Oleh
MOHAMMAD HILMI FAIQ
(Sumber: 108jakarta.com)
Jalan itu
tak lurus. Tak lebar. Bahkan terbilang pendek karena hanya membentang sekitar
500 meter. Namun, di jalan itu tersimpan cerita kegigihan, kedermawanan,
keuletan, dan ketokohan Oey Thai Lo, pemilik Toko Tiga. Itulah Jalan Toko Tiga,
Jakarta.
Nama Toko
Tiga mengilhami munculnya Jalan Toko Tiga yang menghubungkan Jalan Tambora dan
Jalan Pintu Kecil di Kelurahan Roa Malaka, Tambora, Jakarta Barat. Lebar jalan
mencapai 5 meter tetapi mobil dan sepeda motor kesulitan melaju lantaran
sebagian ruas jalan dialihfungsikan sebagai lahan parkir.
Siang itu,
Rabu (9/9), puluhan mobil berjajar di tepi Jalan Toko Tiga, persis di bibir
Kali Krukut. Sebagian orang meninggalkan mobil di sana. Sebagian lain sibuk
membongkar atau memuat berbagai jenis barang ke dalam mobil boks atau truk yang
datang silih berganti seakan tiada habis.
Di seberang
mobil-mobil parkir itu berderet berbagai toko, mulai dari toko mesin jahit,
kertas, sepatu, peralatan memancing, perlengkapan rumah tangga, mebel,
tembakau, hingga apotek. Hingga malam, jalan ini masih sangat ramai. “Kalau
tengah malam agak sepi. Pagi ramai lagi,” kata Rosyid (26), juru parkir.
Jalan Toko
Tiga sudah terkenal ramai oleh perdagangan, paling tidak sejak 1819, kala Oey
Thai Lo memenangi lelang pembelian Toko Tiga dan mengembangkan usaha tembakau
di sana. Sayangnya, tapak bangunan Toko Tiga ini susah dilacak.
Ketika
bertanya kepada warga, mereka menganjurkan pertanyaan tersebut diajukan kepada
Lilik Marjono (56), warga Jawa Tengah, yang sudah sejak umur lima tahun tinggal
di Roa Malaka. Lilik meyakini, Toko Tiga milik Thai Lo itu telah berubah
menjadi beberapa toko. Itu bisa dilihat dari sisa bangunan yang kini menjadi
Toko Lautan Mas di Jalan Toko Tiga Nomor 24. “Sejak saya kecil, toko itu yang
paling besar di sini,” kata Lilik.
Di sepanjang
Jalan Toko Tiga, tinggal satu bangunan tua berarsitektur Tiongkok yang beratap
runcing. Bangunan itu sudah “dicacah-cacah” menjadi setidaknya enam toko, yaitu
Embossindo Utama, Sinar Saudara, Sinar Saudara Baru, Lautan Mas, Bintang Mas,
dan Universal. Hanya toko peralatan pancing Lautan Mas yang masih
mempertahankan sebagian arsitektur luar bangunan asli.
“Dulu ini
memang toko tembakau, tapi saya tidak tahu namanya. Setelah kerusuhan 1998
berubah menjadi toko peralatan pancing,” kata Jimmy Halim (38), petugas
keamanan Lautan Mas.
Keluarga
Thai Lo pun tidak mengetahui lagi letak tapak bangunan Toko Tiga yang sempat
membesarkan nama Thai Lo itu. Oey Kwie Djien alias Robert R Widjaja (78)
menjelaskan, dia tidak pernah tinggal di Toko Tiga. Namun, ayahnya, Oey Kim
Tjiang, pernah tinggal di sana hingga tahun 1920-an. Kim Tjiang merupakan cicit
dari Thai Lo.
Robert yang
merupakan pendiri dan pemilik PT
Tigaraksa Satria juga tak ingin mencari lagi sisa-sisa bangunan Toko Tiga itu.
“Sudah sangat sulit. Saya khawatir malah bangunannya sudah tidak ada lagi,”
ujarnya.
Meski
demikian, nama Toko Tiga kadung melekat, tidak hanya menjadi nama jalan, tetapi
seolah menjadi penanda. Banyak toko di sepanjang jalan ini menggunakan label
“Toko Tiga” pada papan namanya. Selain itu, keteladanan Thai Lo tetap hidup di
keluarga Robert. Dia mendengar cerita tentang kegigihan, kedermawanan,
keuletan, dan ketokohan Oey Thai Lo lewat ayah, ibu, dan kakeknya.
