Tuesday, 8 December 2020

Dr Kho Gin Tjong dan Kisah Gerakan Vaksinasi di Indonesia

Oleh IWAN SANTOSA

Memasuki akhir tahun 2020, sejumlah negara menyiapkan diri untuk melakukan vaksinasi warga guna mengakhiri pandemi Covid-19, termasuk di Indonesia. Sejumlah vaksin korona yang dikembangkan dengan rekor kecepatan mulai didistribusikan setelah data efikasi menunjukkan vaksin tersebut efektif. Indonesia pun telah mendatangkan vaksin korona untuk segera digunakan dalam menangani pandemi.

Pasangan dr Kho Gin Tjong atau Petrus Aswin Koswara dan Liem Hwie Ie alias Eleonora Widiastuti saat bertunangan.

Kisah vaksinasi untuk mengakhiri sebuah wabah penyakit tidak hanya berlangsung saat ini. Beberapa dekade lalu, saat wabah penyakit cacar menyerbu, vaksin menjadi senjata ampuh untuk mengakhirinya. Di Indonesia, upaya pemberantasan cacar gencar dilakukan hingga warganya bebas dari penyakit tersebut.

Pada 1960-an, dokter Kho Gin Tjong atau Petrus Aswin Koswara memimpin operasi vaksinasi memberantas penyakit cacar (smallpox) yang pernah menjadi momok di dunia hingga tahun 1970-an. Dokter Kho adalah Kepala Dinas Pemberantasan Cacar di Republik Indonesia yang diangkat pemerintah pada Juli 1968.

Dokter kelahiran 28 Agustus 1931 di Bumiayu, Jawa Tengah, ini adalah seorang dokter medis alumnus Universitas Airlangga yang mendapat gelar master of public health dari University of Tulane, New Orleans, Amerika Serikat, pada 13 Mei 1966. Sebelumnya, dokter Kho memimpin pemberantasan cacar di ibu kota Jakarta tahun 1963 dan program serupa di Provinsi Jawa Tengah serta Jawa Timur.

Serangan virus cacar di antaranya menyisakan cacat pada wajah penderita berupa luka-luka berlubang atau bopeng dan dapat menyebabkan kebutaan. Kematian akibat cacar menimpa tiga dari 10 orang yang terjangkit virus cacar. Bahkan, memasuki era modern di abad ke-20, lebih dari 100 juta manusia tewas akibat cacar. Pihak kolonial Barat mencatat, cacar mulai terekam di Kepulauan Maluku pada tahun 1588.

Pada tahun 1980-an, di Pulau Jawa masih terlihat di masyarakat adanya warga lanjut usia yang memiliki bopeng akibat wabah cacar sebelum vaksinasi cacar berhasil menghabisi penyakit berbahaya tersebut di Indonesia.

Dalam laporan majalah Tempo bulan November tahun 1979 disebutkan bahaya penyakit cacar yang dalam sejarah tercatat pernah menjangkiti Raja Ramses V dari Mesir kuno sekitar 1150 SM. Lebih dari tiga milenium cacar menjadi momok bagi umat manusia.

Penyakit cacar akhirnya berhasil diberantas dari bumi, dalam pernyataan resmi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tercatat pada 26 Oktober 1979. Daerah terakhir terjadinya cacar di dunia adalah Djibouti, Somalia, Etiopia, dan Kenya. Adapun Indonesia dinyatakan bebas dari cacar sejak tahun 1974.

Demi antisipasi, hingga akhir 1970-an, PT Bio Farma masih memiliki stok vaksin cacar hingga 20 juta ampul. Ketika itu, jemaah haji dan berbagai elemen masyarakat masih mendapatkan suntikan vaksin cacar untuk mengantisipasi kemungkinan penularan dari pihak lain.

Vaksinasi Metode ”Surveillance”

Upaya panjang yang dilakukan dokter Kho Gin Tjong berbuah manis. Indonesia aman dari bahaya penyakit cacar. Dalam nomor perkenalan majalah Medika tahun 1975, dijelaskan bahwa dokter Kho menerapkan metode surveillance containment dalam memberantas wabah cacar di Indonesia.

Dalam waktu tujuh tahun, dia dinilai berhasil memberantas cacar di Indonesia pada 1970 hingga akhirnya dipercaya untuk bertugas ke Afrika di bawah WHO. Keberhasilan memberantas cacar dengan surveillance containment tersebut, yang dilakukan di sekolah-sekolah di Jawa Barat di kawasan Indramayu-Cirebon, dibahas dalam konferensi internasional di New Delhi, India, pada Desember 1970.

Metode yang dilakukan dokter Kho berbeda dengan metode vaksinasi massal dan rutin yang dilakukan di dunia. Dia berhasil membendung penyebaran wabah dengan segera melakukan vaksinasi di daerah yang terpantau adanya laporan kasus cacar. Tugas yang diemban sangat penting, tetapi kehidupan pribadi dokter Kho dan keluarga sangatlah sederhana.

Kompas pernah berinteraksi beberapa kali dengan Liem Hwie Ie alias Eleonora Widiastuti, istri dokter Kho Gin Tjong, di sebuah rumah tua di bilangan Kebayoran Baru. Istri dokter Kho menceritakan betapa sederhana kehidupan keluarga dokter meski memegang jabatan penting waktu itu terkait pemberantasan penyakit menular dan kesehatan masyarakat. Bahkan, ubin lama dan arsitektur tahun 1970-an masih dipertahankan di rumah yang didiami Nyonya Eleonora itu.

”Sejak awal kami berpacaran, calon suami saya menyatakan kelak akan menjadi dokter melayani masyarakat dan tidak buka praktik. Setelah menikah, berulang kali suami mendapat giliran jatah rumah dinas, tetapi justru selalu diserahkan kepada dokter-dokter yuniornya,” kata Nyonya Eleonora yang melahirkan tiga putri, satu sulung dan dua anak kembar, yakni Valentina Irawati Koswara serta Mediatrix Idawati Koswara dan Monica Irmawati Koswara.

Bahkan ketika dokter Kho menempuh pendidikan di Amerika Serikat dan meninggalkan keluarga, Nyonya Kho bersama anak dan bayi yang baru lahir harus hidup pas-pasan. Mereka kerap makan roti kering untuk menu makan harian.

Semasa memimpin program pemberantasan cacar, dokter Kho Gin Tjong bertugas di bawah direktur jenderal di Kementerian Kesehatan waktu itu, dokter Sulianti Saroso. Dokter Sulianti Saroso kini namanya diabadikan sebagai rumah sakit khusus di Sunter, Jakarta Utara, yang juga menangani pasien Covid-19 saat ini.

Misi WHO ke Afrika

Karena Indonesia dinilai berhasil menangani cacar, dilakukan pertukaran pakar dengan negara lain di bawah lembaga PBB dan WHO. Dokter Kho Gin Tjong pun diberangkatkan ke Etiopia sebagai bagian dari ”Operation Crocodile” untuk memberantas cacar di wilayah Afrika Timur dan Tanduk Afrika.

Bertugas di Etiopia, dokter Kho kebagian penugasan di Provinsi Tigray yang berbatasan dengan Eritrea—ketika itu masih menjadi wilayah Kerajaan Etiopia. Perjalanan setiap hari ditempuh dengan helikopter ke daerah terpencil untuk melakukan vaksinasi. Pada kesempatan lain, dokter Kho harus menunggang keledai, unta, atau bahkan berjalan kaki berhari-hari untuk menjalankan vaksinasi di desa-desa terpencil.

Kawasan tempat dokter Kho bekerja sangat berbahaya. Beberapa petugas dari sejumlah negara disandera kelompok bersenjata beserta helikopter dan pilotnya. Bekerja dalam tekanan dan keadaan serba terbatas itu, dokter Kho terkena serangan jantung dan meninggal di Etiopia pada 18 November 1974 setelah dirawat sebentar di rumah sakit di kota Addis Ababa.

Pada saat sama terjadi krisis politik di Etiopia dan perang saudara mulai menjalar di negeri tersebut akibat kudeta yang dilakukan tokoh komunis Mengistu Haile Mariam yang didukung Uni Soviet, Kuba, Korea Utara, Libya, dan Polandia terhadap Kaisar Haile Selasie pada 12 September 1974. Di pihak lain, Kaisar Haile Selasie dan milisi Eritrea mendapat dukungan dari Mesir, Amerika Serikat, China, Jerman Barat, Somalia, dan Sudan.

Dalam kondisi kalut tersebut, istri dokter Kho harus mengurus jenazah suami dan mengevakuasi keluarga. Mereka menjalin komunikasi dengan KBRI Addis Ababa. Nyonya Kho harus menjual barang-barang milik keluarga, dan evakuasi jenazah dokter Kho dilakukan pada 23 November 1974. Keluarga yang berduka itu pun tiba kembali di Tanah Air pada 25 Oktober 1974.

”Kami pulang ke Jakarta tidak punya harta benda apa pun. Ini rumah pemberian Menteri Kesehatan Siwabessy setelah tahu suami saya belum punya rumah setelah sekian lama menjadi dokter mengabdi ke masyarakat. Rumah tersebut dicicil selama lima tahun,” tutur Nyonya Kho yang menyimpan kenangan surat-surat cinta dengan berbagai gambar kartun lukisan tangan dari suaminya dalam sebuah album yang disusun sebagai diari kisah cinta mereka.

Sebelum berangkat ke Etiopia, dokter Kho bersama istri dan anak-anaknya tinggal bersama di satu ruangan di rumah dinas di Jalan Hang Jebat. Rumah itu yang kemudian diberikan oleh Menteri Kesehatan kepada keluarga Kho. Mereka semula hanya kebagian satu ruangan karena harus berbagi dengan penghuni lama.

Dalam keadaan sedih dan serba tanpa kepastian akan masa depan, Nyonya Kho bersama anak-anak perempuannya pulang ke Indonesia bersama jenazah dokter Kho. Sehari setelah mereka terbang dari Addis Ababa, bandara ditutup akibat perang saudara di negeri Afrika Timur itu.

Kesederhanaan Keluarga dr Kho

Selanjutnya, mereka tinggal di Jakarta hidup sangat sederhana. Nyonya Kho berjualan kacang goreng dan es lilin yang dititipkan di kantin tempat putri-putrinya bersekolah. Kemudian, Nyonya Kho bekerja di peternakan ayam, perusahaan jual beli besi bekas, dan terakhir mengelola restoran.

Akhirnya dia berhasil membuka warung kelontong yang cukup lengkap barang dagangannya di rumah tinggal mereka. Dengan penghasilan mengelola warung serba ada itu, dia berhasil menyekolahkan ketiga putrinya.

Saat bermukim di Jakarta, ketiga putri dokter Kho pernah hampir diculik kawanan penjahat yang meminta tebusan. Mereka dianggap anak orang kaya. Padahal, sejatinya, dokter Kho hanya meninggalkan nama dan budi baik. Tidak ada harta benda, bahkan rumah milik pribadi pun tak ada.

Dalam keadaan sulit itu, budi baik dan pengorbanan dokter Kho tidak dilupakan negara. Presiden Soeharto memberikan penghargaan kepada dokter Kho Gin Tjong alias Petrus Aswin Koswara atas jasa-jasanya dalam menjalankan vaksinasi untuk pemberantasan cacar di Indonesia.

”Bu Tien Soeharto membubuhkan tanda tangan di punggung saya ketika usai memberikan penghargaan kepada papi yang diterima oleh mami di Istana Negara,” kata Irawati Koswara, putri sulung dokter Kho Gin Tjong.

Sejarah pemberantasan cacar di Indonesia membawa cerita semangat pengabdian, kesederhanaan seorang dokter, dan teladan kesetiaan suami-istri Kho Gin Tjong-Liem Hwie Ie.

No comments:

Post a Comment