Oleh RAVANDO
Kegemilangan Jonathan Christie dalam menyabet medali emas
Asian Games 2018 semakin menegaskan posisi Indonesia sebagai negeri bulu
tangkis paling berpengaruh. Dominasi Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi
Gideon yang berhasil mengoleksi belasan gelar juara hanya dalam kurun dua tahun
membuat nama Indonesia begitu disegani di kancah bulu tangkis internasional,
khususnya di sektor ganda putra.
Tidak ada yang menyangsikan posisi Indonesia sebagai salah satu negara bulu tangkis paling berpengaruh di dunia. Bulu tangkis, seperti yang ditulis Colin Brown dalam artikel berjudul Playing the Game: Ethnicity and Politics in Indonesian Badminton, sudah menjadi semacam identitas nasional yang mampu menembus sekat-sekat perbedaan. Ketika olahraga lain kesulitan berprestasi di kancah internasional, bulu tangkis selalu menjadi penyelamat wajah Indonesia di mata dunia.
Namun, proses Indonesia untuk menjadi negeri bulu tangkis
tidak berlangsung instan sekalipun kemungkinan Indonesia sudah mengenal
olahraga tersebut sejak tahun 1930-an. Kita mungkin sudah tidak asing dengan
kegemilangan Rudy Hartono yang berhasil menyabet delapan gelar All England, di
mana tujuh di antaranya dilakukan secara beruntun.
Lalu ada juga Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma yang
berhasil membuka keran medali emas Indonesia di kancah Olimpiade. Belum lagi
nama-nama besar, seperti Liem Swie King, Minarni, Christian Hadinata, hingga
Imelda Wiguna yang berulang kali mengharumkan nama Indonesia di mata dunia.
Akan tetapi, kita kerap melupakan periode 1950-an sebagai
tonggak awal dari prestasi Indonesia di dunia bulu tangkis. Momentum tersebut
diawali oleh kemunculan The Magnificent Seven yang terdiri dari Ferry
Sonneville, Tan Joe Hok, Tan King Gwan, Eddy Joesoef, Njoo Kiem Bie, Lie Poo
Djian, dan Olich Solichin yang berulang kali mengerek nama Indonesia di kancah
internasional. Diawali dengan kemenangan Ferry Sonneville di ajang Malaysia
Open (1955) dan Dutch Open (1956), pundi-pundi prestasi bulu tangkis Indonesia
pun resmi dimulai.
Piala Thomas 1958: Sebuah Momentum
Titik balik tersebut terjadi pada Juni 1958 ketika Indonesia
memutuskan berpartisipasi dalam ajang Piala Thomas untuk pertama kali. Tidak
ada yang memprediksi Indonesia akan mampu berbuat banyak dalam turnamen putra
beregu terbesar di dunia tersebut.
Semua mata dunia tertuju kepada tim Malaya, selaku juara
tiga kali beruntun sejak kompetisi tersebut pertama kali digelar pada 1949.
Berbagai bursa taruhan pun menjagokan Malaya akan menggondol Piala Thomas untuk
keempat kali.
Apalagi, tim Malaya saat itu dihuni oleh skuad terbaiknya.
Selain Eddy Choong, yang telah menjuarai All England, Denmark Open, Dutch Open,
dan Scotland Open, ada juga nama Johnny Heah dan Lim Say Hup, ganda terbaik
dunia kala itu.
Kepercayaan diri berlebih Malaya tersebut tersirat jelas
dalam pernyataan Ketua Bulu Tangkis Malaya, Heah Joo Seang, seperti dikutip
oleh The Straits Times pada 2 Juni 1958: ”Kami sudah memilih tim yang kuat.
Kami pasti menang. Saya bahkan sudah memesan empat botol sampanye untuk
perayaan kemenangan.”
Situasi demikian jelas berkebalikan dengan skuad Indonesia
yang dihuni oleh The Magnificent Seven dengan Thio Tju Djen dan Tan Thiam Beng
sebagai cadangan. Tidak ada pelatih yang mendampingi keberangkatan mereka.
Pengaturan tim pun didasarkan pada rembukan antarpemain
saja. Menjelang H-1 keberangkatan, regu Indonesia pun memutuskan menginap di
sebuah hotel melati di kawasan Gunung Sahari lantaran pertimbangan jarak yang
dekat dengan Bemayoran, di samping juga menghemat uang.
