Oleh HARRY SUSILO
Sahutan kumandang azan dan dentang lonceng gereja menjadi keseharian di Kampung Sawah, Kelurahan Jatimurni, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi, Jawa Barat. Warga yang berbeda keyakinan menjalani hidup dengan harmonis.
Jumat (6/3) siang itu, kaum Muslim berduyun-duyun memasuki pelataran Masjid Al Jauhar Fisabilillah, Kampung Sawah, untuk menunaikan shalat Jumat. Beberapa menit sebelum azan berkumandang, lonceng Gereja Katolik Santo Servatius berdentang. Bunyinya terdengar jelas dari masjid.
Gereja Santo Servatius terletak sekitar 100 meter dari Masjid Al Jauhar. Tempat ibadah lain, Gereja Kristen Pasundan, juga hanya berjarak sekitar 50 meter dari masjid. Ketiga tempat ibadah yang cukup megah itu berdiri berdampingan.
Tempat ibadah itu layaknya warga beragama Islam, Kristen Protestan, dan Katolik yang juga hidup berdampingan dengan damai di pinggiran Kota Bekasi ini. "Di sini hal yang biasa. Kalau azan, ya, kami pergi ke masjid. Kalau lonceng berdentang, ya, warga lain pergi ke gereja. Tidak ada masalah," ujar KH Rachmadin Afif (69), pengasuh Masjid Al Jauhar sekaligus Ketua Yayasan Fisabilillah.
Kampung Betawi yang terletak sekitar 40 kilometer arah tenggara Jakarta ini melakoni kerukunan antarumat beragama sebagai sebuah kebiasaan. Toleransi telah membudaya, sudah berlangsung lebih dari seabad.
Satu keluarga
Rachmadin Afif pun memiliki setidaknya sepuluh saudara yang beragama Kristen Protestan ataupun Katolik. Salah satunya mantan pimpinan Gereja Kristen Pasundan. "Kalau kami Lebaran, mereka datang silaturahim. Saat mereka Natal, kami juga pergi ke sana untuk silaturahim," ucap Rachmadin.
Mantan Ketua Majelis Gereja Kristen Pasundan Budiman Dani (61) mengatakan, warga berbeda keyakinan masih banyak terdapat dalam sebuah keluarga. Pada umumnya, perpindahan agama terjadi karena pernikahan. "Berkeyakinan itu, kan, hak setiap individu. Yang penting tetap saling menghargai," ujar Budiman.
Eratnya hubungan kekeluargaan di Kampung Sawah ditandai adanya nama marga, seperti Dani, Rikin, Napiun, Niman, Saiman, Bicin, dan Kelip. Untuk itu, tidak heran jika dalam satu marga ada yang menganut agama Islam, Protestan, ataupun Katolik.
Meski menganut keyakinan berbeda, warga tetap menjalani rutinitas dengan damai. Selain saling berkunjung, Budiman mencontohkan, sebagian warga yang masih satu keluarga juga tetap melanggengkan tradisi mengantar makanan atau dalam bahasa Betawi Kampung Sawah disebut ngejotin.
"Biasanya makanan itu isinya nasi, lauk-pauk, sayur, dan kue. Sejak krisis moneter 1998 memang tradisi ini agak berkurang, tetapi dalam satu keluarga biasanya masih dipertahankan," kata Budiman.
Salah satu pimpinan Paguyuban Umat Beragama Kampung Sawah, Richardus Jacobus Napiun, menyebutkan, kerukunan di Kampung Sawah berlangsung secara alamiah, tanpa dibuat-buat. "Keberagaman di Kampung Sawah bukan dibentuk pada generasi saya sekarang, melainkan sudah ada sejak zaman leluhur kami. Bukan sesuatu yang dimunculkan," ucap pria yang akrab disapa Jacob ini.
Agama Islam masuk lebih dulu di Kampung Sawah sebelum dua agama lainnya. Lalu, agama Protestan masuk pada 1880-an, ditandai dengan berdirinya Gereja Kristen Pasundan pada 1886. Sepuluh tahun berselang, dibangunlah Gereja Katolik Santo Servatius.
Meski memeluk agama berbeda, toleransi di Kampung Sawah telah berlangsung turun-temurun karena warga menjaga amanah para leluhur. Jacob, misalnya, memegang teguh pesan kakeknya. "Kata kakek saya, 'Kalau kamu sudah dewasa, apa pun agamamu dan agama temanmu, kalian harus tetap rukun'," tutur Jacob.
Jacob sendiri memiliki adik kandung beragama Islam. Namun, sebagai umat Katolik, dia tetap menyediakan ruang khusus untuk shalat berikut perlengkapannya.
Hamdan (60), warga Kampung Sawah, mengatakan, sejauh ini perbedaan keyakinan warga di Kampung Sawah tidak menjadi penghalang untuk bersilaturahim. Bahkan, saat Idul Fitri, warga Protestan dan Katolik turut menjaga keamanan. Begitu pula sebaliknya, saat Natal, sebagian kaum Muslim membantu mengamankan. "Kami ingin menjaga supaya tidak ada yang memprovokasi," ujar Hamdan.
Agar toleransi tetap subur, upaya untuk menjalin komunikasi antarwarga pun terus dibangun. Beberapa warga berinisiatif memunculkan koran komunitas Suara Kampung Sawah yang berslogan "Ngelestariin Pesodaraan". Koran berupa selebaran berwarna hitam putih ini berisi aspirasi warga dan segala sesuatu yang terjadi di Kampung Sawah.
Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi menilai, kerukunan di Kampung Sawah dapat menjadi contoh bagi daerah lain, tidak hanya di Bekasi, tetapi juga di Indonesia. Warga menunjukkan bagaimana pluralisme berjalan harmonis. "Keberagaman di Kampung Sawah bukan menjadi persoalan sosial, malah menjadi perekat," ujar Rahmat.
Kompas, Senin, 9 Maret 2015
No comments:
Post a Comment