Tuesday, 31 January 2017

Psikopatologi Kebencian

Sasaran kebencian bisa berupa apa pun atau siapa pun. Namun, tahap-tahap kebencian itu akan selalu terjadi.
  1. Pembenci mengelompok
Pembenci jarang menyendiri. Mereka akan mencari orang lain untuk menguatkan kebenciannya, mencegah instrospeksi, dan meleburkan identitas pribadi guna mengurangi tanggung jawab.
  1. Penguatan identitas kelompok
Simbol, ritual, dan mitologi digunakan untuk membangun identitas kelompok sekaligus merendahkan atau mengisolasi target.
  1. Peremehan target kebencian
Sejalan dengan menguatnya citra diri kelompok, pembenci akan menyebar fitnah dan mengolok-olok secara lisan.
  1. Penghinaan sasaran kebencian
Untuk meningkatkan kadar kebencian terus-menerus, pembenci akan meningkatkan retorika atau tingkat kekerasan pernyataannya sehingga intensitas serangan ke target tetap tinggi. Hinaan dilakukan terbuka.
  1. Penyerangan tanpa senjata
Tahap ini menentukan apakah kebencian yang diungkapkan hanya sebatas kata-kata atau sudah mewujud dalam tindakan kekerasan. Pembenci kian agresif dan intimidasi yang dilakukan kian intensif.
  1. Penyerangan bersenjata
Serangan fisik ke target kebencian menggunakan benda-benda di sekitar hingga senjata api. Bisa juga dilakukan dengan menyabotase kepentingan target kebencian. Semua tujuannya sama, menunjukkan dominasi atas target kebencian.
  1. Penghancuran target kebencian
Hancurnya target adalah tujuan utama kelompok pembenci. Kehancuran itu akan meningkatkan kepercayaan diri pembenci. Namun sejatinya, secara fisik dan psikologis, pembenci pun ikut hancur.
Kompas, Minggu, 29 Januari 2016

