Oleh M PUTERI ROSALINA
Masih ingat dengan peringatan orang tua untuk selalu
menghabiskan makanan yang kita santap di piring? Berbagai peringatan muncul
dari orang tua. Seperti ”Ayo makanan dihabiskan, nanti ayamnya mati” atau
”Jangan membuang sebutir nasi, nanti nasinya nangis”. Saat itu, kita menuruti
wejangan tersebut tanpa tahu artinya hingga membawa kebiasaan tersebut sampai
dewasa.
Peringatan orang tua tersebut benar. Intinya, jangan pernah membuang makanan yang telah disediakan oleh orang tua dengan susah payah. Mitos ayam peliharaan akan mati karena zaman dulu ayam masih mahal harganya dan anak-anak umumnya memiliki ayam peliharaan. Juga dengan nasi yang menangis terkait dengan membuang berkat yang sudah didapat.
Namun, tanpa disadari masih ada kebiasaan buruk kita
membuang makanan. Bisa sisa makanan di atas piring ataupun di alat masak. Bisa
juga makanan yang membusuk di lemari pendingin sehingga tidak bisa dimakan.
Penelitian ”Memperkuat
Ketahanan Pangan melalui Pengurangan Pemborosan Pangan (Ketut & Ahmad,
2012)” juga menyebutkan perkiraan berapa ton beras yang terbuang jika setiap
penduduk Indonesia menyisakan nasi satu butir di atas piringnya. Dalam 1
kilogram beras ada 50 butir nasi. Jika setiap kali makan satu butir nasi
tersisa, berarti dalam sehari ada tiga butir yang akan terbuang. Diperkirakan
dengan 250 juta penduduk, akan ada 15 ton per hari atau 5.500 ton per tahun
beras yang akan terbuang.
Ini baru perkiraan di Indonesia. Bagaimana dengan negara
lain? Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyebutkan, sepertiga makanan yang
diproduksi atau sepertiga miliar ton makanan akan terbuang begitu saja. FAO
juga mencatat, masyarakat di Eropa dan Amerika Utara menyia-nyiakan 95-115
kilogram makanan setiap tahun. Limbah makanan dari Afrika, Asia Selatan, dan
Asia Tenggara berkisar 6-11 kilogram per orang.
Mengutip dari laman The
Guardian, hasil kajian Waste and Resources Action Programme (WRAP), lembaga
pengolah limbah di Inggris, 3,6 miliar ton makanan dibuang atau dimakan ternak
setiap tahun dan lebih dari 10 kali sampah makanan dibuang oleh pedagang. Jika
dihitung dengan uang, lebih dari 1 triliun poundsterling nilai makanan menjadi
sampah sebelum mencapai supermarket.
Sampah makanan
Apa yang digolongkan sebagai sampah makanan (food waste)? FAO (2013)
mendefinisikannya sebagai produk pangan yang masih layak untuk dikonsumsi
ataupun yang telah rusak atau kedaluwarsa, tetapi dikeluarkan dari rantai pasok
karena perilaku ekonomi dan manajemen stok yang buruk atau kelalaian. Sampah
makanan terdiri dari food waste
(pemborosan pangan) dan food loss
(kehilangan pangan) yang keduanya memiliki arti berbeda.
Pemborosan dan
kehilangan pangan ini menjadi salah satu indikator dari Indeks Keberlanjutan
Pangan (Food Sustainability Index) yang diterbitkan oleh The Economist
Intelligence Unit (EIU) bekerja sama dengan Barella Center for Food &
Nutrition. Indeks ini diterbitkan mulai 2016 dan perhitungan sudah dilakukan
hingga 2018.
Nilai Indonesia untuk indikator ini terbesar dibandingkan
dua indikator lain, yakni 61,4. Nilai tersebut masuk kategori buruk dan
menduduki peringkat ke-53 dari 69 negara.
Meski demikian, skor tersebut sudah menunjukkan perbaikan
dari skor tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2016, nilainya 32,53 dan tahun 2017
sebesar 42,11.