(Kompas/Lucky Pransiska)
Novel sejarah
Robert
kemudian mencari rujukan dan bukti sejarah cerita-cerita tentang Toko Tiga
sehingga muncul novel berbasis sejarah dalam Letnan Oey Thai Lo: Anak Tukang Cukur Miskin dari Fukien Menjadi Taipan
di Betawi (2015). Buku itu melibatkan Remy Sylado sebagai editor.
Dikisahkan, Oey Thai Lo yang bernama asli Oey Yi Bu adalah anak seorang tukang
cukur di Jinjiang, Provinsi Fukien, Tiongkok selatan. Dia lalu merantau ke Jawa
dan menjadi pengusaha tembakau di Brebes, Jawa Tengah.
Usahanya
terbilang kecil karena masih berada di bawah tauke besar. Namun, nasib Thai Lo
berubah setelah bertemu dengan seorang anak yang tengah bermain layang-layang.
Robert menceritakan, Thai Lo melihat seorang anak bermain layang-layang
bergambar angka 100. Saat itu sekitar tahun 1812. Dia menilai gambar itu aneh
dan menduganya sebagai surat utang Belanda yang digunakan selama membangun jalan Postweg yang membentang dari
Anyer sampai Panarukan. Thai Lo tertarik dan menukarnya dengan sekeping tembaga.
Anak itu
bersedia dan bercerita bahwa ayahnya menyimpan sepeti kertas serupa. Thai Lo
lantas menukar seluruh kertas yang jumlahnya 354 lembar itu dengan sejumlah
uang. Benar saja, kertas tersebut ternyata surat utang Gubernur Daendels yang
ia keluarkan dengan jaminan tanah di Probolinggo, Besuki, dan Panarukan. Thai
Lo menjadi orang kaya setelah menjualnya ke Batavia.
Dengan uang
itu, dia mengembangkan usaha tembakau dan membantu menyejahterakan petani.
Dengan hasil usahanya itu pulalah, Thai Lo berani ikut lelang Toko Tiga dan
secara mengejutkan memenanginya, mengalahkan para taipan lain. Ketika yang lain
menawar dengan kenaikan harga 200 gulden, Thai Lo yang namanya belum dikenal di
Batavia berani menawar dengan kenaikan 500 gulden. Toko Tiga dia beli seharga
9.000 gulden.
Toko Tiga
menjadi tonggak baru usaha penjualan tembakau Thai Lo. Disebut Toko Tiga karena
bangunan tersebut terdiri atas tiga bangunan yang berfungsi sebagai toko dan
rumah. “Sebelum dibeli Thai Lo, namanya sudah Toko Tiga,” kata Robert.
Berpusat di
Toko Tiga, Thai Lo menjadi raja tembakau. Dia menguasai pasar tembakau di
Batavia, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Keuntungannya mencapai
283.000 gulden. Waktu itu, harga ruko berukuran 140 meter persegi hanya sekitar
1.000 gulden.
Meski
demikian, Thai Lo berpenampilan sederhana sehingga, di luar jaringan bisnisnya,
tak banyak orang mengenal dia sebagai orang kaya. Dia juga sangat dermawan,
tetapi perhitungan. Setiap kelenteng dia sumbang, tetapi disurvei dulu untuk
mengukur kebutuhannya. Keluhuran budinya itu mendorong Kapiten Betawi Ko Tiang
Tjong mengangkatnya menjadi Letnan Oey Thai Lo.
Banyak orang
tidak pernah tahu atau lupa dengan Thai Lo. Namun, warga Jakarta lebih kenal
dengan Jalan Toko Tiga. Jalan yang sekarang ini padat, bahkan cenderung
semrawut dan dipenuhi para pekerja keras. Itulah salah satu semangat Thai Lo
yang masih menjejak: kerja keras!
Dari kanan ke kiri: Robert B Widjaja, bersama istri, Ninik L Kariem dan Remy Sylado dalam acara peluncuran buku Letnan Oey Thai Lo: Anak Tukang Cukur Miskin dari Fukien Menjadi Taipan di Betawi (Sumber: Jakarta Post)
Bangunan cagar budaya yang masih tersisa di Jalan Toko Tiga, Jakarta, Kamis (10/9). Kawasan ini merupakan pusat perniagaan yang menyisakan bangunan cagar budaya. (Kompas/Lucky Pransiska)
KOMPAS, Minggu, 13 September 2015
No comments:
Post a Comment