Tebar Kebencian, Tumpulkan Pikiran

Oleh M ZAID WAHYUDI
Merebaknya ujaran kebencian di masyarakat beberapa bulan terakhir mulai menimbulkan konflik. Rasa benci itu membuat banyak informasi bias, palsu, dan fitnah disebar. Tenggang rasa, empati, dan persaudaraan pun pupus hanya karena beda pandangan. Bahkan, serangan fisik dan bentrokan sudah terjadi di beberapa daerah.
hate speech.jpg
Kebencian sejatinya ialah emosi umum tiap individu. Namun, jika emosi yang menunjukkan ketidaksukaan itu disebarkan ke publik, itu bisa memicu konflik dan kejahatan atas kemanusiaan.
“Kebencian bisa menghilangkan harkat manusia, memunculkan bias, dan mengurangi empati,” kata Gail B Murrow dan Richard Murrow dalam “A Valid Question: Could Hate Speech Condition Bias in the Brain” di Journal of Law and the Biosciences, Maret 2016.
Namun, ujaran kebencian jadi strategi kelompok memprovokasi kebencian dan tindakan anarki. Materi kebencian yang disebarkan, menurut Jerome Neu dalam The Philosophy of Insults, 2008, ialah beda ras, jender, orientasi seksual, suku, agama, atau karakter kelompok lain.
“Sepanjang sejarah, strategi itu dipakai banyak kelompok untuk menghasut, membenci kelompok lain, dan menumbuhkan kebanggaan kelompoknya, termasuk Nazi Jerman,” ujar ahli neurosains kognitif Universitas Miami, Amerika Serikat, Berit Brogaard, di Psychologytoday.com, 21 Desember 2016.
Pola pikir
Peneliti Pusat Kesehatan Mental Masyarakat Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Rahmat Hidayat, Rabu (18/1), memaparkan, kebencian seseorang terkait dengan pola pikir kronis atau menetap yang dimiliki. Mereka memandang segala hal dari sudut pandang negatif atau ancaman bahayanya.
Ketakmampuan melihat secara obyektif itu memicu kecemasan, kekhawatiran, atau keterancaman diri. "Pola pikir kronis yang menimbulkan kebencian kerap tak disadari," ucapnya.
Skema berpikir kronis dipengaruhi banyak faktor, termasuk pengasuhan dan pengalaman masa kecil. Orang-orang yang sejak kecil terpapar dan terbiasa menerima hinaan, cacian, kata-kata merendahkan, atau tak dihargai cenderung jadi pribadi berpandangan negatif.
Subyektivitas pada informasi membuat para penyebar kebencian sulit menilai secara proporsional. Akibatnya, mereka tak bisa berpikir kritis. Hanya informasi yang disukai atau ingin dilihatnya yang diyakini benar. Selain itu, dianggap salah.
Meski demikian, Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi, Manado, Taufiq Pasiak menilai, kebencian yang marak di masyarakat muncul akibat situasi politik, bukan perilaku permusuhan bawaan kepribadian seseorang. Situasi politik mengubah sifat alamiah otak, menyeret sebagian orang pada arus kebencian.
Secara alamiah, otak manusia menghindari kebencian. Karakter utama otak ialah menyukai atau memburu kesenangan dan menghindari hal tak menyenangkan. Karena kebencian tak menyenangkan, manusia sejatinya tak suka membenci.
Kebencian juga menguras energi otak. Benci membuat otak menguras energi sebagai kompensasi kebencian. Itu membuat otak tumpul, tak bisa berpikir tajam. "Akibatnya, mereka yang membenci sulit berpikir dan bertindak adil," ujarnya.
Oleh karena itu, maraknya penyebaran kebencian dinilai Taufiq tak perlu terlalu dikhawatirkan. Pada jangka pendek, situasi ini menyebalkan. Namun, itu tak akan lama karena kebencian politik mudah berubah, tergantung dari kemampuan mereka yang benci untuk mengakomodasi kepentingan kelompok lain.
Individu ke kelompok
Kebencian akibat pola pikir kronis amat individual. Namun, saat individu-individu yang membenci mengelompok, skema berpikir kronis berlaku pada kelompok. Jadi, identitas kebencian mereka mengental dan membuat mereka terpolarisasi dengan kelompok lain.
Kehadiran pimpinan kelompok mengukuhkan identitas mereka. Jika pesan kebencian dari pimpinan kelompok disampaikan berulang-ulang, realitas yang dikonstruksikan pimpinan kelompok jadi realitas kelompok.
"Akibatnya, mereka tak kritis dengan kelompoknya. Kelompoknya paling benar dan kelompok lain salah," kata Rahmat.
Taufiq menyebutkan, kebencian yang berubah dari ekspresi personal jadi ekspresi kelompok bisa memicu konflik horizontal. Masalahnya, kebencian massal mudah menyebar karena manusia Indonesia yang paternalistik suka mengelompok. Dampaknya, mereka tak percaya diri dengan penilaian diri dan memilih mengikuti pandangan kelompoknya.
Namun, kebencian yang disebar itu belum tentu memunculkan kebencian serupa pada orang lain. Penerimaan individu pada ujaran itu menentukan mereka ikut membenci atau tidak. "Penyebaran kebencian hanya menguatkan pandangan kelompok, tak otomatis memengaruhi pandangan orang atau kelompok umum," ucap Rahmat.
Namun, persepsi itu dipengaruhi kesukaan seseorang pada figur penyebar kebencian. Kesukaan pada penyebar kebencian menjadikan seseorang setuju kebencian yang disebar. Sebaliknya, ujaran positif dari orang yang dibenci bisa melahirkan kebencian.
"Pembenci memandang seseorang bukan atas apa yang dibicarakannya, tetapi siapa yang membicarakannya," ujarnya.
Pembatasan
Meski ujaran kebencian berdampak nyata di masyarakat, pengaturannya di sejumlah negara menimbulkan pro dan kontra, termasuk di Amerika Serikat dan Indonesia. Pengaturan ujaran kebencian dikhawatirkan memengaruhi kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi.
Rahmat menilai, sebagai ekspresi personal, ujaran kebencian tak perlu dikontrol negara karena khawatir akan membatasi kebebasan berpendapat. Dalam jangka pendek, penyebaran pandangan negatif memunculkan ketidaknyamanan. Namun, dalam jangka panjang, belum tentu bisa memengaruhi orang lain.
"Prinsipnya, kebebasan berpendapat tak boleh dilanggar. Etika berkomunikasi harus dijaga dan negara tak perlu jadi polisi moral masyarakat," katanya.
Namun, banyak pihak juga mengingatkan, kebebasan berbicara itu tetap bisa dibatasi jika melanggar hak-hak orang lain atau menimbulkan dampak bagi bangsa dan negara.
Berdasar neurosains, Taufiq setuju jika kebebasan berbicara, khususnya yang menyangkut penyebaran kebencian, harus dibatasi. Sifat dasar manusia selalu ingin melampiaskan segalanya. Kondisi itu akan menghilangkan kendali diri hingga bertindak membabi buta, tak bisa menenggang rasa, bahkan jadi agresif.
"Karena kebencian merusak otak, kebencian tidak boleh terjadi masif. Kebencian itu menular dan berlaku bak bola salju sehingga bisa menimbulkan malapetaka," ucapnya.
Di sisi lain, pembeda antara ujaran kebencian dan kebebasan berpendapat adalah motifnya. Ujaran kebencian selalu dilandasi rasa benci serta semangat permusuhan dan merupakan perilaku kompulsif yang terjadi berulang-ulang. Kelompok yang disasar pembenci selalu salah, tidak pernah benar.
Sementara kebebasan berpendapat merupakan sikap kritis pada kelompok tertentu secara obyektif. Benar dan salah adalah dua hal yang bisa melekat pada siapa pun. "Meski tampilan lahiriahnya sama, kebebasan berpendapat lebih positif," ujarnya.
Kompas, Minggu, 29 Januari 2016

