Sunday, 13 September 2015

Jejak Kerja Keras di Jalan Toko Tiga

Oleh MOHAMMAD HILMI FAIQ

(Sumber: 108jakarta.com)

Jalan itu tak lurus. Tak lebar. Bahkan terbilang pendek karena hanya membentang sekitar 500 meter. Namun, di jalan itu tersimpan cerita kegigihan, kedermawanan, keuletan, dan ketokohan Oey Thai Lo, pemilik Toko Tiga. Itulah Jalan Toko Tiga, Jakarta.

Nama Toko Tiga mengilhami munculnya Jalan Toko Tiga yang menghubungkan Jalan Tambora dan Jalan Pintu Kecil di Kelurahan Roa Malaka, Tambora, Jakarta Barat. Lebar jalan mencapai 5 meter tetapi mobil dan sepeda motor kesulitan melaju lantaran sebagian ruas jalan dialihfungsikan sebagai lahan parkir.

Siang itu, Rabu (9/9), puluhan mobil berjajar di tepi Jalan Toko Tiga, persis di bibir Kali Krukut. Sebagian orang meninggalkan mobil di sana. Sebagian lain sibuk membongkar atau memuat berbagai jenis barang ke dalam mobil boks atau truk yang datang silih berganti seakan tiada habis.

Di seberang mobil-mobil parkir itu berderet berbagai toko, mulai dari toko mesin jahit, kertas, sepatu, peralatan memancing, perlengkapan rumah tangga, mebel, tembakau, hingga apotek. Hingga malam, jalan ini masih sangat ramai. “Kalau tengah malam agak sepi. Pagi ramai lagi,” kata Rosyid (26), juru parkir.

Jalan Toko Tiga sudah terkenal ramai oleh perdagangan, paling tidak sejak 1819, kala Oey Thai Lo memenangi lelang pembelian Toko Tiga dan mengembangkan usaha tembakau di sana. Sayangnya, tapak bangunan Toko Tiga ini susah dilacak.

Ketika bertanya kepada warga, mereka menganjurkan pertanyaan tersebut diajukan kepada Lilik Marjono (56), warga Jawa Tengah, yang sudah sejak umur lima tahun tinggal di Roa Malaka. Lilik meyakini, Toko Tiga milik Thai Lo itu telah berubah menjadi beberapa toko. Itu bisa dilihat dari sisa bangunan yang kini menjadi Toko Lautan Mas di Jalan Toko Tiga Nomor 24. “Sejak saya kecil, toko itu yang paling besar di sini,” kata Lilik.

Di sepanjang Jalan Toko Tiga, tinggal satu bangunan tua berarsitektur Tiongkok yang beratap runcing. Bangunan itu sudah “dicacah-cacah” menjadi setidaknya enam toko, yaitu Embossindo Utama, Sinar Saudara, Sinar Saudara Baru, Lautan Mas, Bintang Mas, dan Universal. Hanya toko peralatan pancing Lautan Mas yang masih mempertahankan sebagian arsitektur luar bangunan asli.

“Dulu ini memang toko tembakau, tapi saya tidak tahu namanya. Setelah kerusuhan 1998 berubah menjadi toko peralatan pancing,” kata Jimmy Halim (38), petugas keamanan Lautan Mas.

Keluarga Thai Lo pun tidak mengetahui lagi letak tapak bangunan Toko Tiga yang sempat membesarkan nama Thai Lo itu. Oey Kwie Djien alias Robert R Widjaja (78) menjelaskan, dia tidak pernah tinggal di Toko Tiga. Namun, ayahnya, Oey Kim Tjiang, pernah tinggal di sana hingga tahun 1920-an. Kim Tjiang merupakan cicit dari Thai Lo.

Robert yang merupakan pendiri dan pemilik  PT Tigaraksa Satria juga tak ingin mencari lagi sisa-sisa bangunan Toko Tiga itu. “Sudah sangat sulit. Saya khawatir malah bangunannya sudah tidak ada lagi,” ujarnya.

Meski demikian, nama Toko Tiga kadung melekat, tidak hanya menjadi nama jalan, tetapi seolah menjadi penanda. Banyak toko di sepanjang jalan ini menggunakan label “Toko Tiga” pada papan namanya. Selain itu, keteladanan Thai Lo tetap hidup di keluarga Robert. Dia mendengar cerita tentang kegigihan, kedermawanan, keuletan, dan ketokohan Oey Thai Lo lewat ayah, ibu, dan kakeknya.