Selama tiga tahun berturut-turut, posisinya bergantian
dengan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Catatan Barilla (2017), setiap tahun
masyarakat Indonesia membuang sampah makanan 300 kilogram. Adapun Saudi Arabia
lebih banyak lagi, yakni 427 kilogram.
Kehilangan pangan
Food loss atau
kehilangan pangan mengacu pada produk pangan yang terbuang sebelum sampai
kepada pelanggan, seperti gagal panen dan ikan di laut yang teracuni. Nilai
indeks 2018 sebesar 57,4, lebih rendah dibandingkan pemborosan pangan.
Nilai indeks terendah disumbang oleh subindikator persoalan
distribusi pangan terkait infrastruktur (25 persen). Bisa jadi nilai ini akan
meningkat di masa pandemi terkait dengan terganggunya distribusi hasil
pertanian karena ada pembatasan wilayah di beberapa tempat.
Di sisi lain, permintaan konsumen di pasar yang berkurang
juga mengakibatkan penumpukan produksi pertanian di beberapa sentra pertanian.
Penurunan ini terkait dengan daya beli yang rendah karena pendapatan penduduk
berkurang. Selain itu, sektor hotel, restoran, dan katering juga tutup.
Penumpukan ini berpengaruh pada merosotnya harga pertanian di tingkat petani.
Selain itu, menurut penelitian ”Memperkuat Ketahanan Pangan
melalui Pengurangan Pemborosan Pangan”, kehilangan pangan di Indonesia umumnya
terjadi sepanjang proses produksi dan
rantai pangan, sejak dari tahap kegiatan produksi bahan mentah pangan (usaha tani),
pascapanen, hingga pengolahan. Nilai indeks subindikator proses produksi
tersebut mencapai 97,3 persen.
Kehilangan pangan yang relatif besar umumnya terjadi pada
bahan pangan dalam bentuk masih segar, seperti sayur. Adapun pada awal terjadi
perubahan bentuk, seperti padi menjadi beras, jagung tongkol menjadi jagung
pipilan, dan sayuran dalam bentuk kemasan.
Penelitian tersebut juga menyebutkan, kehilangan pangan
terbesar di dunia dari umbi-umbian, yakni 40 persen. Saat panen umbi, petani
sulit mengenali tingkat kematangan umbi karena ada di bawah tanah. Jadi, umbi
yang sebenarnya belum matang berpotensi ikut tercabut.
Pemborosan pangan kedua berasal dari buah dan sayuran yang
mencapai 37,6 persen. Buah dan sayur lebih cepat membusuk. Jika membusuk, buah
dan sayur tersebut di pasar tidak laku dan terbuang begitu saja.
Pemborosan pangan
Berbeda dengan kehilangan pangan yang terjadi di tingkat
produsen, food waste atau pemborosan
pangan terjadi pada konsumen. Semua produk makanan yang siap diolah atau
disajikan untuk dikonsumsi, jika tidak habis, akan menjadi sampah.
Nilai subindikator pemborosan pangan atau disebut end-user waste tercatat 69,6. Nilai
terendah dari subindikator tersebut adalah aspek kebijakan untuk mengatasi food waste (44,4 persen), pengurangan food waste (50 persen), serta institusi
yang mengurusi food waste mencapai 50
persen.
Perhitungan indeks Barilla tersebut benar. Sampai saat ini,
upaya pemerintah masih sangat minim dalam mengatasi masalah pemborosan pangan.
Hal ini karena tidak ada regulasi yang mengatur food waste. Regulasi terkait pangan berupa Peraturan Presiden Nomor
83 Tahun 2017 mengenai Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi baru akan direvisi
tahun ini. Menurut rencana, perpres tersebut akan mengatur mengenai kehilangan
dan pemborosan pangan.
Ketut dan Ahmad (2011) dalam penelitiannya menyebutkan,
potensi pemborosan pangan sudah dimulai saat bahan pangan diperjualbelikan di
tingkat pasar pengecer hingga tiba di rumah konsumen. Demikian juga dengan
pangan yang terlalu lama disimpan di pasar karena tidak ada yang membeli atau
pangan yang tersimpan lama di lemari pendingin konsumen. Sisa makanan di atas
piring yang tidak dimakan pun bisa menjadi sampah.
