Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Alkisah, pada suatu ketika, dalam perjalanan dari Ur di wilayah Chaldea – sekarang Irak Selatan – untuk menuju ke Tanah Terjanji, Abram yang kemudian menjadi Abraham (Ibrahim), “bapa sejumlah bangsa besar”, “bapa yang agung”, singgah di sebuah kota bernama Haran (Harran). Kala itu, Haran adalah kota yang ramai dan menjadi salah satu mitra dagang utama dari Tirus. Haran adalah kota dagang penting pada zamannya.
Haran, yang dalam bahasa Asiria, “Harranu”, berarti ‘Jalan’ atau ‘Jalur Kafilah’. Hal itu menunjukkan bahwa kota Haran berada di rute dagang utama yang menghubungkan kota-kota besar di masa itu dan sering disinggahi para kafilah.
Kini, Haran, kota yang terletak sekitar 50 kilometer sebelah selatan Sanliurfa atau Urta – 150 kilometer sebelah timur Gaziantep dan 1.300 kilometer sebelah tenggara Istanbul, Turki – itu tidak seramai dahulu. Haran, menurut sejumlah laporan, kini hanyalah sekumpulan rumah beratap kubah. Di sekitarnya terdapat reruntuhan berbagai peradaban kuno.
Dari Haran, Abraham berjalan menuju Damaskus, yang terletak di Lembah Aram, kini Suriah. Dalam perjalanan itu, Abraham dan rombongannya melewati dan singgah di suatu tempat. Sambil istirahat, ia menyempatkan diri memerah susu sapi yang dibawanya dari Ur. Susu hasil perahan itu diberikan kepada siapa saja yang melintas di tempat dia beristirahat.
Tempat Abraham memerah susu itu kemudian diberi nama Halab, yang berarti ‘memerah susu’. Halab itulah yang kini disebut Aleppo. Dalam bahasa Amorit, halab berarti ‘besi’ atau ‘tembaga’. Namun, dalam bahasa Aramaik, halaba berarti ‘putih’. Ini sesuai dengan warna tanah di daerah itu. Kota ini juga disebut Khalpe, Khalibon. Orang-orang Yunani menyebut Beroea, dan orang-orang Turki menyebutnya Helep. Semasa Perang Salib dan semasa Mandat Perancis disebut Alep. Dari sinilah muncul nama “Aleppo”, mengikuti sebutannya dalam bahasa Italia.
Sapi-sapi Abraham, menurut cerita, berwarna abu-abu, yang dalam bahasa Arab adalah shaheb. Karena itu, tempat Abraham memerah susu juga disebut Halab ash-Shahba atau ia memerah susu sapi berwarna abu-abu. “Dalam bahasa Arab, shaheb juga berarti ‘sahabat’,” kata Zuhairi Mizrawi, intelektual muda NU, dalam suatu diskusi. “Karena itu, barangkali tempat itu juga berarti ‘tempat Abraham memberikan susu kepada para sahabatnya’,” lanjutnya.
Persahabatan menjadi roh kota ini meski tidak selamanya persahabatan di kota itu hidup. Namun, orang tetap mengenal Aleppo sebagai tempat Abraham memerah susu sapinya; tempat Aleksander Agung pernah berkemah; lokasi pasukan Salib mengakui kekalahan dari pasukan Muslim pimpinan Imd al-Dn Zang pada tahun 1129; dan tempat Raja Faisal memproklamasikan kemerdekaan Suriah. Aleppo juga merasakan cengkeraman kekuasaan orang-orang Amorit, Hittite, Mittania, Assiria, Babilonia, Persia, pasukan Aleksander Agung, Kesultanan Seleucid, Umayyad, Ayyubid, Mameluk, Mongol, Arab, Romawi, hingga kemudian Ottoman Turki.
Pada abad ke-13, Hulagu, anak Genghis Khan, menyerbu kota yang terletak di lembah subur antara Sungai Eufrat dan Tigris serta ujung Jalur Sutera setelah melewati Asia Tengah dan Mesopotamia ini. Tentara Mongol ini membunuh 50.000 penduduk Aleppo. Timurlane atau Timur Leng yang mengaku keturunan Genghis Khan pun menduduki Aleppo pada tahun 1400-an.
