Sunday, 6 April 2014

Kampanye yang Mencerdaskan

Oleh Ikrar Nusa Bhakti

Jika rakyat pergi. Kita penguasa berpidato. Kita harus hati-hati. Barangkali mereka putus asa.
Kalau rakyat sembunyi. Dan berbisik-bisik. Ketika membicarakan masalahnya sendiri. Penguasa harus waspada dan belajar mendengar.
Dan bila rakyat tidak berani mengeluh. Itu artinya sudah gawat. Dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah. Kebenaran pasti terancam.
Apabila usul-usul ditolak tanpa ditimbang. Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan. Dituduh subversi dan mengganggu keamanan. Maka hanya satu kata: LAWAN! (Solo: 1986)

Puisi karya Wiji Thukul berjudul “Peringatan” itu begitu memukau para pengunjung saat dibacakan oleh Sosiawan Leak, penyair asal Solo, pada pembukaan ASEAN Literary Festival di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 21 Maret 2014.

Wiji Thukul, penyair dan aktivis sosial, adalah satu dari belasan aktivis pro demokrasi yang diculik oleh oknum-oknum “Tim Mawar” dari satuan khusus militer pada 1997/1998. Meski akhirnya komandan satuan khusus itu diberhentikan dari ketentaraan lewat putusan Dewan Kehormatan Perwira, tetapi hingga kini nasib belasan aktivis pro demokrasi itu belum diketahui rimbanya. Inilah salah satu sejarah kelam rezim Orde Baru, selain pembunuhan, penghilangan paksa, dan pemenjaraan orang tanpa pengadilan.

Kini, Partai Golkar berkampanye bahwa era Soeharto adalah “Zaman Normal”: harga-harga murah, stabilitas politik terjaga, dan politik amat tenang tanpa kegaduhan. Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (ARB) tak malu ataupun takut untuk mengutip slogan di berbagai kaus bergambar Soeharto: “Piye khabare? Luwih penak jamanku to?” (Bagaimana kabarnya, lebih enak zamanku, kan?). Kampanye politik semacam ini memang hak politik Partai Golkar walau sungguh menyesatkan dan tidak mencerdaskan bangsa karena tidak menggambarkan kondisi pada era Orde Baru secara utuh.

Padahal, pada awal reformasi, Golkar di bawah Akbar Tandjung berupaya menarik garis dengan Orde Baru melalui slogan “Golkar Baru” agar Golkar tetap eksis di era reformasi. Zaman memang sudah berubah sejak jatuhnya rezim Soeharto, 16 tahun lalu. Mereka yang dulu bagian dari rezim kini tak takut unjuk gigi karena saat ini memang masa akhir yang tersedia bagi mereka untuk meraih kejayaan kembali.


Kampanye hitam

Kampanye pada Pemilu 2014 juga penuh dengan kampanye hitam untuk menghancurkan nama baik orang dan/atau partai yang akan berkontestasi dalam Pemilu Presiden 9 Juli 2014. Salah seorang yang terkena kampanye hitam tersebut adalah ARB, bakal capres dari Partai Golkar. Entah dari mana asalnya, kini beredar video dan foto-foto ARB dan dua kakak beradik (artis) saat mereka berlibur ke Maladewa. Di negara seperti Inggris dan AS, persoalan yang masuk kategori privat bisa menjadi urusan publik. Namun, di Australia, jika penulis tidak salah, ada pemisahan antara kehidupan pribadi seseorang dan aktivitas politiknya.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga tak luput dari kampanye hitam yang menggambarkan foto mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, di depannya ada foto gadis berpakaian amat tak seronok dan di belakangnya ada foto sapi. Ini terkait dengan kasus korupsi sapi impor asal Australia yang sempat menggemparkan politik Indonesia pada 2013. Prabowo Subianto juga mendapatkan serangan hebat dari para pedagang asongan yang berjualan di Gelora Bung Karno (GBK) karena mereka, katanya, dijanjikan dibayar lunas makanan dan minumannya saat Partai Gerindra berkampanye di GBK pada 23 Maret 2014. Ternyata, kata para pedagang asongan, mereka hanya dibayar Rp. 100.000 dan rugi besar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga, katanya, mendapatkan kampanye hitam dari Anas Urbaningrum.

