Dari Awal Mula
Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Keinginan presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, untuk memindahkan Kedutaan Besar AS di Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem telah memberikan pertanda awal akan matinya proses perdamaian Timur Tengah. Karena itu, adalah sangat masuk akal kalau para wakil dari 70 negara yang menghadiri Konferensi Perdamaian Timur Tengah di Paris, Perancis, mengingatkan kepada Trump bahwa solusi dua-negara merupakan cara terbaik untuk mengakhiri konflik antara Palestina dan Israel, yang sudah menembus zaman.
Pemandangan Dome of the Rock di kompleks Al-Aqsa di Jerusalem, Palestina. (Sean Pavone)
Peringatan itu berarti bahwa AS—dalam hal ini Trump—tidak bisa secara sepihak menyatakan bahwa Jerusalem sebagai sepenuhnya milik Israel. Oleh karena, dengan akan memindahkan Kedutaan AS dari Tel Aviv ke Jerusalem, berarti AS ”akan” mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Selama ini, baik Israel maupun Palestina sama-sama mengklaim sebagai yang berhak atas Jerusalem.
Dalam solusi dua-negara, Jerusalem ”hanyalah” salah satu—meskipun yang paling penting—dari sederet persoalan yang harus diselesaikan. Masalah lain menyangkut batas wilayah, keamanan, pengungsi, permukiman, dan juga hak-hak atas air. Harus diakui, kesemua masalah tersebut belum berhasil diselesaikan secara tuntas. Kesepakatan menyangkut batas wilayah yang tertuang di dalam Kesepakatan Oslo 1993 tidak bisa berjalan sepenuhnya. Solusi dua-negara juga mengandaikan bahwa kedua negara—Israel dan Palestina—dapat hidup berdampingan secara damai, saling mengakui kedaulatan dan kemerdekaan pihak lain.
Khusus tentang Jerusalem, lebih pelik lagi. Status Jerusalem hingga kini masih menjadi sumber konflik. Karena itu, Jerusalem menjadi ”jantung” konflik Israel dan Palestina. Kedua belah pihak mengakui, Jerusalem sebagai isu utama dan sumber utama legitimasi politik. Tanpa adanya penyelesaian Jerusalem, konflik kedua belah pihak tak akan dapat diselesaikan.
Dalam rumusan lain dikatakan, tidak akan ada resolusi mengenai konflik Israel-Palestina atau Israel-Arab yang dapat berjalan dan memberikan hasil tanpa solusi konsensual dan masuk akal mengenai masalah Jerusalem (Amnon Ramon, ed: 2010). Dengan kata lain, berakhir tidaknya konflik di kawasan itu akan sangat bergantung pada penyelesaian masalah Jerusalem. Hal itu menegaskan betapa sentralnya isu Jerusalem dalam penyelesaian konflik Arab-Israel atau Palestina-Israel.
Ditambah lagi, Jerusalem memiliki arti penting bagi tiga agama Abrahamik: Yahudi, Kristen, dan Muslim. Hal tersebut juga memberikan sumbangan semakin peliknya penyelesaian masalah Jerusalem. Karena itu, penyelesaian masalah Jerusalem harus mempertimbangkan kepentingan banyak orang dari berbagai agama, yang menempatkan Jerusalem sebagai Kota Suci, kota penting, tetapi tidak tinggal di kota tersebut.
Usulan untuk menyelesaikan masalah Jerusalem, sejak awal abad ke-20, sudah diajukan banyak pihak. Tetapi, tidak satu pun yang memberikan hasil. Pada dasarnya, ada tiga aspek konflik di Jerusalem: pertama, menyangkut masalah kedaulatan; kedua, berkaitan dengan masalah manajemen dan kontrol atas tempat-tempat suci; dan ketiga, menyangkut yurisdiksi dan administrasi kota.
Donald Trump dan Benjamin Netanyahu. (EPA/The Independent)
Siapa yang berhak atas kedaulatan Jerusalem? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Yang pasti, baik Israel maupun Palestina sama-sama mengklaim sebagai yang berdaulat atas Kota Suci itu. Israel mengklaim sebagai yang berhak atas kedaulatan seluruh wilayah Jerusalem; Palestina berusaha untuk mendapatkan wilayah Jerusalem Timur yang mayoritas penduduknya adalah orang Arab, dan akan menjadikannya sebagai ibu kota. Selama perbedaan itu tidak terselesaikan, konflik pun akan terus berlanjut. (BERSAMBUNG)
Internasionalisasi Status
Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Sejarah Jerusalem, demikian panjang. Sepanjang sejarah itu pula konflik membelit kota yang, menurut catatan sejarah, didirikan oleh orang-orang Kanaan pada 1800 SM. Sekitar delapan abad kemudian direbut oleh Daud; dihancurkan oleh orang-orang Babilon pada kira-kira tahun 587 SM. Setelah itu, Jerusalem seperti piala bergilir, direbut dan diduduki oleh orang-orang Persia, Yunani, Romawi, Arab, dan Turki (Trias Kuncahyono: 2008).