Wajarlah kalau jejak peninggalan bangsa-bangsa itu tertinggal di Aleppo, kota yang diyakini sudah dihuni orang sejak milenium ketiga sebelum Masehi. Kota lama Aleppo mengisahkan kekayaan dan keragaman budaya bangsa-bangsa yang pernah meninggalinya. Semua serba indah.
Coba simak puisi Nâbî, seorang diva penyair zaman Ottoman pada abad ke-18:
Hari itu akan datang ketika orang menjadi bagianmu, kota Aleppo/
Adalah sangat pantas kalau kemudian tidak ada kegembiraan/
Karena inilah yang sesungguhnya, keindahan ditemukan di sini/
Dalam keagunganmu yang dibangun dengan kokoh/
Segala macam barang dagangan ada/
Kekayaan dan barang-barang indah tak terbilang/
Tetapi, lebih dari ini, air dan udaranya menawan hati/
Karena sungai dan bangunan-bangunannya.
Dahulu, Aleppo adalah keindahan. Di sana ada Masjid Umayyad yang agung dan indah. Masjid itu dibangun pada tahun 715 oleh Kalifah Khalid ibn al-Walid Al-Walid dan diselesaikan oleh penerusnya, Kalifah Suleiman. Sama seperti Masjid Umayyad di Damaskus, yang dibangun 10 tahun sebelumnya, Masjid Umayyad di Aleppo, yang dalam bahasa Arab disebut Al-Jami al-Kabir, berdiri di atas kuil Romawi dan katedral Byzantium yang dibangun oleh St Helena. Tetapi, masjid yang indah itu hancur karena perang (BBC News, 24 April 2013).
Aleppo, dulu, juga memiliki Benteng (Citadel) Aleppo yang begitu megah dan masyhur. Benteng di puncak bukit yang dibangun pada abad ke-13 itu juga digunakan sebagai pusat pemerintahan dan istana Dinasti Ayyubid. Dari dinasti inilah Saladin berasal. Di sekitar benteng terdapat bangunan, misalnya masjid, madrasah, istana, dan hammam (tempat pemandian umum) yang bertarik abad ke-17 dan sebelumnya. Berdiri pula Katedral Armenia Empat Puluh Martir.
Masjid Ummayad di Aleppo, pada tahun 2009
Katedral Armenia Empat Puluh Martir di Aleppo, pada tahun 2011 (kiri) dan reruntuhan pada tahun 2015, akibat perang yang berlangsung di Suriah (kanan).
Yang indah-indah itu kini tinggallah kenangan. Perang yang pecah di Suriah sejak 2011, baru menyentuh Aleppo pada Juli 2012. Meski demikian, kota yang berada di jalur ke Damaskus dari utara itu kini demikian menderita. Aleppo terbelah: bagian barat dikuasai pasukan pemerintah dan bagian timur dikuasai pasukan oposisi. Tak kurang 300.000 penduduknya terjebak di tengah pertempuran (entah berapa ribu yang telah tewas). Gedung-gedung hancur, tidak ada makana dan minuman. Orang mati di mana-mana, dan tak ada lagi keindahan yang pernah dimiliki kota bersejarah itu.
Tidak ada yang tahu pasti kapan tragedi kemanusiaan itu akan berakhir. Selama nafsu kekuasaan, angkara murka, menguasai manusia-manusia di sana, tragedi kemanusiaan itu akan terus terjadi. Dan, cerita tentang kebaikan Abraham yang membagikan susu sapinya kepada para musafir yang dianggap saudara tak ada lagi. Yang ada justru kekejaman, kelaliman, dan permusuhan.
Souq Bab Antakya, Aleppo, pada tahun 2009 (atas) dan setelah serangan 2012 (bawah). (The Guardian/Alamy, Reuters)
Pasar tradisional tua di Aleppo, pada tahun 2007 (atas) dan setelah serangan 2013 (bawah). (The Guardian/Corbis, Stanley Green)
Kompas, Minggu, 21 Agustus 2016
No comments:
Post a Comment