Oleh IWAN SANTOSA
Memasuki akhir tahun 2020, sejumlah negara menyiapkan diri untuk melakukan vaksinasi warga guna mengakhiri pandemi Covid-19, termasuk di Indonesia. Sejumlah vaksin korona yang dikembangkan dengan rekor kecepatan mulai didistribusikan setelah data efikasi menunjukkan vaksin tersebut efektif. Indonesia pun telah mendatangkan vaksin korona untuk segera digunakan dalam menangani pandemi.
Kisah vaksinasi untuk mengakhiri sebuah wabah penyakit tidak hanya berlangsung saat ini. Beberapa dekade lalu, saat wabah penyakit cacar menyerbu, vaksin menjadi senjata ampuh untuk mengakhirinya. Di Indonesia, upaya pemberantasan cacar gencar dilakukan hingga warganya bebas dari penyakit tersebut.
Pada 1960-an, dokter Kho Gin Tjong atau Petrus Aswin Koswara
memimpin operasi vaksinasi memberantas penyakit cacar (smallpox) yang pernah menjadi momok di dunia hingga tahun 1970-an.
Dokter Kho adalah Kepala Dinas Pemberantasan Cacar di Republik Indonesia yang
diangkat pemerintah pada Juli 1968.
Dokter kelahiran 28 Agustus 1931 di Bumiayu, Jawa Tengah,
ini adalah seorang dokter medis alumnus Universitas Airlangga yang mendapat
gelar master of public health dari
University of Tulane, New Orleans, Amerika Serikat, pada 13 Mei 1966.
Sebelumnya, dokter Kho memimpin pemberantasan cacar di ibu kota Jakarta tahun
1963 dan program serupa di Provinsi Jawa Tengah serta Jawa Timur.
Serangan virus cacar di antaranya menyisakan cacat pada
wajah penderita berupa luka-luka berlubang atau bopeng dan dapat menyebabkan
kebutaan. Kematian akibat cacar menimpa tiga dari 10 orang yang terjangkit
virus cacar. Bahkan, memasuki era modern di abad ke-20, lebih dari 100 juta
manusia tewas akibat cacar. Pihak kolonial Barat mencatat, cacar mulai terekam
di Kepulauan Maluku pada tahun 1588.
Pada tahun 1980-an, di Pulau Jawa masih terlihat di
masyarakat adanya warga lanjut usia yang memiliki bopeng akibat wabah cacar
sebelum vaksinasi cacar berhasil menghabisi penyakit berbahaya tersebut di
Indonesia.
Dalam laporan majalah Tempo
bulan November tahun 1979 disebutkan bahaya penyakit cacar yang dalam sejarah
tercatat pernah menjangkiti Raja Ramses V dari Mesir kuno sekitar 1150 SM.
Lebih dari tiga milenium cacar menjadi momok bagi umat manusia.
Penyakit cacar akhirnya berhasil diberantas dari bumi, dalam
pernyataan resmi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tercatat pada 26 Oktober
1979. Daerah terakhir terjadinya cacar di dunia adalah Djibouti, Somalia,
Etiopia, dan Kenya. Adapun Indonesia dinyatakan bebas dari cacar sejak tahun
1974.
Demi antisipasi, hingga akhir 1970-an, PT Bio Farma masih
memiliki stok vaksin cacar hingga 20 juta ampul. Ketika itu, jemaah haji dan
berbagai elemen masyarakat masih mendapatkan suntikan vaksin cacar untuk
mengantisipasi kemungkinan penularan dari pihak lain.
Vaksinasi Metode ”Surveillance”
Upaya panjang yang dilakukan dokter Kho Gin Tjong berbuah
manis. Indonesia aman dari bahaya penyakit cacar. Dalam nomor perkenalan
majalah Medika tahun 1975, dijelaskan
bahwa dokter Kho menerapkan metode surveillance
containment dalam memberantas wabah cacar di Indonesia.