Dome of Rock, kubah Masjid Umar. (Kompas/Trias Kuncahyono)
Pada masa pemerintahan Turki, Jerusalem memperoleh status administratif khusus. Regulasi Administratif 1877-1888 mengakui Jerusalem dan daerah sekelilingnya memiliki status ”otonomi” atau ”independen”. Akan tetapi, status otonomi itu tidak dalam arti yang sebenarnya, hanya Jerusalem memiliki hubungan langsung dengan pusat pemerintahan Turki Ottoman, yakni Konstantinopel, dan tidak di bawah gubernur.
Setelah Perang Dunia I berakhir dan Ottoman kalah, Jerusalem dikuasai Inggris atas nama Sekutu. Menurut kesepakatan perdamaian, Palestina diambil dari kekuasaan Ottoman dan di- serahkan kepada Pemerintah Inggris di bawah mandat yang di- berikan Liga Bangsa-Bangsa. Inilah yang disebut sebagai Mandat Inggris (1922-1948). Jerusalem sebagai ibu kota Palestina.
Setahun sebelum mandat berakhir, pada 29 November 1947, Majelis Umum PBB menerbitkan resolusi pembentukan negara Arab dan Yahudi di Palestina serta internasionalisasi Jerusalem. Inilah yang disebut Resolusi 181 tentang Rencana Pembagian Palestina (UN Partition Plan for Palestine).
Begitu Mandat Inggris dihentikan, kaum Yahudi memproklamasikan negara Yahudi dengan nama Israel, 14 Mei 1948. Namun, tak satu negara Arab pun mengakui proklamasi Israel itu karena mereka menentang Pembagian Palestina (Resolusi 181). Resolusi itu didukung oleh 33 suara, 13 menentang, 10 suara kosong, dan 1 abstain.
Menurut Resolusi 181, Jerusalem dinyatakan sebagai corpus separatum (entitas terpisah). Artinya, tidak menjadi bagian Arab ataupun Israel. Jerusalem, dengan demikian, ada di bawah rezim internasional khusus dan dikelola oleh Dewan Perwalian atas nama PBB. Tentang status Jerusalem sebagai corpus separatum itu ditegaskan kembali oleh Majelis Umum PBB lewat Resolusi 303 (1949).
Yang masuk dalam corpus separatum itu adalah wilayah Jerusalem dan daerah sekeliling Jerusalam yang terdiri dari Bethlehem dan Ain Karem. Status corpus separatum pertama kali diberlakukan atas kota Fiume dalam Kekaisaran Hapsburg pada 1776 oleh Putri Maria Theresa dari Austria.
Sementara itu, tentang internasionalisasi Jerusalem (Resolusi 181), kedua belah pihak tidak memedulikannya. Karena, setelah proklamasi Israel (yang di mata Arab adalah awal penjajahan) langsung terlibat peperangan. Tetapi, Jerusalem secara militer diduduki oleh Jordania. Kekuasaan Jordania ini berakhir setelah Perang 1967 karena Jerusalem Timur (Kota Lama) direbut Israel. Sejak saat itu, Jerusalem secara keseluruhan di bawah kekuasaan Israel.
Setelah menganeksasi kedua wilayah—Jerusalem Timur (Kota Lama) dan Jerusalem Barat (Kota Baru)—Israel mengubah demografi, fisik, karakter sejarah, dan beberapa langkah yang melanggar status hukum Jerusalem, hukum internasional, dan resolusi PBB. Puncaknya, pelanggaran itu dilakukan pada 30 Juli 1980 ketika Israel menyatakan Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Tindakan itu dikecam Dewan Keamanan PBB dalam Resolusi 478 (20 Agustus 1980), dikecam oleh Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dalam pertemuan di Fez, Maroko (20 September 1980), dan juga oleh opini dunia (Henry Cattan: 1980). Keputusan Israel itu telah mengobarkan ketegangan serta mengancam perdamaian dan keamanan. (BERSAMBUNG)
Setelah Tahun 1967
Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Perang Enam Hari 1967, mulai tanggal 5 Juni hingga 10 Juni, dan akhir dari perang itu berdampak besar terhadap perdamaian Timur Tengah. Perang yang terjadi 50 tahun silam itu telah mengubah, sekurang-kurangnya, peta Timur Tengah. Di akhir perang, Israel merebut Semenanjung Sinai dan Jalur Gaza dari Mesir, Dataran Tinggi Golan dari Suriah, dan Tepi Barat serta Jerusalem Timur dari Jordania.
