Oleh M ZAID WAHYUDI
Merebaknya ujaran kebencian di masyarakat beberapa bulan terakhir mulai menimbulkan konflik. Rasa benci itu membuat banyak informasi bias, palsu, dan fitnah disebar. Tenggang rasa, empati, dan persaudaraan pun pupus hanya karena beda pandangan. Bahkan, serangan fisik dan bentrokan sudah terjadi di beberapa daerah.
Kebencian sejatinya ialah emosi umum tiap individu. Namun, jika emosi yang menunjukkan ketidaksukaan itu disebarkan ke publik, itu bisa memicu konflik dan kejahatan atas kemanusiaan.
“Kebencian bisa menghilangkan harkat manusia, memunculkan bias, dan mengurangi empati,” kata Gail B Murrow dan Richard Murrow dalam “A Valid Question: Could Hate Speech Condition Bias in the Brain” di Journal of Law and the Biosciences, Maret 2016.
Namun, ujaran kebencian jadi strategi kelompok memprovokasi kebencian dan tindakan anarki. Materi kebencian yang disebarkan, menurut Jerome Neu dalam The Philosophy of Insults, 2008, ialah beda ras, jender, orientasi seksual, suku, agama, atau karakter kelompok lain.
“Sepanjang sejarah, strategi itu dipakai banyak kelompok untuk menghasut, membenci kelompok lain, dan menumbuhkan kebanggaan kelompoknya, termasuk Nazi Jerman,” ujar ahli neurosains kognitif Universitas Miami, Amerika Serikat, Berit Brogaard, di Psychologytoday.com, 21 Desember 2016.
Pola pikir
Peneliti Pusat Kesehatan Mental Masyarakat Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Rahmat Hidayat, Rabu (18/1), memaparkan, kebencian seseorang terkait dengan pola pikir kronis atau menetap yang dimiliki. Mereka memandang segala hal dari sudut pandang negatif atau ancaman bahayanya.
Ketakmampuan melihat secara obyektif itu memicu kecemasan, kekhawatiran, atau keterancaman diri. "Pola pikir kronis yang menimbulkan kebencian kerap tak disadari," ucapnya.
Skema berpikir kronis dipengaruhi banyak faktor, termasuk pengasuhan dan pengalaman masa kecil. Orang-orang yang sejak kecil terpapar dan terbiasa menerima hinaan, cacian, kata-kata merendahkan, atau tak dihargai cenderung jadi pribadi berpandangan negatif.
Subyektivitas pada informasi membuat para penyebar kebencian sulit menilai secara proporsional. Akibatnya, mereka tak bisa berpikir kritis. Hanya informasi yang disukai atau ingin dilihatnya yang diyakini benar. Selain itu, dianggap salah.
Meski demikian, Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi, Manado, Taufiq Pasiak menilai, kebencian yang marak di masyarakat muncul akibat situasi politik, bukan perilaku permusuhan bawaan kepribadian seseorang. Situasi politik mengubah sifat alamiah otak, menyeret sebagian orang pada arus kebencian.
Secara alamiah, otak manusia menghindari kebencian. Karakter utama otak ialah menyukai atau memburu kesenangan dan menghindari hal tak menyenangkan. Karena kebencian tak menyenangkan, manusia sejatinya tak suka membenci.
Kebencian juga menguras energi otak. Benci membuat otak menguras energi sebagai kompensasi kebencian. Itu membuat otak tumpul, tak bisa berpikir tajam. "Akibatnya, mereka yang membenci sulit berpikir dan bertindak adil," ujarnya.
Oleh karena itu, maraknya penyebaran kebencian dinilai Taufiq tak perlu terlalu dikhawatirkan. Pada jangka pendek, situasi ini menyebalkan. Namun, itu tak akan lama karena kebencian politik mudah berubah, tergantung dari kemampuan mereka yang benci untuk mengakomodasi kepentingan kelompok lain.