Dalam waktu tujuh tahun, dia dinilai berhasil memberantas
cacar di Indonesia pada 1970 hingga akhirnya dipercaya untuk bertugas ke Afrika
di bawah WHO. Keberhasilan memberantas cacar dengan surveillance containment tersebut, yang dilakukan di
sekolah-sekolah di Jawa Barat di kawasan Indramayu-Cirebon, dibahas dalam
konferensi internasional di New Delhi, India, pada Desember 1970.
Metode yang dilakukan dokter Kho berbeda dengan metode
vaksinasi massal dan rutin yang dilakukan di dunia. Dia berhasil membendung
penyebaran wabah dengan segera melakukan vaksinasi di daerah yang terpantau
adanya laporan kasus cacar. Tugas yang diemban sangat penting, tetapi kehidupan
pribadi dokter Kho dan keluarga sangatlah sederhana.
Kompas pernah
berinteraksi beberapa kali dengan Liem Hwie Ie alias Eleonora Widiastuti, istri
dokter Kho Gin Tjong, di sebuah rumah tua di bilangan Kebayoran Baru. Istri
dokter Kho menceritakan betapa sederhana kehidupan keluarga dokter meski
memegang jabatan penting waktu itu terkait pemberantasan penyakit menular dan
kesehatan masyarakat. Bahkan, ubin lama dan arsitektur tahun 1970-an masih
dipertahankan di rumah yang didiami Nyonya Eleonora itu.
”Sejak awal kami berpacaran, calon suami saya menyatakan
kelak akan menjadi dokter melayani masyarakat dan tidak buka praktik. Setelah
menikah, berulang kali suami mendapat giliran jatah rumah dinas, tetapi justru
selalu diserahkan kepada dokter-dokter yuniornya,” kata Nyonya Eleonora yang
melahirkan tiga putri, satu sulung dan dua anak kembar, yakni Valentina Irawati
Koswara serta Mediatrix Idawati Koswara dan Monica Irmawati Koswara.
Bahkan ketika dokter Kho menempuh pendidikan di Amerika
Serikat dan meninggalkan keluarga, Nyonya Kho bersama anak dan bayi yang baru
lahir harus hidup pas-pasan. Mereka kerap makan roti kering untuk menu makan
harian.
Semasa memimpin program pemberantasan cacar, dokter Kho Gin
Tjong bertugas di bawah direktur jenderal di Kementerian Kesehatan waktu itu,
dokter Sulianti Saroso. Dokter Sulianti Saroso kini namanya diabadikan sebagai
rumah sakit khusus di Sunter, Jakarta Utara, yang juga menangani pasien
Covid-19 saat ini.
Misi WHO ke Afrika
Karena Indonesia dinilai berhasil menangani cacar, dilakukan
pertukaran pakar dengan negara lain di bawah lembaga PBB dan WHO. Dokter Kho
Gin Tjong pun diberangkatkan ke Etiopia sebagai bagian dari ”Operation
Crocodile” untuk memberantas cacar di wilayah Afrika Timur dan Tanduk Afrika.
Bertugas di Etiopia, dokter Kho kebagian penugasan di
Provinsi Tigray yang berbatasan dengan Eritrea—ketika itu masih menjadi wilayah
Kerajaan Etiopia. Perjalanan setiap hari ditempuh dengan helikopter ke daerah
terpencil untuk melakukan vaksinasi. Pada kesempatan lain, dokter Kho harus
menunggang keledai, unta, atau bahkan berjalan kaki berhari-hari untuk
menjalankan vaksinasi di desa-desa terpencil.
Kawasan tempat dokter Kho bekerja sangat berbahaya. Beberapa
petugas dari sejumlah negara disandera kelompok bersenjata beserta helikopter
dan pilotnya. Bekerja dalam tekanan dan keadaan serba terbatas itu, dokter Kho
terkena serangan jantung dan meninggal di Etiopia pada 18 November 1974 setelah
dirawat sebentar di rumah sakit di kota Addis Ababa.