Sunday, 22 January 2017

Pemutihan Terumbu Karang Terus Meluas

JAKARTA, KOMPAS — Pemutihan karang melanda sekitar dua pertiga terumbu karang di Indonesia sepanjang tahun 2016. Kombinasi El Nino dan pemanasan global penyebab utamanya, selain faktor antropogenik rusaknya kawasan perairan.
“Kawasan terbanyak pemutihan karang adalah Nusa Tenggara, Bali, dan selatan Jawa. Juga di Sumatera, seperti Mentawai, Nias, Tapanuli Tengah, serta perairan Sulawesi dan Kalimantan,” kata M Abrar, peneliti terumbu karang pada Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, Jumat (20/1). Mayoritas karang itu kemudian mati.
Pemantauan di beberapa lokasi, kata Abrar, terjadi penurunan tutupan karang 10-40 persen. “Terjadi hampir di semua kedalaman. Bahkan, sampai kedalaman 25 meter,” ujarnya.
Seperti dilaporkan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), suhu Bumi tahun 2015 dan 2016 mencapai kenaikan tertinggi, yaitu 1,1 derajat celsius dibandingkan periode prarevolusi industri (1850-1899). Itu diikuti kenaikan suhu air laut. “Pemutihan hingga kedalaman 25 meter menunjukkan kenaikan suhu ekstrem di laut tak hanya permukaan,” ujarnya.
Sejumlah penelitian menyebutka, terumbu karang sensitif perubahan lingkungan dan suhu air. Pemutihan karang menandai hilangnya alga simbiotiknya, zooxanthellae. Tanpa pigmen warna itu, karang tak bisa hidup lama.
Karang cenderung memutih jika suhu meningkat tajam dalam waktu singkat atau meningkat perlahan-lahan. Perubahan salinitas tiba-tiba, kekurangan cahaya lama, dan penyakit juga bisa menyebabkan kematian karang.
Semakin intens
Ketua Kelompok Kebijakan Perubahan Iklim Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Anastasia Kuswardhani mengatakan, laporan terjadinya pemutihan karang sepanjang tahun 2016 memang banyak. “Kami masih mengkaji karena perubahan iklim atau lebih faktor antropogenik atau kerusakan lingkungan lokal,” kata dia.
Pemantauan perubahan suhu laut di lokasi pemutihan karang belum ada dalam rentang waktu panjang. “Pendataan baru dilakukan sehingga sulit menyimpulkan apakah ini dampak perubahan iklim,” ujarnya.
Baru-baru ini, Australia melaporkan pemutihan koral hingga 93 persen di Great Barrier Reef, ekosistem koral terluas di dunia, 300.000 kilometer persegi yang ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO. “Perairan Australia lebih rentan terdampak perubahan iklim. Di Indonesia memang ada tren kenaikan suhu air laut, tetapi lebih stabil dibandingkan negara lain, seperti Australia,” kata Anastasia.
Menurut Anastasia, penyebab pemutihan terumbu karang tak hanya perubahan suhu, tetapi banyak faktor manusia, seperti sedimentasi, polusi, dan penangkapan ikan dengan bahan peledak. Di Raja Ampat, Papua Barat, keragaman terumbu karang terkaya di dunia selamat dari pemutihan tahun 2016.
Koordinator Program Pengawasan dan Evaluasi The Nature Conservancy Raja Ampat Awaludinnoer mengatakan, “Raja Ampat memang dapat dua kali peringatan NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) tentang ancaman pemutihan karang. Namun, tak terjadi. Saya kira faktor pengelolaan lingkungan turut menyelamatkan di Raja Ampat,” tuturnya.
Meski demikian, tren kenaikan suhu perairan tetap bisa berdampak di Raja Ampat. “Ada kecenderungan pemutihan karang  di Indonesia kian sering dan meluas,” ujarnya. (AIK)
Kompas, Sabtu, 21 Januari 2017