(Kompas/Lucky Pransiska)

Novel sejarah
Robert kemudian mencari rujukan dan bukti sejarah cerita-cerita tentang Toko Tiga sehingga muncul novel berbasis sejarah dalam Letnan Oey Thai Lo: Anak Tukang Cukur Miskin dari Fukien Menjadi Taipan di Betawi (2015). Buku itu melibatkan Remy Sylado sebagai editor. Dikisahkan, Oey Thai Lo yang bernama asli Oey Yi Bu adalah anak seorang tukang cukur di Jinjiang, Provinsi Fukien, Tiongkok selatan. Dia lalu merantau ke Jawa dan menjadi pengusaha tembakau di Brebes, Jawa Tengah.

Usahanya terbilang kecil karena masih berada di bawah tauke besar. Namun, nasib Thai Lo berubah setelah bertemu dengan seorang anak yang tengah bermain layang-layang. Robert menceritakan, Thai Lo melihat seorang anak bermain layang-layang bergambar angka 100. Saat itu sekitar tahun 1812. Dia menilai gambar itu aneh dan menduganya sebagai surat utang Belanda yang digunakan selama  membangun jalan Postweg yang membentang dari Anyer sampai Panarukan. Thai Lo tertarik dan menukarnya dengan sekeping tembaga.

Anak itu bersedia dan bercerita bahwa ayahnya menyimpan sepeti kertas serupa. Thai Lo lantas menukar seluruh kertas yang jumlahnya 354 lembar itu dengan sejumlah uang. Benar saja, kertas tersebut ternyata surat utang Gubernur Daendels yang ia keluarkan dengan jaminan tanah di Probolinggo, Besuki, dan Panarukan. Thai Lo menjadi orang kaya setelah menjualnya ke Batavia.

Dengan uang itu, dia mengembangkan usaha tembakau dan membantu menyejahterakan petani. Dengan hasil usahanya itu pulalah, Thai Lo berani ikut lelang Toko Tiga dan secara mengejutkan memenanginya, mengalahkan para taipan lain. Ketika yang lain menawar dengan kenaikan harga 200 gulden, Thai Lo yang namanya belum dikenal di Batavia berani menawar dengan kenaikan 500 gulden. Toko Tiga dia beli seharga 9.000 gulden.

Toko Tiga menjadi tonggak baru usaha penjualan tembakau Thai Lo. Disebut Toko Tiga karena bangunan tersebut terdiri atas tiga bangunan yang berfungsi sebagai toko dan rumah. “Sebelum dibeli Thai Lo, namanya sudah Toko Tiga,” kata Robert.

Berpusat di Toko Tiga, Thai Lo menjadi raja tembakau. Dia menguasai pasar tembakau di Batavia, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Keuntungannya mencapai 283.000 gulden. Waktu itu, harga ruko berukuran 140 meter persegi hanya sekitar 1.000 gulden.

Meski demikian, Thai Lo berpenampilan sederhana sehingga, di luar jaringan bisnisnya, tak banyak orang mengenal dia sebagai orang kaya. Dia juga sangat dermawan, tetapi perhitungan. Setiap kelenteng dia sumbang, tetapi disurvei dulu untuk mengukur kebutuhannya. Keluhuran budinya itu mendorong Kapiten Betawi Ko Tiang Tjong mengangkatnya menjadi Letnan Oey Thai Lo.

Banyak orang tidak pernah tahu atau lupa dengan Thai Lo. Namun, warga Jakarta lebih kenal dengan Jalan Toko Tiga. Jalan yang sekarang ini padat, bahkan cenderung semrawut dan dipenuhi para pekerja keras. Itulah salah satu semangat Thai Lo yang masih menjejak: kerja keras!

Dari kanan ke kiri: Robert B Widjaja, bersama istri, Ninik L Kariem dan Remy Sylado dalam acara peluncuran buku  Letnan Oey Thai Lo: Anak Tukang Cukur Miskin dari Fukien Menjadi Taipan di Betawi (Sumber: Jakarta Post)

Bangunan cagar budaya yang masih tersisa di Jalan Toko Tiga, Jakarta, Kamis (10/9). Kawasan ini merupakan pusat perniagaan yang menyisakan bangunan cagar budaya.
Bangunan cagar budaya yang masih tersisa di Jalan Toko Tiga, Jakarta, Kamis (10/9). Kawasan ini merupakan pusat perniagaan yang menyisakan bangunan cagar budaya. (Kompas/Lucky Pransiska)

KOMPAS, Minggu, 13 September 2015

No comments:

Post a Comment