Tembok Ratapan. (Kompas/Trias Kuncahyono)
Semenanjung Sinai sudah dikembalikan kepada Mesir lewat Perjanjian Camp David. Jalur Gaza menjadi wilayah Palestina. Dataran Tinggi Golan masih dikuasai Israel. Tepi Barat sebagian masih dikangkangi Israel, sementara Jerusalem timur sepenuhnya masih dalam kekuasaan Israel.
Dengan demikian, di akhir perang, Jerusalem sepenuhnya dikuasai Israel. Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB mengecam pendudukan Israel dan aneksasi atas Jerusalem timur. Kedua lembaga PBB itu juga menyatakan bahwa tindakan yang diambil Israel melanggar status Jerusalem.
Lewat resolusi-resolusinya, Majelis Umum PBB dan DK PBB meneriakkan tentang ”status Jerusalem” atau ”status hukum Jerusalem”. Lewat Resolusi Nomor 252 (21 Mei 1968), DK PBB menyerukan Israel menghentikan langkahnya menyatukan Jerusalem (ada di bawah kekuasaannya). Tentang status hukum Jerusalem juga dinyatakan dalam Resolusi 32/5 (28 Oktober 1977) yang diterbitkan Majelis Umum PBB.
Sementara tentang ”status khusus Jerusalem” disebut dalam Resolusi DK PBB No 452 (20 Juli 1979), No 465 (1 Maret 1980), dan No 476 (30 Juni 1980). Sejak resolusi pertama yang dikeluarkan Majelis Umum PBB, yakni Resolusi 181 (1947), hingga tahun 2010, PBB sekurang-kurangnya sudah menerbitkan 18 resolusi tentang Jerusalem. Akan tetapi, resolusi-resolusi itu seakan berlalu begitu saja, dibawa angin ke gurun, dan Israel sama sekali tak mengindahkannya. Dan, tidak ada konsekuensi apa-apa yang menimpa Israel karena tidak memedulikan resolusi-resolusi itu.
Yang terjadi justru sebaliknya. Setelah aneksasi Jerusalem timur (1967), luas wilayah Jerusalem yang dikuasai Israel bertambah hampir tiga kali lipat, dari 38 kilometer persegi menjadi 108 kilometer persegi, termasuk 71 kilometer persegi tanah Palestina yang diduduki. Selain itu, jumlah orang Yahudi yang tinggal di Jerusalem dan wilayah pendudukan pun terus bertambah. Penduduk Jerusalem timur bertambah dari 0 pada Mei 1967 menjadi 181.457 jiwa pada 2006 (Ziad Abuzayyad, Hillel Schenker, dan Ingrid Ross: 2013); tahun 2016, tentu bertambah banyak karena kebijakan pembangunan permukiman baru (data terakhir, 2016, jumlah penduduk Jerusalem 865.721 jiwa, terdiri dari 64 persen Yahudi, 35 persen Arab, dan lain-lain 1 persen).
Upaya untuk menyelesaikan masalah Jerusalem terus dilakukan meski dalam Perjanjian Camp David 1978 tidak dibahas. Hanya, dalam perjanjian itu, dikatakan akan dibahas secara terpisah. Baru pada Perjanjian Oslo 1 (1993), masalah Jerusalem dibahas; juga dalam Deklarasi Washington 1994; Kesepakatan Sementara Israel-Palestina (1995), Rencana Perdamaian Arab Saudi (2002), ”Roadmap” Kuartet (2003), dan sejumlah usulan perdamaian. Akan tetapi, semuanya belum menghasilkan kesepakatan tentang status akhir Jerusalem. (BERSAMBUNG)
Jalan Masih Panjang
Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Sudah demikian banyak perundingan tentang Jerusalem, sidang-sidang yang membahas Jerusalem, dan seruan-seruan atau imbauan-imbauan untuk penyelesaian masalah Jerusalem. Akan tetapi, membicarakan masalah pembagian Jerusalem atau mungkin lebih tepat penyelesaian status Jerusalem lebih mudah dibandingkan dengan pelaksanaannya.