Suhu Indonesia Terus Naik

JAKARTA, KOMPAS — Selaras dengan rekor tahun 2016 sebagai tahun terpanas global sepanjang sejarah, suhu rata-rata di Indonesia konsisten meningkat. Dengan tidak adanya El Nino seperti pada 2015, pecahnya rekor tahun terpanas di 2016 menunjukkan efek gas rumah kaca sebagai pemeran utama kenaikan suhu.
Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), suhu rata-rata Indonesia pada 2016 lebih tinggi 1,2 derajat celsius dibandingkan normalnya, berdasar rata-rata suhu 1981-2010. Itu melampaui rata-rata anomali suhu 2015 sebesar 1 derajat celsius dibandingkan normalnya.
Di sisi lain, Indonesia tahun 2016 tak seperti 2015 yang dilanda kekeringan karena El Nino, fenomena menghangatnya suhu muka laut Samudra Pasifik area khatulistiwa, yang memicu curah hujan minim. “Berarti, efek gas rumah kaca (GRK) paling berpengaruh membuat rekor suhu terpanas selalu pecah dari tahun ke tahun,” kata Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklom BMKG Dodo Gunawan, Jumat (20/1).
Dodo mencontohkan, kadar karbon dioksida di atmosfer Jakarta, Jumat kemarin, menembus angka 450 bagian per sejuta (ppm), yang berarti ada 450 molekul karbon dioksida per 1 juta molekul atmosfer. Dalam konteks perubahan iklim, jika volume gas rumah kaca secara global mencapai 450 ppm, suhu bumi bertambah 2 derajat celsius.
Emisi gas karbon di wilayah barat Indonesia melalui pengukuran di Stasiun Pemantau Atmosfer Global (GAW) Bukit Kototabang, Sumatera Barat, pun menunjukkan tren peningkatan dan belum ada tanda-tanda stabil di angka tertentu. Dodo menuturkan, kadar CO2 pada 2004 terpantau masih pada kisaran angka 370-an ppm, kemudian pada 2016 di kisaran 390 ppm.
Dari data anomali suhu pada 2016, provinsi dengan kenaikan suhu tertinggi, yaitu Yogyakarta, mencapai 2,5 derajat celsius dibandingkan normalnya, disusul Bali (2 derajat celsius).
Karena itu, kata Dodo, salah satu strategi memitigasi kenaikan suhu adalah menekan emisi GRK lewat penyesuaian pada aktivitas sehari-hari. Gas rumah kaca berdampak lebih besar dibandingkan fenomena alam semacam El Nino, tetapi sekaligus yang paling bisa diintervensi manusia.
Indonesia berjanji menurunkan emisi GRK hingga 29 persen dibandingkan kondisi tanpa intervensi pada 2030. Dengan kerja sama luar negeri, pemerintah siap menurunkan 41 persen.
Menanggapi itu, Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian LHK Nur Masripatin mengatakan, pemerintah menggalakkan mitigasi pengurangan emisi, terutama di sektor energi dan penggunaan lahan. (JOG)
Kompas, Sabtu, 21 Januari 2017