Individu ke kelompok
Kebencian akibat pola pikir kronis amat individual. Namun, saat individu-individu yang membenci mengelompok, skema berpikir kronis berlaku pada kelompok. Jadi, identitas kebencian mereka mengental dan membuat mereka terpolarisasi dengan kelompok lain.
Kehadiran pimpinan kelompok mengukuhkan identitas mereka. Jika pesan kebencian dari pimpinan kelompok disampaikan berulang-ulang, realitas yang dikonstruksikan pimpinan kelompok jadi realitas kelompok.
"Akibatnya, mereka tak kritis dengan kelompoknya. Kelompoknya paling benar dan kelompok lain salah," kata Rahmat.
Taufiq menyebutkan, kebencian yang berubah dari ekspresi personal jadi ekspresi kelompok bisa memicu konflik horizontal. Masalahnya, kebencian massal mudah menyebar karena manusia Indonesia yang paternalistik suka mengelompok. Dampaknya, mereka tak percaya diri dengan penilaian diri dan memilih mengikuti pandangan kelompoknya.
Namun, kebencian yang disebar itu belum tentu memunculkan kebencian serupa pada orang lain. Penerimaan individu pada ujaran itu menentukan mereka ikut membenci atau tidak. "Penyebaran kebencian hanya menguatkan pandangan kelompok, tak otomatis memengaruhi pandangan orang atau kelompok umum," ucap Rahmat.
Namun, persepsi itu dipengaruhi kesukaan seseorang pada figur penyebar kebencian. Kesukaan pada penyebar kebencian menjadikan seseorang setuju kebencian yang disebar. Sebaliknya, ujaran positif dari orang yang dibenci bisa melahirkan kebencian.
"Pembenci memandang seseorang bukan atas apa yang dibicarakannya, tetapi siapa yang membicarakannya," ujarnya.
Pembatasan
Meski ujaran kebencian berdampak nyata di masyarakat, pengaturannya di sejumlah negara menimbulkan pro dan kontra, termasuk di Amerika Serikat dan Indonesia. Pengaturan ujaran kebencian dikhawatirkan memengaruhi kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi.
Rahmat menilai, sebagai ekspresi personal, ujaran kebencian tak perlu dikontrol negara karena khawatir akan membatasi kebebasan berpendapat. Dalam jangka pendek, penyebaran pandangan negatif memunculkan ketidaknyamanan. Namun, dalam jangka panjang, belum tentu bisa memengaruhi orang lain.
"Prinsipnya, kebebasan berpendapat tak boleh dilanggar. Etika berkomunikasi harus dijaga dan negara tak perlu jadi polisi moral masyarakat," katanya.
Namun, banyak pihak juga mengingatkan, kebebasan berbicara itu tetap bisa dibatasi jika melanggar hak-hak orang lain atau menimbulkan dampak bagi bangsa dan negara.
Berdasar neurosains, Taufiq setuju jika kebebasan berbicara, khususnya yang menyangkut penyebaran kebencian, harus dibatasi. Sifat dasar manusia selalu ingin melampiaskan segalanya. Kondisi itu akan menghilangkan kendali diri hingga bertindak membabi buta, tak bisa menenggang rasa, bahkan jadi agresif.
"Karena kebencian merusak otak, kebencian tidak boleh terjadi masif. Kebencian itu menular dan berlaku bak bola salju sehingga bisa menimbulkan malapetaka," ucapnya.
Di sisi lain, pembeda antara ujaran kebencian dan kebebasan berpendapat adalah motifnya. Ujaran kebencian selalu dilandasi rasa benci serta semangat permusuhan dan merupakan perilaku kompulsif yang terjadi berulang-ulang. Kelompok yang disasar pembenci selalu salah, tidak pernah benar.
Sementara kebebasan berpendapat merupakan sikap kritis pada kelompok tertentu secara obyektif. Benar dan salah adalah dua hal yang bisa melekat pada siapa pun. "Meski tampilan lahiriahnya sama, kebebasan berpendapat lebih positif," ujarnya.
Kompas, Minggu, 29 Januari 2016
No comments:
Post a Comment