Pemimpin Palestina Mahmoud Abbas (kiri) mengatakan pemindahan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Jerusalem 'akan langsung mematikan upaya perdamaian Timur Tengah'. Ini ia sampaikan usai bertemu Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik Sedunia, Paus Fransiskus, Sabtu (14/1/2017). Vatikan mengakui negara Palestina 1,5 tahun lalu. (EPA/BBC)
Pembagian (kalau hendak dibagi) Jerusalem—menjadi bagian Israel dan bagian Palestina—sulit untuk dilaksanakan karena peta demografi tidak mudah diubah menjadi peta politik (Alan Dershowitz: 2005). Secara demografis dan geografis, Jerusalem memang sudah terbagi. Ada wilayah yang dihuni orang Yahudi; ada wilayah yang dihuni orang Palestina. Jerusalem juga sulit dibagi karena ketiga agama besar—Yahudi, Kristen, dan Islam—memiliki tempat-tempat suci di kota itu. Yang perlu dicatat, tempat-tempat penting dan suci ketiga agama itu letaknya berdekatan satu sama lain.
Meskipun banyak proposal untuk merundingkan masalah Jerusalem, setiap rencana yang disepakati untuk menyelesaikan status Kota Suci itu selalu ditentang oleh para perunding selanjutnya. Di pihak Israel, ada paradoks dalam posisi resminya. Di Perjanjian Oslo (1993) disepakati bahwa Jerusalem menjadi salah satu subyek perundingan akhir permanen antara Israel dan Palestina. Akan tetapi, Perdana Menteri Yitzhak Rabin dalam pidatonya di Knesset (Oktober 1995) menyatakan bahwa Jerusalem adalah tetap bersatu di bawah kedaulatan Israel (Alan Baker: 2013).
Sikap dan pendirian seperti itu, tentu, menjadi penghambat terciptanya perdamaian atau sekurang-kurangnya tercapainya kesepakatan antara Israel dan Palestina. Itu karena sikap Palestina jelas: menjadikan Jerusalem timur (yang direbut Israel pada Perang 1967) menjadi ibu kota Palestina pada masa depan.
Usaha pertama untuk menyelesaikan masalah Jerusalem dilakukan tahun 1947, yakni dengan dibentuknya Komite Khusus PBB tentang Palestina (UNSCOP), yang beranggotakan 11 orang. Akan tetapi, mereka tidak berhasil menyelesaikan masalah Palestina. Dan, tentang Jerusalem, tim merekomendasikan agar Jerusalem dijadikan kota internasional. Laporan tim ini yang kemudian diadopsi menjadi Resolusi 181 (II). Tiga tahun kemudian, Dewan Perwalian PBB (yang ditetapkan berdasarkan Resolusi 181), 4 April 1950, mengesahkan Undang-Undang Kota Jerusalem. Dalam pembukaan UU itu secara tegas disebutkan, Jerusalem sebagai corpus separatum (entitas terpisah) di bawah Rezim Internasional Khusus dan seyogianya diurus PBB. Pernyataan dalam pembukaan itu ditegaskan dalam Pasal 1: ”Undang-undang yang baru sekarang ini menegaskan Rezim Internasional Khusus bagi Kota Jerusalem dan mengangkatnya sebagai corpus separatum di bawah pemerintah PBB” (Trias Kuncahyono: 2008).
Sejak itu, nyaris tidak ada lagi pembahasan yang serius untuk menyelesaikan masalah Jerusalem meski dalam beberapa perundingan disinggung. Baru pada 15 Februari 2000, Takhta Suci dan PLO memperkenalkan ”Kesepakatan Mendasar” mereka untuk meminta ”Statuta Internasional Terjamin” untuk mempertahankan Jerusalem tetap di bawah kontrol internasional sesuai dengan hukum internasional (Maurizio Scaini: 2001). Hal-hal yang disoroti antara lain soal kebebasan akses ke tempat-tempat suci dan tempat-tempat ibadah lainnya; kebebasan beragama bagi semua orang, kesamaan hukum bagi tiga agama monolitik, dan institusi-institusinya serta status para pengikutnya.
Sampai di sini Jerusalem dibahas dan belum menunjukkan titik-titik terang. Apakah status Jerusalem sungguh-sungguh tidak bisa dirundingkan? Itulah pertanyaannya. (HABIS)
Kompas, Rabu-Sabtu, 18-21 Januari 2017