Jerusalem

Dari Awal Mula
Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Keinginan presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, untuk memindahkan Kedutaan Besar AS di Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem telah memberikan pertanda awal akan matinya proses perdamaian Timur Tengah. Karena itu, adalah sangat masuk akal kalau para wakil dari 70 negara yang menghadiri Konferensi Perdamaian Timur Tengah di Paris, Perancis, mengingatkan kepada Trump bahwa solusi dua-negara merupakan cara terbaik untuk mengakhiri konflik antara Palestina dan Israel, yang sudah menembus zaman.
jerusalem.jpg
Pemandangan Dome of the Rock di kompleks Al-Aqsa di Jerusalem, Palestina. (Sean Pavone)
Peringatan itu berarti bahwa AS—dalam hal ini Trump—tidak bisa secara sepihak menyatakan bahwa Jerusalem sebagai sepenuhnya milik Israel. Oleh karena, dengan akan memindahkan Kedutaan AS dari Tel Aviv ke Jerusalem, berarti AS ”akan” mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Selama ini, baik Israel maupun Palestina sama-sama mengklaim sebagai yang berhak atas Jerusalem.
Dalam solusi dua-negara, Jerusalem ”hanyalah” salah satu—meskipun yang paling penting—dari sederet persoalan yang harus diselesaikan. Masalah lain menyangkut batas wilayah, keamanan, pengungsi, permukiman, dan juga hak-hak atas air. Harus diakui, kesemua masalah tersebut belum berhasil diselesaikan secara tuntas. Kesepakatan menyangkut batas wilayah yang tertuang di dalam Kesepakatan Oslo 1993 tidak bisa berjalan sepenuhnya. Solusi dua-negara juga mengandaikan bahwa kedua negara—Israel dan Palestina—dapat hidup berdampingan secara damai, saling mengakui kedaulatan dan kemerdekaan pihak lain.
Khusus tentang Jerusalem, lebih pelik lagi. Status Jerusalem hingga kini masih menjadi sumber konflik. Karena itu, Jerusalem menjadi ”jantung” konflik Israel dan Palestina. Kedua belah pihak mengakui, Jerusalem sebagai isu utama dan sumber utama legitimasi politik. Tanpa adanya penyelesaian Jerusalem, konflik kedua belah pihak tak akan dapat diselesaikan.
Dalam rumusan lain dikatakan, tidak akan ada resolusi mengenai konflik Israel-Palestina atau Israel-Arab yang dapat berjalan dan memberikan hasil tanpa solusi konsensual dan masuk akal mengenai masalah Jerusalem (Amnon Ramon, ed: 2010). Dengan kata lain, berakhir tidaknya konflik di kawasan itu akan sangat bergantung pada penyelesaian masalah Jerusalem. Hal itu menegaskan betapa sentralnya isu Jerusalem dalam penyelesaian konflik Arab-Israel atau Palestina-Israel.
Ditambah lagi, Jerusalem memiliki arti penting bagi tiga agama Abrahamik: Yahudi, Kristen, dan Muslim. Hal tersebut juga memberikan sumbangan semakin peliknya penyelesaian masalah Jerusalem. Karena itu, penyelesaian masalah Jerusalem harus mempertimbangkan kepentingan banyak orang dari berbagai agama, yang menempatkan Jerusalem sebagai Kota Suci, kota penting, tetapi tidak tinggal di kota tersebut.
Usulan untuk menyelesaikan masalah Jerusalem, sejak awal abad ke-20, sudah diajukan banyak pihak. Tetapi, tidak satu pun yang memberikan hasil. Pada dasarnya, ada tiga aspek konflik di Jerusalem: pertama, menyangkut masalah kedaulatan; kedua, berkaitan dengan masalah manajemen dan kontrol atas tempat-tempat suci; dan ketiga, menyangkut yurisdiksi dan administrasi kota.
1927392trump-netanyahu780x390.jpg
Donald Trump dan Benjamin Netanyahu. (EPA/The Independent)
Siapa yang berhak atas kedaulatan Jerusalem? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Yang pasti, baik Israel maupun Palestina sama-sama mengklaim sebagai yang berdaulat atas Kota Suci itu. Israel mengklaim sebagai yang berhak atas kedaulatan seluruh wilayah Jerusalem; Palestina berusaha untuk mendapatkan wilayah Jerusalem Timur yang mayoritas penduduknya adalah orang Arab, dan akan menjadikannya sebagai ibu kota. Selama perbedaan itu tidak terselesaikan, konflik pun akan terus berlanjut. (BERSAMBUNG)
Internasionalisasi Status
Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Sejarah Jerusalem, demikian panjang. Sepanjang sejarah itu pula konflik membelit kota yang, menurut catatan sejarah, didirikan oleh orang-orang Kanaan pada 1800 SM. Sekitar delapan abad kemudian direbut oleh Daud; dihancurkan oleh orang-orang Babilon pada kira-kira tahun 587 SM. Setelah itu, Jerusalem seperti piala bergilir, direbut dan diduduki oleh orang-orang Persia, Yunani, Romawi, Arab, dan Turki (Trias Kuncahyono: 2008).
1916368jerusalemm780x390.jpg
Dome of Rock, kubah Masjid Umar. (Kompas/Trias Kuncahyono)
Pada masa pemerintahan Turki, Jerusalem memperoleh status administratif khusus. Regulasi Administratif 1877-1888 mengakui Jerusalem dan daerah sekelilingnya memiliki status ”otonomi” atau ”independen”. Akan tetapi, status otonomi itu tidak dalam arti yang sebenarnya, hanya Jerusalem memiliki hubungan langsung dengan pusat pemerintahan Turki Ottoman, yakni Konstantinopel, dan tidak di bawah gubernur.