Berbekal jas pinjaman, mereka pun menuju bandara dengan
diantar becak. Keberangkatan mereka pun berlangsung sunyi tanpa ada seremoni
pelepasan. Tercatat hanya Ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI) saja yang
mendampingi rombongan, tentu tanpa ekspektasi tinggi bahwa mereka akan membawa
Piala Thomas ke Ibu Pertiwi.
Selama di Singapura, regu bulu tangkis Indonesia mendapatkan
sokongan makanan dari masyarakat Indonesia yang tinggal di sana. Di luar itu,
segala sesuatu harus diurus sendiri oleh mereka. Namun, di tengah keterbatasan
tersebut, Indonesia tetap berhasil membuat kejutan. Sebelumnya, tim Indonesia
berhasil melewati babak kualifikasi dengan meyakinkan setelah menumbangkan
Australia dan Selandia Baru dengan skor 9-0.
Denmark pun menjadi lawan Indonesia di babak utama, yang
tentu saja jauh lebih diunggulkan lantaran dihuni nama-nama besar seperti
Erland Kops dan Jorgen Hammergaard Hansen. Di luar prediksi, Indonesia mampu
membekuk Denmark dengan skor 6-3. Nama Tan Joe Hok pun mulai mencuri perhatian
setelah berhasil mengalahkan Finn Kobero dengan permainan atraktifnya.
Kejutan itu terus berlanjut dalam babak lanjutan ketika
Indonesia membantai Thailand 8-1, yang mengantarkan tim Indonesia bertemu
dengan Malaya di babak final. Indonesia kembali mengejutkan di final hari
pertama. Dari total empat pertandingan yang dimainkan pada hari pertama,
Indonesia mampu memetik tiga kemenangan yang dibukukan oleh Tan Joe Hok, Ferry
Sonneville, dan pasangan ganda Njoo Kiem Bie dan Tan King Gwan.
Angka kemenangan berhasil dibukukan Eddy Joesoef pada hari
kedua setelah mengalahkan Abdullah Piruz. Skor 5-1 pun memastikan Piala Thomas
direbut Indonesia dalam keikutsertaannya untuk pertama kali sekalipun di tiga
pertandingan sisa Indonesia harus menelah kekelahan.
Kemenangan tersebut pun disambut dengan gegap gempita oleh
seluruh rakyat Indonesia. Di tengah beragam permasalahan politik dan ekonomi
yang tengah melanda, berita ini tentu ibarat menjadi oase di tengah padang
gurun. Ribuan masyarakat pun tumpah ruah ke jalan, menyambut kepulangan skuad
Indonesia ke Tanah Air.
Media cetak silih berganti memuat profil mereka. Foto skuad
The Magnificent Seven terpampang di berbagai papan reklame di sudut-sudut jalan
Ibu Kota. Nama mereka pun dielu-elukan sebagai pahlawan oleh rakyat Indonesia.
Presiden Soekarno pun secara khusus mengundang dan menjamu
mereka ke Istana Negara. Dalam salah satu wawancara saya dengan Tan Joe Hok,
satu-satunya anggota The Magnificent Seven tersisa, menuturkan pesan dari
Soekarno yang masih membekas, yaitu ”Ingat, kamu akan terus bermain untuk
bangsa dan negaramu!” Prestasi itu terasa semakin lengkap lantaran pada akhir
tahun 1958, nama Tan Joe Hok juga dinobatkan sebagai pebulu tangkis terbaik
dunia.
Momen Piala Thomas tersebut pun menjadi semacam pembuka
jalan bagi prestasi bulu tangkis Indonesia lainnya. Pada 1959, Tan Joe Hok
menjadi orang Indonesia pertama yang menjuarai All England setelah mengalahkan
rekannya, Ferry Sonneville, dalam all-Indonesian final. Pada tahun yang sama,
Joe Hok juga berhasil menjuarai Canadian Open dan US Open. Sports Illustrated,
sebagai majalah olahraga terbesar di Amerika, bahkan sampai mengulas kemenangan
Joe Hok tersebut dalam dua halaman penuh.