Penyebab pemborosan pangan ini lebih pada gaya hidup dan
ketidaktahuan bagaimana menyimpan makanan. Gengsi untuk menghabiskan makanan di
depan orang banyak karena khawatir jika disebut banyak makan bisa menjadi
penyebabnya.
Dampak
Banyak tidak menyadari dampak buruk dari adanya limbah
makanan yang diperoleh dari kehilangan ataupun pemborosan pangan. Anggapan yang
muncul, sampah makanan adalah sampah organik sehingga akan lebih cepat terurai
di alam dan tidak memberikan dampak negatif.
Namun, ternyata sampah makanan ini juga meningkatkan gas
rumah kaca yang memperburuk perubahan iklim. Sampah yang membusuk di TPA,
menurut riset Barilla, akan menghasilkan gas metan, yakni gas rumah kaca yang
21 kali lebih berbahaya ketimbang karbon dioksida. Riset yang sama juga
menyebutkan, mengurangi sampah makanan di Amerika 20 persen akan mengurangi 18
juta ton gas rumah kaca setiap tahun.
Pemborosan pangan ini tanpa disadari bisa menyebabkan
kerugian negara. Merujuk dari laman WRI
Indonesia, FAO secara global memperkirakan, makanan bernilai sekitar 940
milliar dollar AS hilang atau terbuang setiap tahun di seluruh rantai pasokan
makanan.
Selain itu, FAO juga melaporkan kerugian dari food loss and waste di sejumlah
negara. Makanan bernilai sekitar 32 milliar dollar AS, misalnya, dibuang di
China. Di Afrika Selatan, kerugian pascapanen bernilai 4 miliar dollar AS per
tahun. Adapun limbah makanan di rumah tangga dan restoran di Amerika bernilai
1.600 dollar AS per tahun dan sekitar 1.060 dollar AS per tahun untuk rata-rata
rumah tangga di Inggris.
Dampak lain yang cukup menonjol, hal ini berpengaruh pada ketahanan
pangan. Penelitian Ketut dan Ahmad juga menunjukkan, pengurangan pemborosan
pangan 25 persen akan bermanfaat meningkatkan 4,1 kilogram per kapita
ketersediaan pangan beras di Indonesia dan 2,5 kilogram per kapita beras
penduduk dunia. Indonesia sebenarnya berpotensi meningkatkan ketersediaan
pangan hingga 975.400 ton. Jika pemborosan pangan ini bisa ditekan sampai 50
persen, tambahan ketersediaan pangan dari beras di Indonesia bisa mencakup
untuk sekitar 10 juta jiwa.
Di sisi lain, saat semakin banyak orang yang membuang
makanan, masih banyak orang lain yang kelaparan. Nilai Indeks Kelaparan Dunia 2019 mencapai
20, masuk kategori ”serius”. Meski dalam lima kali penghitungan angka ini
menunjukkan penurunan dan perbaikan data, masih ada beberapa negara di dunia
yang nilai indeksnya lebih dari 35, bahkan 50, dengan kategori ”peringatan” dan
”peringatan ekstrem”. Beberapa di antaranya adalah Republik Afrika Tengah,
Yaman, Chad, Madagaskar, Zambia, Liberia, Haiti, Timor Leste, dan Zimbabwe.
Di masa pandemi ini, kehilangan pangan dari produksi
pertanian harus segera teratasi. Dampaknya tak hanya merugikan petani yang
berujung pada penurunan kesejahteraan petani. Namun, kondisi ini juga mengancam
ketersediaan pangan karena bisa jadi petani akan mengurangi kualitas
produksinya pada masa tanam berikutnya.
Di sisi lain, kebiasaan membuang makanan yang siap disantap
juga harus dikurangi. Kita tidak tahu sampai berapa lama usia pandemi ini.
Pangan yang tersedia harus bisa dimanfaatkan dengan bijaksana.
(LITBANG KOMPAS)
No comments:
Post a Comment