Pada saat sama terjadi krisis politik di Etiopia dan perang
saudara mulai menjalar di negeri tersebut akibat kudeta yang dilakukan tokoh
komunis Mengistu Haile Mariam yang didukung Uni Soviet, Kuba, Korea Utara,
Libya, dan Polandia terhadap Kaisar Haile Selasie pada 12 September 1974. Di
pihak lain, Kaisar Haile Selasie dan milisi Eritrea mendapat dukungan dari
Mesir, Amerika Serikat, China, Jerman Barat, Somalia, dan Sudan.
Dalam kondisi kalut tersebut, istri dokter Kho harus
mengurus jenazah suami dan mengevakuasi keluarga. Mereka menjalin komunikasi
dengan KBRI Addis Ababa. Nyonya Kho harus menjual barang-barang milik keluarga,
dan evakuasi jenazah dokter Kho dilakukan pada 23 November 1974. Keluarga yang
berduka itu pun tiba kembali di Tanah Air pada 25 Oktober 1974.
”Kami pulang ke Jakarta tidak punya harta benda apa pun. Ini
rumah pemberian Menteri Kesehatan Siwabessy setelah tahu suami saya belum punya
rumah setelah sekian lama menjadi dokter mengabdi ke masyarakat. Rumah tersebut
dicicil selama lima tahun,” tutur Nyonya Kho yang menyimpan kenangan
surat-surat cinta dengan berbagai gambar kartun lukisan tangan dari suaminya
dalam sebuah album yang disusun sebagai diari kisah cinta mereka.
Sebelum berangkat ke Etiopia, dokter Kho bersama istri dan
anak-anaknya tinggal bersama di satu ruangan di rumah dinas di Jalan Hang
Jebat. Rumah itu yang kemudian diberikan oleh Menteri Kesehatan kepada keluarga
Kho. Mereka semula hanya kebagian satu ruangan karena harus berbagi dengan
penghuni lama.
Dalam keadaan sedih dan serba tanpa kepastian akan masa
depan, Nyonya Kho bersama anak-anak perempuannya pulang ke Indonesia bersama
jenazah dokter Kho. Sehari setelah mereka terbang dari Addis Ababa, bandara
ditutup akibat perang saudara di negeri Afrika Timur itu.
Kesederhanaan Keluarga dr Kho
Selanjutnya, mereka tinggal di Jakarta hidup sangat
sederhana. Nyonya Kho berjualan kacang goreng dan es lilin yang dititipkan di
kantin tempat putri-putrinya bersekolah. Kemudian, Nyonya Kho bekerja di
peternakan ayam, perusahaan jual beli besi bekas, dan terakhir mengelola
restoran.
Akhirnya dia berhasil membuka warung kelontong yang cukup
lengkap barang dagangannya di rumah tinggal mereka. Dengan penghasilan mengelola
warung serba ada itu, dia berhasil menyekolahkan ketiga putrinya.
Saat bermukim di Jakarta, ketiga putri dokter Kho pernah
hampir diculik kawanan penjahat yang meminta tebusan. Mereka dianggap anak
orang kaya. Padahal, sejatinya, dokter Kho hanya meninggalkan nama dan budi
baik. Tidak ada harta benda, bahkan rumah milik pribadi pun tak ada.
Dalam keadaan sulit itu, budi baik dan pengorbanan dokter
Kho tidak dilupakan negara. Presiden Soeharto memberikan penghargaan kepada
dokter Kho Gin Tjong alias Petrus Aswin Koswara atas jasa-jasanya dalam
menjalankan vaksinasi untuk pemberantasan cacar di Indonesia.
”Bu Tien Soeharto membubuhkan tanda tangan di punggung saya
ketika usai memberikan penghargaan kepada papi yang diterima oleh mami di
Istana Negara,” kata Irawati Koswara, putri sulung dokter Kho Gin Tjong.
Sejarah pemberantasan cacar di Indonesia membawa cerita
semangat pengabdian, kesederhanaan seorang dokter, dan teladan kesetiaan
suami-istri Kho Gin Tjong-Liem Hwie Ie.
No comments:
Post a Comment