Lalu pada 1961, di hadapan pendukungnya sendiri di Jakarta,
Indonesia berhasil mempertahankan Piala Thomas setelah menundukkan Thailand
dengan skor 6-3. Hingga detik ini, Indonesia pun masih menjadi negara dengan
koleksi Piala Thomas terbanyak, yakni 13 kali.
Setahun berselang, dalam perhelatan Asian Games 1962 di
Istora Senayan, Indonesia juga berhasil merengkuh lima medali emas, tiga perak,
dan tiga perunggu. Setelahnya, Indonesia terus mendulang prestasi di cabang
olahraga ini. Terakhir tentu nama Tontowi Ahmad dan Lilyana Natsir yang berhasil
meraih medali emas di Olimpiade Rio de Janeiro 2016.
Pahlawan Olahraga. Mungkinkah?
Dalam salah satu kesempatan, Tan Joe Hok sempat bertutur
kepada saya tentang kebanggaan dia dan rekan-rekannya yang diberikan talenta
untuk menjadikan Indonesia sebagai negara bulu tangkis. Saya bangga ada yang
meneruskan kiprah kami semua,” ujarnya.
Terlepas dari karut-marut politik yang pernah menghantam ia
dan pebulu tangkis keturunan Tionghoa lainnya, Joe Hok tetap merasa Indonesia
sebagai rumah yang telah membesarkan namanya dan memberikannya banyak hal.
Artikel pendek ini telah menunjukkan bahwa kemunculan
Indonesia sebagai negeri bulu tangkis tidak terjadi secara instan. Terdapat
sosok The Magnificent Seven yang telah memulai dan menuntaskan misinya dalam
mengharumkan nama Indonesia di mata dunia. Mereka merupakan pahlawan olahraga,
yang, sekalipun berjuang di medan pertempuran berbeda, memiliki visi dan misi
serupa dengan pahlawan yang bertempur secara fisik.
Ironisnya, para sosok The Magnificent Seven ini seolah-olah
luput dari perjalanan sejarah bangsa kita. Fakta-fakta historis tentang mereka
hanya dibiarkan teronggok dalam kertas usang, dengan sedikit upaya untuk
menggalinya kembali. Tan Joe Hok sempat bertutur bahwa dirinya dan
kawan-kawannya tidak ingin dielu-elukan atau mengiba belas kasih pemerintah.
”Sebab, itu semua murni kami lakukan demi nama Indonesia,“ tuturnya.
Akan tetapi, Joe Hok berharap agar pemerintah mengakui bahwa
pernah ada sosok seperti Ferry Sonneville, Tan Joe Hok, Eddy Joesoef, dan
lainnya yang pernah berjuang bagi Indonesia. ”Saya bangga ada yang meneruskan
kiprah kami semua. Saya bangga bisa turut menjadikan Indonesia sebagai negara
bulu tangkis,” ujar Joe Hok.
Dengan ditetapkannya tambahan enam pahlawan nasional pada 10
November 2020, Indonesia kini memiliki total 191 orang yang menyandang gelar
anumerta tersebut. Di samping bias dari segi jender, yakni 176 pahlawan pria
berbanding 15 pahlawan perempuan, tidak ada satu pun para olahragawan yang
muncul dalam daftar tersebut. Saya pun tergelitik untuk bertanya: apakah
mungkin pahlawan Indonesia datang dari kalangan olahragawan? Apakah mungkin
pebulu tangkis diangkat menjadi pahlawan nasional?
Sejatinya, tidak pernah terlintas sekalipun dalam benak Tan
Joe Hok dkk. untuk diangkat sebagai pahlawan nasional. Baginya, pengakuan
pemerintah atas kontribusinya terhadap bulu tangkis Indonesia sudah lebih dari
cukup.
Ia pun bermimpi agar tidak ada lagi atlet yang harus
menanggung derita pada hari tuanya lantaran kurangnya perhatian. ”Seperti Kang
Olich Solichin yang meninggal dalam keadaan buta setelah menderita katarak,
atau Tan King Gwan yang harus menderita berkepanjangan lantaran kanker
paru-paru,” pungkasnya.
(Ravando, Kandidat Doktor di Jurusan Sejarah, University of Melbourne, Australia)
No comments:
Post a Comment