Setelah Perang Dunia I berakhir dan Ottoman kalah, Jerusalem dikuasai Inggris atas nama Sekutu. Menurut kesepakatan perdamaian, Palestina diambil dari kekuasaan Ottoman dan di- serahkan kepada Pemerintah Inggris di bawah mandat yang di- berikan Liga Bangsa-Bangsa. Inilah yang disebut sebagai Mandat Inggris (1922-1948). Jerusalem sebagai ibu kota Palestina.
Setahun sebelum mandat berakhir, pada 29 November 1947, Majelis Umum PBB menerbitkan resolusi pembentukan negara Arab dan Yahudi di Palestina serta internasionalisasi Jerusalem. Inilah yang disebut Resolusi 181 tentang Rencana Pembagian Palestina (UN Partition Plan for Palestine).
Begitu Mandat Inggris dihentikan, kaum Yahudi memproklamasikan negara Yahudi dengan nama Israel, 14 Mei 1948. Namun, tak satu negara Arab pun mengakui proklamasi Israel itu karena mereka menentang Pembagian Palestina (Resolusi 181). Resolusi itu didukung oleh 33 suara, 13 menentang, 10 suara kosong, dan 1 abstain.
Menurut Resolusi 181, Jerusalem dinyatakan sebagai corpus separatum (entitas terpisah). Artinya, tidak menjadi bagian Arab ataupun Israel. Jerusalem, dengan demikian, ada di bawah rezim internasional khusus dan dikelola oleh Dewan Perwalian atas nama PBB. Tentang status Jerusalem sebagai corpus separatum itu ditegaskan kembali oleh Majelis Umum PBB lewat Resolusi 303 (1949).
Yang masuk dalam corpus separatum itu adalah wilayah Jerusalem dan daerah sekeliling Jerusalam yang terdiri dari Bethlehem dan Ain Karem. Status corpus separatum pertama kali diberlakukan atas kota Fiume dalam Kekaisaran Hapsburg pada 1776 oleh Putri Maria Theresa dari Austria.
Sementara itu, tentang internasionalisasi Jerusalem (Resolusi 181), kedua belah pihak tidak memedulikannya. Karena, setelah proklamasi Israel (yang di mata Arab adalah awal penjajahan) langsung terlibat peperangan. Tetapi, Jerusalem secara militer diduduki oleh Jordania. Kekuasaan Jordania ini berakhir setelah Perang 1967 karena Jerusalem Timur (Kota Lama) direbut Israel. Sejak saat itu, Jerusalem secara keseluruhan di bawah kekuasaan Israel.
Setelah menganeksasi kedua wilayah—Jerusalem Timur (Kota Lama) dan Jerusalem Barat (Kota Baru)—Israel mengubah demografi, fisik, karakter sejarah, dan beberapa langkah yang melanggar status hukum Jerusalem, hukum internasional, dan resolusi PBB. Puncaknya, pelanggaran itu dilakukan pada 30 Juli 1980 ketika Israel menyatakan Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Tindakan itu dikecam Dewan Keamanan PBB dalam Resolusi 478 (20 Agustus 1980), dikecam oleh Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dalam pertemuan di Fez, Maroko (20 September 1980), dan juga oleh opini dunia (Henry Cattan: 1980). Keputusan Israel itu telah mengobarkan ketegangan serta mengancam perdamaian dan keamanan. (BERSAMBUNG)
Setelah Tahun 1967
Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Perang Enam Hari 1967, mulai tanggal 5 Juni hingga 10 Juni, dan akhir dari perang itu berdampak besar terhadap perdamaian Timur Tengah. Perang yang terjadi 50 tahun silam itu telah mengubah, sekurang-kurangnya, peta Timur Tengah. Di akhir perang, Israel merebut Semenanjung Sinai dan Jalur Gaza dari Mesir, Dataran Tinggi Golan dari Suriah, dan Tepi Barat serta Jerusalem Timur dari Jordania.
1927030tembok-ratapan780x390.jpg
Tembok Ratapan. (Kompas/Trias Kuncahyono)
Semenanjung Sinai sudah dikembalikan kepada Mesir lewat Perjanjian Camp David. Jalur Gaza menjadi wilayah Palestina. Dataran Tinggi Golan masih dikuasai Israel. Tepi Barat sebagian masih dikangkangi Israel, sementara Jerusalem timur sepenuhnya masih dalam kekuasaan Israel.
Dengan demikian, di akhir perang, Jerusalem sepenuhnya dikuasai Israel. Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB mengecam pendudukan Israel dan aneksasi atas Jerusalem timur. Kedua lembaga PBB itu juga menyatakan bahwa tindakan yang diambil Israel melanggar status Jerusalem.
Lewat resolusi-resolusinya, Majelis Umum PBB dan DK PBB meneriakkan tentang ”status Jerusalem” atau ”status hukum Jerusalem”. Lewat Resolusi Nomor 252 (21 Mei 1968), DK PBB menyerukan Israel menghentikan langkahnya menyatukan Jerusalem (ada di bawah kekuasaannya). Tentang status hukum Jerusalem juga dinyatakan dalam Resolusi 32/5 (28 Oktober 1977) yang diterbitkan Majelis Umum PBB.
Sementara tentang ”status khusus Jerusalem” disebut dalam Resolusi DK PBB No 452 (20 Juli 1979), No 465 (1 Maret 1980), dan No 476 (30 Juni 1980). Sejak resolusi pertama yang dikeluarkan Majelis Umum PBB, yakni Resolusi 181 (1947), hingga tahun 2010, PBB sekurang-kurangnya sudah menerbitkan 18 resolusi tentang Jerusalem. Akan tetapi, resolusi-resolusi itu seakan berlalu begitu saja, dibawa angin ke gurun, dan Israel sama sekali tak mengindahkannya. Dan, tidak ada konsekuensi apa-apa yang menimpa Israel karena tidak memedulikan resolusi-resolusi itu.
