Oleh MARIA HARTININGSIH dan AHMAD ARIF
Huruf “alif” terpampang di atas bagian kepala nisan Raden Mas Panji Sosrokartono (1877-1952) di Pasarean Sedo Mukti di Desa Kaliputu, Kecamatan Kota, Kudus, Jawa Tengah. Siang dibalut senyap yang nyenyat.
“Tidak ada pejabat dan politisi datang ke sini,” ujar Sunarto (53), juru kunci ke-10, yang menjaga kompleks pemakaman keluarga itu sejak Januari 1991. “Mungkin gentar membaca ajaran Eyang Sosro,” ujarnya.
Salah satu ajaran penting tersebut adalah Catur Murti atau empat dalam satu, yaitu menyatunya pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan; untuk dijalani. “Sekarang kan sudah tidak keruan,” kata Sunarto.
Selanjutnya, rajah “alif”, aksara pertama huruf Arab, melambangkan semua yang serba lurus dalam laku hidup. “Sekarang ‘bengkong’-nya banyak,” katanya.
Yang ia maksud “bengkong”, dalam falsafah Jawa dikenal sebagai jalan gelap, mo-limo, madat, madon, minum, main, maling. Semua terkait syahwat manusia.
Maling, berarti mencuri hak orang lain, termasuk korupsi dan manipulasi dalam segala bentuknya. Main, berjudi dalam arti luas, yang taruhannya bisa terkait hajat hidup orang banyak. Minum, menenggak yang memabukkan. Madon, mengejar pemuasan nafsu birahi. Madat, mengisap segala yang membuat ketagihan, termasuk narkoba. Kelimanya saling kait, menghancurkan manusia, dan lambat laut, suatu bangsa.
Tokoh pergerakan
RMP Sosrokartono adalah kakak kandung RA Kartini. Lahir di Mayong, Jepara, 10 April 1877, menurut berbagai sumber, sejak kecil ia sudah terlihat istimewa: cerdas dan bisa membaca masa depan. Ia adalah mahasiswa Indonesia pertama di Belanda, tahun 1898, sebelum datangnya generasi Moh Hatta.
Dari sana ia mengirim buku dan membakar semangat Kartini mewujudkan cita-cita emansipasi. Hubungan keduanya amat dekat. Konon, kematian Kartini sempat membuatnya terguncang.
Sosrokartono lulus summa cumlaude dari Jurusan Bahasa dan Susastra Timur di Leiden. Lelaku tampan yang tidak menikah itu dikenal sebagai Pangeran dari Jawa.
Ia seorang poliglot. Banyak sumber menyebutkan, ia menguasai 26 bahasa asing dengan baik. Namanya tercantum sebagai pendiri Indische Vereeniging di Belanda, 1908, organisasi kaum intelektual Indonesia di Belanda – menjadi Indonesische Vereeniging tahun 1922 dan Perhimpunan Indonesia, 1925 – yang menyoal kemerdekaan Indonesia.
Dama Memoir (1982), Moh Hatta mengaku Sosrokartono sebagai genius. Ia mengisahkan kecerdasan dan keberanian Sosrokartono di hadapan kaum etis Belanda (Mr Abendanon, Van Deventer, dan lain-lain) dalam suatu perjamuan dan menolak tawaran merampungkan disertasi doktoralnya yang diganjal Snouck Hugronye.
Gagal meraih doctor tak menghentikan langkahnya. Dengan kemahirannya berbahasa asing, Sosrokartono menjadi wartawan Indonesia pertama di kancah internasional. Selama 29 tahun di Eropa, ia pernah menjadi wartawan beberapa surat kabar dan majalah, sebelum menjadi perwakilan The New York Herald di Wina.
Ia terlibat dalam upaya menghentikan Perang Dunia I, sebagai penerjemah tunggal perundingan rahasia pihak yang bertikai, di satu gerbong kereta api di hutan Compiègne, Perancis. Beritanya lolos di The New York Time Herald. Penulisnya berkode tiga bintang, konon kode samaran Kartono.
Ki Sunarto di makam RMP Sosrokartono di Pasarean Sedo Mukti, Desa Kaliputu, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, pada Kamis (3/7/2014) siang. (Kompas/P Raditya Mahendra Yasa)
Spiritualisme Timur
Setelah Perang Dunia I usai, Kartono sempat menjadi kepala penerjemah di Liga Bangsa-Bangsa di Geneva, cikal bakal PBB. Tahun 1919, ia juga diangkat menjadi Atase Kebudayaan di Kedutaan Besar Perancis di Belanda. Kemampuannya ditengarai seorang ahli kejiwaan dan hipnosis setelah menyembuhkan anak usia 12 tahun hanya dengan menempelkan tangan di dahi anak itu. Padahal, dokter sudah menyerah.
Sosrokartono lalu meninggalkan Geneva menuju Paris untuk belajar psikometri dan teknik psikiatri, tetapi jurusan itu ternyata hanya untuk lulusan sekolah kedokteran. Ia kecewa dan kembali ke Tanah Air tahun 1926, sempat bergerak di bidang pendidikan, lalu menetap di Bandung, mendirikan perpustakaan Dar-oes-Salam. Di situlah Soekarno sering datang untuk berdiskusi. Ia seperti guru spiritual bagi Soekarno.
Selama itu, ia banyak tirakat. Kemampuannya makin terasah dan kemudian dikenal sebagai penyembuh. Banyak julukannya, di antaranya “dokter cai” karena media penyembuhannya hanya air dan secarik kertas dengan rajah “alif”.
Endangarie Soedarmodjo (60), warga Bandung, masih ingat, waktu kecil, kalau badannya panas, oleh ibunya ia diberi minum air putih yang sudah dicelup kertas putih segi empat bertuliskan huruf “alif”, berwarna merah.
“Biasanya tak lama kemudian saya sudah baik,” kenang Endang. “Ibu menyebut orang yang memberi kertas itu Kakak Alif,” ujar Endang.
Budayawan Radhar Panca Dahana mengatakan, sosok jenial itu ingin menyatukan dua kekuatan peradaban: mistisisme Jawa dan peradaban intelektual Eropa.
“Dua profesornya dari Eropa menjumpai dia sedang menggosok keris dan batu cincin di dapur di satu rumah di Bandung,” ujar Radhar dalam wawancara beberapa waktu lalu.
Dikenal sebagai ahli tasawuf, Sosrokartono perlahan menarik diri dari keramaian. Itu pula yang membuat nama besarnya di Barat dilupakan di Tanah Air.
Ajaran-ajarannya, bahkan nama samarannya, mencerminkan kebersahajaan hidup, di antaranya sugih tanpa banda, ngelmu tanpa aji, ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake, terukir di sisi kanan batu nisan. Ia menjalani laku hidup seperti itu: kaya tanpa harta, berilmu tanpa senjata dan aji-aji, ke mana pun sendiri, menang tanpa merendahkan.
“Salah satu nama samaran Eyang adalah Jaka Pring,” lanjut Sunarto. Dalam bahasa Jawa Krama Inggil, pring atau bamboo adalah deling, singkatan kendel (berani) dan eling (sadar). Ilmunya, kantong bolong, artinya tidak menimbun harta.
Menurut Sunarto, kalau para pemimpin ikut ilmu laku Eyang Sosro, berilmu kantong bologn, kendel, dan eling, Indonesia pasti loh jinawi, tidak ada korupsi, tentrem, jenjem…
Kompas, Sabtu, 19 Juli 2014
No comments:
Post a Comment