Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Gaza adalah tragedi. Tragedi kemanusiaan. Dari hari ke hari, dari waktu ke waktu, cerita tentang Gaza (Jalur Gaza) adalah cerita tentang penderitaan,tentang kesengsaraan penduduk wilayah itu. Inilah wilayah yang sering disebut sebagai “penjara terbesar dan terpanjang di dunia”.
(AFP/Hazem Bader)
Begitulah sesungguhnya kenyataan dari sebuah wilayah yang disebut Jalur Gaza, yang berluas 365 kilometer persegi: panjang 40 kilometer, lebar 13 kilometer (terlebar), dan 5 kilometer (tersempit). Sejak tahun 1967, setelah berakhirnya perang, Israel menguasai wilayah darat, laut, dan udara Jalur Gaza.
Bagian barat Jalur Gaza berbatasan dengan Laut Tengah yang dikuasai Israel. Sebelah utara dan timur berbatasan dengan Israel, dan sebelah selatan berbatasan dengan Mesir. Jalur Gaza bagaikan sepotong “sandwich”. Wilayah ini dikelilingi tembok atau pagar pembatas, pos-pos pemeriksaan yang dibangun Israel, dan zona penyangga yang dimaksudkan untuk mencegah orang-orang Palestina, terutama yang oleh Israek dikategorikan sebagai para pengebom bunuh diri, masuk ke wilayah Israel.
Sangat wajarlah kalau suasana “claustrophobia”, rasa takut akan ruangan yang sempit dan tertutup, selalu membayangi penduduk Jalur Gaza. Penduduk Gaza berjumlah sekitar 1,6 juta orang pada waktu itu. Baru pada tahun 2005, Israel mengendurkan pengurungannya dan menarik pasukan penduduk serta warganya dari wilayah pemukiman di Jalur Gaza.
Akan tetapi, pengenduran pengurungan itu tidak berlangsung lama. Setelah Hamas memenangi pemilu parlemen, Januari 2006 (merebut 76 dari 132 kursi di parlemen), Israel memblokade lagi Jalur Gaza. Blokade ini menghancurkan perekonomian Gaza, membatasi gerak penduduknya, dan berdampak negatif terhadap kemampuan rakyat biasa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena mereka terbatas gerak dan aksesnya.
Blokade itu berlangsung selama lima tahun. Akibatnya sangat nyata: 34 persen angkatan kerja Gaza yang separuhnya anak-anak muda, menganggur. Karena hampir 30 persen bisnis di Gaza tutup dan 15 persen lainnya terpaksa merumahkan 80 persen tenaga kerjanya. Kebutuhan air, listrik, dan bahan bakar sangat bergantung pada pasokan dari Israel.
Di tengah blokade itu, pecahnya Perang Gaza, 27 Desember 2008-18 Januari 2009. Perang ini makin meluluhlantakkan Gaza: 4.000 rumah hancur, 50.800 orang mengungsi, 1.417 orang tewas, 5.303 orang terluka, dan 120 orang tertangkap. Banyak fasilitas umum dan infrastruktur hancur, termasuk gedung-gedung sekolah dan rumah sakit.
Ketika pecah perang, 52 persen dari 1,6 juta penduduknya adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun. Mereka inilah yang hidup di bawah kungkungan, tekanan, kekhawatiran, dan yang hidupnya selalu terancam, selalu dalam kecemasan. Kini, mereka sudah berusia 20 tahunan. Mereka ini pula yang akan menjadi pemimpin Gaza pada masa depan.
Kondisi tempat mereka lahir, tumbuh, dan berkembang akan sangat memengaruhi sikap mereka. Bagaimana mereka melihat dan mengartikan perdamaian. Ini penting sebab perdamaian lewat perang tidak akan mampu membangun perdamaian sejati. Sebab, perdamaian adalah persoalan dasar manusia, terlebih untuk menanggapi tendensi dasar kekerasan yang tidak jarang tumbuh kuat dalam naluri manusia: homo homini lupus….
Sulit membayangkan akan menjadi seperti apa Gaza dan manusia-manusia Gaza pada masa depan jika Israel tetap mengumbar tabiat angkara murkanya seperti sekarang ini.
Kompas, Minggu, 13 Juli 2014
No comments:
Post a Comment