Yang terjadi justru sebaliknya. Setelah aneksasi Jerusalem timur (1967), luas wilayah Jerusalem yang dikuasai Israel bertambah hampir tiga kali lipat, dari 38 kilometer persegi menjadi 108 kilometer persegi, termasuk 71 kilometer persegi tanah Palestina yang diduduki. Selain itu, jumlah orang Yahudi yang tinggal di Jerusalem dan wilayah pendudukan pun terus bertambah. Penduduk Jerusalem timur bertambah dari 0 pada Mei 1967 menjadi 181.457 jiwa pada 2006 (Ziad Abuzayyad, Hillel Schenker, dan Ingrid Ross: 2013); tahun 2016, tentu bertambah banyak karena kebijakan pembangunan permukiman baru (data terakhir, 2016, jumlah penduduk Jerusalem 865.721 jiwa, terdiri dari 64 persen Yahudi, 35 persen Arab, dan lain-lain 1 persen).
Upaya untuk menyelesaikan masalah Jerusalem terus dilakukan meski dalam Perjanjian Camp David 1978 tidak dibahas. Hanya, dalam perjanjian itu, dikatakan akan dibahas secara terpisah. Baru pada Perjanjian Oslo 1 (1993), masalah Jerusalem dibahas; juga dalam Deklarasi Washington 1994; Kesepakatan Sementara Israel-Palestina (1995), Rencana Perdamaian Arab Saudi (2002), ”Roadmap” Kuartet (2003), dan sejumlah usulan perdamaian. Akan tetapi, semuanya belum menghasilkan kesepakatan tentang status akhir Jerusalem. (BERSAMBUNG)
Jalan Masih Panjang
Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Sudah demikian banyak perundingan tentang Jerusalem, sidang-sidang yang membahas Jerusalem, dan seruan-seruan atau imbauan-imbauan untuk penyelesaian masalah Jerusalem. Akan tetapi, membicarakan masalah pembagian Jerusalem atau mungkin lebih tepat penyelesaian status Jerusalem lebih mudah dibandingkan dengan pelaksanaannya.
1913127Aba780x390.jpg
Pemimpin Palestina Mahmoud Abbas (kiri) mengatakan pemindahan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Jerusalem 'akan langsung mematikan upaya perdamaian Timur Tengah'. Ini ia sampaikan usai bertemu Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik Sedunia, Paus Fransiskus, Sabtu (14/1/2017). Vatikan mengakui negara Palestina 1,5 tahun lalu. (EPA/BBC)
Pembagian (kalau hendak dibagi) Jerusalem—menjadi bagian Israel dan bagian Palestina—sulit untuk dilaksanakan karena peta demografi tidak mudah diubah menjadi peta politik (Alan Dershowitz: 2005). Secara demografis dan geografis, Jerusalem memang sudah terbagi. Ada wilayah yang dihuni orang Yahudi; ada wilayah yang dihuni orang Palestina. Jerusalem juga sulit dibagi karena ketiga agama besar—Yahudi, Kristen, dan Islam—memiliki tempat-tempat suci di kota itu. Yang perlu dicatat, tempat-tempat penting dan suci ketiga agama itu letaknya berdekatan satu sama lain.
Meskipun banyak proposal untuk merundingkan masalah Jerusalem, setiap rencana yang disepakati untuk menyelesaikan status Kota Suci itu selalu ditentang oleh para perunding selanjutnya. Di pihak Israel, ada paradoks dalam posisi resminya. Di Perjanjian Oslo (1993) disepakati bahwa Jerusalem menjadi salah satu subyek perundingan akhir permanen antara Israel dan Palestina. Akan tetapi, Perdana Menteri Yitzhak Rabin dalam pidatonya di Knesset (Oktober 1995) menyatakan bahwa Jerusalem adalah tetap bersatu di bawah kedaulatan Israel (Alan Baker: 2013).
Sikap dan pendirian seperti itu, tentu, menjadi penghambat terciptanya perdamaian atau sekurang-kurangnya tercapainya kesepakatan antara Israel dan Palestina. Itu karena sikap Palestina jelas: menjadikan Jerusalem timur (yang direbut Israel pada Perang 1967) menjadi ibu kota Palestina pada masa depan.
Usaha pertama untuk menyelesaikan masalah Jerusalem dilakukan tahun 1947, yakni dengan dibentuknya Komite Khusus PBB tentang Palestina (UNSCOP), yang beranggotakan 11 orang. Akan tetapi, mereka tidak berhasil menyelesaikan masalah Palestina. Dan, tentang Jerusalem, tim merekomendasikan agar Jerusalem dijadikan kota internasional. Laporan tim ini yang kemudian diadopsi menjadi Resolusi 181 (II). Tiga tahun kemudian, Dewan Perwalian PBB (yang ditetapkan berdasarkan Resolusi 181), 4 April 1950, mengesahkan Undang-Undang Kota Jerusalem. Dalam pembukaan UU itu secara tegas disebutkan, Jerusalem sebagai corpus separatum (entitas terpisah) di bawah Rezim Internasional Khusus dan seyogianya diurus PBB. Pernyataan dalam pembukaan itu ditegaskan dalam Pasal 1: ”Undang-undang yang baru sekarang ini menegaskan Rezim Internasional Khusus bagi Kota Jerusalem dan mengangkatnya sebagai corpus separatum di bawah pemerintah PBB” (Trias Kuncahyono: 2008).
Sejak itu, nyaris tidak ada lagi pembahasan yang serius untuk menyelesaikan masalah Jerusalem meski dalam beberapa perundingan disinggung. Baru pada 15 Februari 2000, Takhta Suci dan PLO memperkenalkan ”Kesepakatan Mendasar” mereka untuk meminta ”Statuta Internasional Terjamin” untuk mempertahankan Jerusalem tetap di bawah kontrol internasional sesuai dengan hukum internasional (Maurizio Scaini: 2001). Hal-hal yang disoroti antara lain soal kebebasan akses ke tempat-tempat suci dan tempat-tempat ibadah lainnya; kebebasan beragama bagi semua orang, kesamaan hukum bagi tiga agama monolitik, dan institusi-institusinya serta status para pengikutnya.
Sampai di sini Jerusalem dibahas dan belum menunjukkan titik-titik terang. Apakah status Jerusalem sungguh-sungguh tidak bisa dirundingkan? Itulah pertanyaannya. (HABIS)
Kompas, Rabu-Sabtu, 18-21 Januari 2017

