Saturday, 21 September 2019

Sampah Makanan: Langkah Sejumlah Negara Cegah Kemubaziran

Oleh ADITHYA RAMADHAN
Dari tahun ke tahun, populasi dunia kian bertambah. Kebutuhan akan pangan pun terus meningkat, padahal luas area pertanian kian menyusut. Ini satu masalah. Namun, ada problem lain yang juga krusial: tingginya makanan yang terbuang dan jadi sampah.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) memperkirakan, sepertiga makanan yang diproduksi di dunia untuk konsumsi manusia setiap tahun, atau sekitar 1,3 miliar ton, hilang karena menjadi sampah, bukan karena dikonsumsi. Mayoritas makanan itu adalah buah dan sayuran, termasuk umbi-umbian.
Di negara kaya, setiap tahun konsumen membuang 222 juta ton makanan atau hampir menyamai makanan yang diproduksi di Subsahara Afrika, yaitu 230 juta ton. Jika dihitung per kapita, setiap orang di Eropa dan Amerika Utara membuang 95-115 kilogram makanan setahun. Adapun orang di Subsahara Afrika, Asia Selatan, dan Asia Timur membuang 6-11 kilogram tiap tahun.
Jika diuangkan, makanan yang hilang dan menjadi sampah di negara maju setara dengan 680 miliar dollar AS (sekitar Rp 9,569 triliun) dan di negera berkembang senilai 310 miliar dollar AS (Rp 4,361 triliun). Ironis. Di satu sisi, ada ancaman ketersediaan pangan, di sisi lain betapa banyak makanan dibuang.
Di sejumlah negara, beberapa langkah telah dilakukan untuk mengatasi masalah itu. Perancis yang menghasilkan sampah makanan 10 juta ton tiap tahun, misalnya. Seperti dipublikasikan Euronews.com, tahun 2016 Perancis meloloskan undang-undang yang melarang supermarket membuang makanan yang masih bisa dimanfaatkan.
Supermarket harus bermitra dengan kelompok-kelompok masyarakat mendistribusikan produk makanan sisa yang masih layak konsumsi. Toko yang tidak patuh bisa didenda 3.750 euro (sekitar Rp 58 juta) untuk setiap pelanggaran. Aturan ini berlaku bagi toko seluas di atas 400 meter persegi.
Di Italia, di mana makan bersama menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya, setiap keluarga di negara itu "menghasilkan" sampah makanan 145 kilogram setahun.
Tahun 2016 Italia mengundangkan dua aturan untuk membatasi sampah makanan. Sesuai undang-undang itu, pemilik restoran atau toko makanan segar mendapat insentif jika mendonasikan makanan berlebih kepada orang yang membutuhkan. Insentifnya berupa pengurangan pajak pengelolaan sampah.
Pemerintah Italia juga mendorong restoran menyediakan wadah yang disebut "tas keluarga" bagi konsumen untuk wadah membawa makanannya yang tak habis dimakan di restoran.
Adapun di Inggris, sejak tahun 2018 kelompok-kelompok masyarakat dan industri produsen makanan dilibatkan untuk menekan volume sampah makanan di setiap tahap rantai pasok.
Sementara di Jerman, beberapa restoran akan mendenda konsumen yang tidak menghabiskan makanannya. Dengan sejumlah terobosan, seperti kemasan makanan lebih kecil dan kemasan pintar yang bisa menunjukkan apakah makanan di dalamnya masih layak dikonsumsi, Pemerintah Jerman menargetkan memangkas separuh sampah makanan pada 2030.
Daur ulang
Lain lagi upaya di Korea Selatan. Siapa tak kenal dengan kimchi, berbagai jenis acar, potongan buah, dan daging sebagai makanan pendamping yang di negara itu dikenal dengan banchan. 
Banyak jenis banchan disajikan pada tiap acara makan. Terkadang orang sudah telanjur kenyang dengan makanan utama sehingga banchan tidak termakan dan dibuang begitu saja. Jika di rata-rata, tiap warga Korsel "menghasilkan" lebih dari 130 kilogram makanan tak termakan setiap tahun.
Sejak tahun 2005, Korsel melarang membuang makanan ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Lalu, sejak 2013 negara itu memberlakukan kewajiban daur ulang limbah makanan menggunakan kantong yang bisa terurai.
Sampah yang dikumpulkan menggunakan kantong itu lalu diperas di tempat pemrosesan untuk mengurangi kelembabannya. Air perasan sampah itu dipakai untuk membuat biogas. Adapun sampah keringnya dibuat menjadi pupuk yang membantu gerakan pertanian urban atau untuk pakan ternak. Volume sampah makanan yang didaur ulang di Korsel pun naik dari 2 persen pada 1995 menjadi 95 persen tahun 2019.
Teknologi juga berperan besar dalam skema daur ulang sampah makanan. Tahun 2012 Pemerintah Korsel mengenalkan tempat sampah futuristik yang dilengkapi timbangan dan alat identifikasi dengan frekuensi radio (RFID) untuk mengukur sampah yang dibuang dan biaya yang harus dibayar warga. Cara ini telah mengurangi sampah makanan 47.000 ton di Seoul dalam enam tahun.
Satu hal yang perlu dicatat, berbagai kebijakan negara di atas tidak akan lengkap tanpa perubahan perilaku warganya. Perubahan perilaku itu, misalnya, dimulai warga dengan hanya mengambil porsi makanan yang sekiranya bisa dihabiskan, tidak membeli makanan yang tidak perlu, dan tidak membuang makanan sebelum masa kedaluwarsanya habis.
Kompas, Sabtu, 21 September 2019

4 comments: