Saturday, 21 November 2020

Indonesia Membuang Makanan

Oleh AHMAD ARIF

JAKARTA, KOMPAS — Setiap orang di Indonesia rata-rata membuang 6 kilogram makanan per tahun sehingga total makanan yang terbuang mencapai 1,6 juta ton per tahun. Di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, total makanan yang dibuang mencapai 28 kilogram per orang per tahun, terbanyak berupa sayur dan buah-buahan. Ini menjadi ironis di tengah masih tingginya gizi buruk dan tengkes pada anak-anak Indonesia.

Ilustrasi sampah sisa makanan kondangan. Foto: Prabarini Kartika/kumparan

Tingginya makanan yang dibuang (food waste) ini disampaikan Rachmi Widriani, Kepala Bidang Ketersediaan Pangan, Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian dalam diskusi yang diselenggarakan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian bersama Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Jumat (20/11/2020).

Menurut Rachmi, data 6 kilogram makanan yang dibuang per orang per tahun ini didasarkan pada laporan Economist Intelligence Unit (IEU) tahun 2018, yang merupakan revisi pada publikasi sebelumnya. Disebutkan, sebanyak 6 persen dari 290,8 juta ton produksi pangan di Indonesia hilang, di mana  17,4 juta ton hilang saat produksi atau pemanenan hingga pengiriman (food loss) dan 1,6 juta ton makanan yang dibuang.

Sebelumnya, laporan IEU tahun tahun 2016 menyebutkan, Indonesia membuang 300 kilogram (kg) makanan per orang per tahun atau peringkat kedua terbanyak setelah Arab Saudi sebanyak 427 kg per orang per tahun, disusul Amerika Serikat 277 kg per orang tahun.

Menurut Rachmi, pada tahun 2019 BKP membuat penelitian di Jabodetabek mengenai total makanan yang dibuang di skala rumah tangga mencapai 113 kg per tahun atau 28 kg per orang per tahun. ”Yang paling banyak dibuang adalah sayuran 7,3 kg per orang per tahun; buah 5 kg per orang per tahun; beras 2,7 kg per orang per tahun; disusul sejumlah lauk-pauk seperti tempe, tahu, daging hingga ikan,” katanya.

Pembuangan makanan juga terjadi di rumah makan. Data BKP, makanan yang dibuang di restoran rata-rata 4,3 kg per orang per tahun. Di restoran yang paling banyak dibuang nasi atau beras, sedangkan sayur dan lauk pauk relatif kecil.

Menurut Rachmi, Kementerian Pertanian telah melakukan sejumlah upaya mengatasi masalah ini. Untuk mencegah food loss, antara lain, dilakukan dengan memperbarui alat-alat pertanian hingga memperbaiki pengemasan untuk mencegah hilangnya makanan selama pengiriman. ”Untuk mengatasi food waste penting juga melibatkan swasta, terutama hotel dan restoran,” katanya.

Rachi mengatakan, food waste di sektor swasta ini bisa dikurangi dengan menggunakan pendinginan rendah karbon, merekayasa proses manufaktur, memperbaiki manajemen rantai pasok, mempebaiki kemasan untuk memperpanjang kesegaran dan umur simpan, memfasilitasi donasi produk yang tidak terjual dari restoran dan katering, dan mengubah ukuran porsi makanan yang disajikan.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan, peningkatan industri pariwisata memang meningkatkan tekanan lingkungan, termasuk peningkatan jumlah sampah. ”Seorang pengunjung hotel rata-rata menghasilkan 1 kg sampah per malam, di mana lebih dari separuhnya adalah sampah kertas, plastik, dan kardus, termasuk sampah makanan,” katanya.

Menurut Maulana, permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan sampah, termasuk sampah makanan ini, di antaranya, minimnya bank sampah dan prasarana pengelolaan sampah, kurangnya kesadaran masyarakat dan gaya hidup konsumtif. Selain itu, kebijakan masih tumpang-tindih dan belum ada upaya komprehensif dan holistik untuk mengatasi ini.

Rendahnya nilai jual kentang dan sayur kol, membuat petani di Kayu Aro, Kerinci, membuang hasil panennya.

Anak muda

Koordinator KRKP Said Abdullah mengatakan, tren pembuangan makanan juga terjadi di kalangan anak-anak muda terdidik. Berdasarkan survei yang dilakukan KRKP terhadap anak-anak muda di lingkungan kampus IPB University pada 2019 ditemukan rata-rata responden menyisakan nasi sebanyak 56,6 persen, sayur 21,7 persen, dan lauk-pauk 21,7 persen.

”Saat ini risiko lapar masih menghinggapi masyarakat kita, terutama dari kalangan miskin,” kata Said.

Berdasarkan data Indeks Kelaparan Global tahun 2020, Indonesia hanya berada di peringkat ke-70 dari 107 negara dengan nilai 19,1. Tingkat kelaparan Indonesia ini lebih rendah dari sebagian besar negara di Asia Tenggara lain, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.  Indeks kelaparan Indonesia ini disebabkan tingginya anak balita tengkes yang masih sekitar 30 persen, anak balita kurus 20 persen, dan kematian anak balita 2,5 persen.

Menurut Said, pantauan terhadap empat kantin di kampus IPB, rata-rata ada 11,4 kg sisa makanan yang dibuang per hari. ”Jadi, sisi pendidikan tidak cukup kuat memengaruhi pengetahuan dan perilaku untuk tidak membuang makanan. Saya kira tidak cukup upaya kampanye ke konsumen, perlu ada regulasi juga misalnya memberi sanksi terhadap kantin atau warung makan yang membuang makanan,” katanya.

Said menambahkan, upaya mengatasi hilangnya bahan pangan dan sampah makanan sangat penting dalam upaya mencapai target pembangunan berkelanjutan, khususnya mengatasi kelaparan dan kemiskinan. ”Food loss dan food waste ini merupakan bagian penting dari pembenahan sistem pangan. Mengurangi sampah makanan juga menghemat sumber daya, karena untuk memproduksi bahan makanan itu energi yang dibutuhkan sangat besar,” katanya.

Selain itu, mengurangi sampah makanan juga penting untuk mengurangi jejak karbon. ”Apalagi, jika makanan yang dibuang dari impor. Ini berlipat pemborosan energi dan jejak karbonnya,” kata Said.

No comments:

Post a Comment