Oleh LARASWATI ARIADNE ANWAR
Selain berita palsu, foto-foto korban kekerasan merupakan konten yang juga sering disebarluaskan di media sosial serta grup Whatsapp dan Blackberry Messenger. Semakin mengenaskan, saat korban kekerasan itu adalah anak-anak dan perempuan, semakin banyak pula orang yang menyukai dan menyebarkan fotonya.
Umumnya foto korban kekerasan disertai keterangan berbunyi “orangtua harus hati-hati agar anaknya tidak menjadi korban seperti anak di foto ini” atau “kasihan sekali, anak ini menjadi korban kekerasan”.
“Niatnya adalah meminta orang-orang di media sosial agar menjaga anak-anak ataupun diri mereka, tetapi yang terjadi malah si pengunggah konten menjadi penyebar kekerasan visual,” kata psikolog anak dari Universitas Indonesia, Rose Mini, di Jakarta, Minggu (15/1).
Ia menilai, penyebab utama penyebaran foto korban kekerasan terletak pada sifat manusia yang selalu ingin menjadi yang pertama. Orang ingin menjadi yang pertama dalam mengetahui, menyebarkan informasi, serta berkomentar. Hal ini mengakibatkan netizen tidak bijak saat memilih dan memilah informasi untuk disebarkan. Dengan kata lain, tindakan mengunggah foto korban kekerasan lebih bermotif sensasionalitas ketimbang kehendak saling mengingatkan.
“Bayangkan jika keluarga, kerabat, dan teman korban melihat unggahan itu. Hal ini menambah trauma yang sudah mereka alami,” kata Rose. Sering kali, menurut dia, penyebar foto korban tidak memahami dampak negatif unggahan karena ia tidak merasakannya sendiri.
Rose menyarankan, apabila berniat mengimbau masyarakat agar berhati-hati dalam melindungi anak, netizen cukup melakukannya dengan mengunggah pesan. Netizen tak perlu menyertakan foto karena melanggar privasi korban dan keluarga.
Penyebaran foto juga menambah penyebaran kekerasan visual. Masyarakat bisa kehilangan kepekaan ketika dihadapkan pada situasi tidak manusiawi yang sesungguhnya.
Foto anak
Selain korban kekerasan, Rose juga mengamati, banyak orang menyebarluaskan foto anak karena lucu dan menggemaskan. Tindakan ini dinilai berbahaya karena dapat menjadi pintu masuk bagi predator yang mengancam keselamatan anak.
“Alasan yang sering dipakai pengunggah ialah hanya ingin dibagi kepada mereka yang dikenalnya, yang jumlahnya mencapai puluhan atau ratusan orang. Masalahnya, sikap setiap orang yang melihat unggahan itu tidak diketahui,” ujar Rose.
Pidana
Pada kesempatan terpisah, Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pribudiarta Nur Sitepu memaparkan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menegaskan pada Pasal 19 bahwa tak seorang pun boleh menyebarluaskan foto ataupun identitas korban kekerasan, identitas keluarga korban, identitas pelaku kekerasan yang masih berusia anak, serta identitas keluarga pelaku.
“Pada Pasal 97 dicantumkan, pelanggar aturan tersebut akan dipidana 5 tahun penjara. Oleh sebab itu, wartawan media arus utama ataupun netizen di media sosial hendaknya bijak dalam bertindak,” ucapnya.
Kompas, Kamis, 19 Januari 2017
No comments:
Post a Comment