baik secara teologis maupun sosiologis. Tentu saja proses penguatan tersebut harus dilakukan secara top-down, bukan bottom-up.
Artinya, para elite agamawan sebagai bagian dari masyarakat sipil harus sigap dan bertanggung jawab mengendalikan emosi massa agar kekerasan dan kerusuhan sosial bisa dicegah. Sayangnya, tidak semua elite agamawan memiliki kesadaran atau kapasitas demikian.
Dalam banyak kasus, beberapa aksi kekerasan bernuansa SARA di negeri ini justru “direstui” oleh para elite agamawan. Yang lebih menyedihkan, beberapa aksi kekerasan terjadi akibat pembiaran oleh para aktor negara yang semestinya berdiri di garda depan dalam melindungi setiap warga negara.
Dalam konstruk teoretik Simon Chambers dan Jeffery Kopstein (2001), kelompok masyarakat sipil yang tidak mampu mencerdaskan dan menyejahterakan para anggotanya disebut sebagai masyarakat sipil yang buruk (bad civil society). Oleh karena itu, ada baiknya masyarakat sipil kita melakukan berbagai penguatan dan advokasi massa agar masyarakat kita mampu mendayagunakan rasionalitas publik secara maksimal.
Bekerjanya mekanisme rasionalitas publik tersebut dengan sendirinya akan menciptakan kekenyalan sosiologis di kalangan masyarakat dalam menghadapi berbagai macam provokasi yang pada gilirannya akan menciptakan kedewasaan di kalangan mereka.
Salah satu indikator kedewasaan masyakat kita adalah dipilihnya cara-cara beradab (baca: non-kekerasan) sebagai mekanisme resolusi konflik yang baik bagi berbagai masalah sosial kemasyarakatan. Ada banyak isu provokatif yang berseliweran di ruang publik yang dapat mengancam bangunan toleransi beragama kita. Seberat apa pun tingkat provokasinya, tidak semestinya kita memilih cara-cara kekerasan untuk menyelesaikan masalah-masalah keagamaan. Memasuki usianya yang ke-71, semoga kerukunan dan toleransi beragama kita semakin kokoh, kenyal, dan dewasa sehingga kemajemukan beragama akan membawa berkah ketimbang bencana.
MASDAR HILMY
Guru Besar Ilmu-ilmu Sosial dan Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel, Surabaya
Kompas, Sabtu, 10 September 2016
No comments:
Post a Comment