Thursday, 19 January 2017

Media Asosial

Rezim digital itu memang ambigu. Satu sisi pertanda revolusi teknologi informasi yang menghubungkan umat manusia di Bumi, tanpa batas waktu dan teritori. Di sisi lain, senyampang revolusi teknologi itu, publik bukan semakin tercerahkan di titik puncak peradaban, melainkan justru melahirkan generasi yang semakin tak memiliki karakter berkeadaban.
Demokrasi digital dengan media sosialnya justru melahirkan anomali. Agresivitas dan kekasaran di dunia maya, ujar psikolog internet Graham Jones, antara lain karena anonimitas, yang bersuara keras tanpa ada risiko langsung. Kalau dunia nyata, ketika Anda ngomong seenaknya dan membuat jengkel lawan bicara, mungkin langsung disambut bogem mentah oleh lawan bicara Anda. Di dunia maya tidak ada mekanisme umpan balik adaptasi aksi-reaksi perilaku seperti itu.
Lebih lanjut, psikolog John Suller (Martin, 2013) menyebut enam hal yang mengubah perilaku pengguna internet, yaitu dissociative anonimity (Anda tidak tahu saya), invisibility (Anda tidak bisa lihat saya), asynchronicity (urusan nanti saja), solipsistic introjection (semua ada di kepala, tak ada orang lain), dissociative imagination (bukan dunia nyata, cuma permainan), minimizing authority (tak ada otoritas lebih, semua setara).
Media sosial pun semakin disesaki dengan komunikasi negatif, meniadakan kepedulian sesama. Interaksi sosial tidak terbangun positif. Ah, media sosial pun menjelma menjadi media asosial….
M SUBHAN SD, Media Asosial, Kompas, Kamis, 19 Januari 2017

Foto Korban Kekerasan Tidak untuk Disebarluaskan

Oleh LARASWATI ARIADNE ANWAR
Selain berita palsu, foto-foto korban kekerasan merupakan konten yang juga sering disebarluaskan di media sosial serta grup Whatsapp dan Blackberry Messenger. Semakin mengenaskan, saat korban kekerasan itu adalah anak-anak dan perempuan, semakin banyak pula orang yang menyukai dan menyebarkan fotonya.
Umumnya foto korban kekerasan disertai keterangan berbunyi “orangtua harus hati-hati agar anaknya tidak menjadi korban seperti anak di foto ini” atau “kasihan sekali, anak ini menjadi korban kekerasan”.
“Niatnya adalah meminta orang-orang di media sosial agar menjaga anak-anak ataupun diri mereka, tetapi yang terjadi malah si pengunggah konten menjadi penyebar kekerasan visual,” kata psikolog anak dari Universitas Indonesia, Rose Mini, di Jakarta, Minggu (15/1).
Ia menilai, penyebab utama penyebaran foto korban kekerasan terletak pada sifat manusia yang selalu ingin menjadi yang pertama. Orang ingin menjadi yang pertama dalam mengetahui, menyebarkan informasi, serta berkomentar. Hal ini mengakibatkan netizen tidak bijak saat memilih dan memilah informasi untuk disebarkan. Dengan kata lain, tindakan mengunggah foto korban kekerasan lebih bermotif sensasionalitas ketimbang kehendak saling mengingatkan.
“Bayangkan jika keluarga, kerabat, dan teman korban melihat unggahan itu. Hal ini menambah trauma yang sudah mereka alami,” kata Rose. Sering kali, menurut dia, penyebar foto korban tidak memahami dampak negatif unggahan karena ia tidak merasakannya sendiri.
Rose menyarankan, apabila berniat mengimbau masyarakat agar berhati-hati dalam melindungi anak, netizen cukup melakukannya dengan mengunggah pesan. Netizen tak perlu menyertakan foto karena melanggar privasi korban dan keluarga.
Penyebaran foto juga menambah penyebaran kekerasan visual. Masyarakat bisa kehilangan kepekaan ketika dihadapkan pada situasi tidak manusiawi yang sesungguhnya.
Foto anak
Selain korban kekerasan, Rose juga mengamati, banyak orang menyebarluaskan foto anak karena lucu dan menggemaskan. Tindakan ini dinilai berbahaya karena dapat menjadi pintu masuk bagi predator yang mengancam keselamatan anak.
“Alasan yang sering dipakai pengunggah ialah hanya ingin dibagi kepada mereka yang dikenalnya, yang jumlahnya mencapai puluhan atau ratusan orang. Masalahnya, sikap setiap orang yang melihat unggahan itu tidak diketahui,” ujar Rose.
Pidana
Pada kesempatan terpisah, Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pribudiarta Nur Sitepu memaparkan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menegaskan pada Pasal 19 bahwa tak seorang pun boleh menyebarluaskan foto ataupun identitas korban kekerasan, identitas keluarga korban, identitas pelaku kekerasan yang masih berusia anak, serta identitas keluarga pelaku.
“Pada Pasal 97 dicantumkan, pelanggar aturan tersebut akan dipidana 5 tahun penjara. Oleh sebab itu, wartawan media arus utama ataupun netizen di media sosial hendaknya bijak dalam bertindak,” ucapnya.
Kompas, Kamis, 19 Januari 2017