Bakal calon presiden dari PDI-P, Joko Widodo (Jokowi), adalah orang yang paling banyak mendapat serangan dari kampanye hitam yang berlangsung selama ini. Badannya yang kerempeng dan wajahnya yang ndeso (orang desa) menyebabkan  salah seorang tokoh PKS menyebutnya orang yang tidak memiliki tampang untuk menjadi presiden. Ada juga kampanye negatif yang menyebutkan Jokowi didukung oleh kelompok agama minoritas dan ras minoritas, suatu kampanye yang bukan saja tidak bermartabat, melainkan juga membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Mereka lupa bahwa Indonesia merdeka, yang dibangun oleh para pendiri bangsa, bukan negara agama atau negara suku/ras, melainkan negara kebangsaan.

Satu hal yang menarik, jika semasa awal menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi ibarat media darling, sejak Jokowi dideklarasikan sebagai capres PDI-P pada 14 Maret 2014, tampaknya jadi media enemy dari jaringan media pers milik para tokoh politik yang juga akan maju sebagai capres atau cawapres atau yang partai barunya berupaya masuk parlemen. Bahkan, ada televisi yang mengampanyekan Jokowi sebagai public enemy (musuh publik) tanpa menjelaskan publik yang mana di Jakarta yang memusuhinya dan apakah yang mengatasnamakan publik itu benar-benar mewakili warga Jakarta.

Ada juga seorang ilmuwan politik yang menyebut Jokowi “kutu loncat” karena berpindah-pindah dari Wali Kota Solo menjadi Gubernur DKI Jakarta, dan kini jadi capres dari PDI-P, tanpa menyelesaikan masa tugasnya. “Kutu loncat” dalam terminologi politik adalah politisi yang berpindah-pindah partai dan ideologi atau berpindah tempat dari oposisi ke pemerintah dan sebaliknya. Pengamat ini tak menjelaskan bahwa Ahmad Heryawan juga tidak menyelesaikan tugasnya sebagai pimpinan DPRD di DKI Jakarta ketika ia maju sebagai cagub Jawa Barat. Irwan Prayitno juga meninggalkan posisinya sebagai anggota DPR ketika ia maju pertama kali sebagai calon gubernur Sumatera Barat. Alex Noerdin juga hanya cuti dan tidak mundur dari jabatannya ketika maju sebagai cagub DKI Jakarta pada 2012 dari Golkar.

Ada juga pengamat yang mengibaratkan Jokowi belum menyelesaikan kuliah tetapi sudah akan mengambil titel kesarjanaan yang lebih tinggi. Pengamat ini lupa bahwa sistem di sekolah negeri atau swasta di Indonesia, seorang murid yang kepandaiannya istimewa bisa naik kelas tanpa harus menyelesaikan  sekolah sampai akhir tahun. Seorang mahasiswa program master by research di Australia bisa dinaikkan (upgrade) ke program doktor jika proposal penelitiannya sangat baik. Namun, juga bisa diturunkan (downgrade) dari program doktor ke master atau dari master ke diploma sarjana jika ia dianggap tak mampu menyelesaikan kuliahnya.


Kampanye bermartabat

Sudah 16 tahun kita menikmati era demokrasi dan 10 tahun memiliki presiden yang dipilih secara langsung. Pada masa ini seharusnya demokrasi Indonesia sudah naik kelas dari transisi demokrasi ke konsolidasi demokrasi atau bahkan ke kedewasaan demokrasi. Pada Pemilu 2014 ini pula seharusnya kampanye-kampanye politiknya benar-benar mencerdaskan kehidupan bangsa dan bermartabat.

Bentuk-bentuk kampanye negatif seharusnya sudah digantikan dengan kampanye yang adu program. Kita juga tak perlu menghina jika ada seorang yang berwajah desa dan tidak memiliki presidential look maju sebagai calon presiden. Demokrasi memberi kesempatan kepada siapa pun untuk menjadi capres atau terpilih sebagai Presiden RI. Itulah esensi yang hakiki dari demokrasi.

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI
Kompas, Sabtu, 5 April 2014

No comments:

Post a Comment