Saturday, 21 November 2020

Jangan Membuang Makanan!

Oleh M PUTERI ROSALINA

Masih ingat dengan peringatan orang tua untuk selalu menghabiskan makanan yang kita santap di piring? Berbagai peringatan muncul dari orang tua. Seperti ”Ayo makanan dihabiskan, nanti ayamnya mati” atau ”Jangan membuang sebutir nasi, nanti nasinya nangis”. Saat itu, kita menuruti wejangan tersebut tanpa tahu artinya hingga membawa kebiasaan tersebut sampai dewasa.

Peringatan orang tua tersebut benar. Intinya, jangan pernah membuang makanan yang telah disediakan oleh orang tua dengan susah payah. Mitos ayam peliharaan akan mati karena zaman dulu ayam masih mahal harganya dan anak-anak umumnya memiliki ayam peliharaan. Juga dengan nasi yang menangis terkait dengan membuang berkat yang sudah didapat.

Dua orang petugas catering membersihkan sampah sisa makanan acara resepsi di Jatake, Kota Tangerang, Banten, Minggu (1/9/2019). (ANTARAFOTO/Fauzan)

Namun, tanpa disadari masih ada kebiasaan buruk kita membuang makanan. Bisa sisa makanan di atas piring ataupun di alat masak. Bisa juga makanan yang membusuk di lemari pendingin sehingga tidak bisa dimakan.

Penelitian ”Memperkuat Ketahanan Pangan melalui Pengurangan Pemborosan Pangan (Ketut & Ahmad, 2012)” juga menyebutkan perkiraan berapa ton beras yang terbuang jika setiap penduduk Indonesia menyisakan nasi satu butir di atas piringnya. Dalam 1 kilogram beras ada 50 butir nasi. Jika setiap kali makan satu butir nasi tersisa, berarti dalam sehari ada tiga butir yang akan terbuang. Diperkirakan dengan 250 juta penduduk, akan ada 15 ton per hari atau 5.500 ton per tahun beras yang akan terbuang.

Ini baru perkiraan di Indonesia. Bagaimana dengan negara lain? Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyebutkan, sepertiga makanan yang diproduksi atau sepertiga miliar ton makanan akan terbuang begitu saja. FAO juga mencatat, masyarakat di Eropa dan Amerika Utara menyia-nyiakan 95-115 kilogram makanan setiap tahun. Limbah makanan dari Afrika, Asia Selatan, dan Asia Tenggara berkisar 6-11 kilogram per orang.

Mengutip dari laman The Guardian, hasil kajian Waste and Resources Action Programme (WRAP), lembaga pengolah limbah di Inggris, 3,6 miliar ton makanan dibuang atau dimakan ternak setiap tahun dan lebih dari 10 kali sampah makanan dibuang oleh pedagang. Jika dihitung dengan uang, lebih dari 1 triliun poundsterling nilai makanan menjadi sampah sebelum mencapai supermarket.

Sampah makanan

Apa yang digolongkan sebagai sampah makanan (food waste)? FAO (2013) mendefinisikannya sebagai produk pangan yang masih layak untuk dikonsumsi ataupun yang telah rusak atau kedaluwarsa, tetapi dikeluarkan dari rantai pasok karena perilaku ekonomi dan manajemen stok yang buruk atau kelalaian. Sampah makanan terdiri dari food waste (pemborosan pangan) dan food loss (kehilangan pangan) yang keduanya memiliki arti berbeda.

Pemborosan  dan kehilangan pangan ini menjadi salah satu indikator dari Indeks Keberlanjutan Pangan (Food Sustainability Index) yang diterbitkan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) bekerja sama dengan Barella Center for Food & Nutrition. Indeks ini diterbitkan mulai 2016 dan perhitungan sudah dilakukan hingga 2018.

Nilai Indonesia untuk indikator ini terbesar dibandingkan dua indikator lain, yakni 61,4. Nilai tersebut masuk kategori buruk dan menduduki peringkat ke-53 dari 69 negara.

Meski demikian, skor tersebut sudah menunjukkan perbaikan dari skor tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2016, nilainya 32,53 dan tahun 2017 sebesar 42,11.

Selama tiga tahun berturut-turut, posisinya bergantian dengan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Catatan Barilla (2017), setiap tahun masyarakat Indonesia membuang sampah makanan 300 kilogram. Adapun Saudi Arabia lebih banyak lagi, yakni 427 kilogram.

Kehilangan pangan

Food loss atau kehilangan pangan mengacu pada produk pangan yang terbuang sebelum sampai kepada pelanggan, seperti gagal panen dan ikan di laut yang teracuni. Nilai indeks 2018 sebesar 57,4, lebih rendah dibandingkan pemborosan pangan.

Nilai indeks terendah disumbang oleh subindikator persoalan distribusi pangan terkait infrastruktur (25 persen). Bisa jadi nilai ini akan meningkat di masa pandemi terkait dengan terganggunya distribusi hasil pertanian karena ada pembatasan wilayah di beberapa tempat.

Di sisi lain, permintaan konsumen di pasar yang berkurang juga mengakibatkan penumpukan produksi pertanian di beberapa sentra pertanian. Penurunan ini terkait dengan daya beli yang rendah karena pendapatan penduduk berkurang. Selain itu, sektor hotel, restoran, dan katering juga tutup. Penumpukan ini berpengaruh pada merosotnya harga pertanian di tingkat petani.

Selain itu, menurut penelitian ”Memperkuat Ketahanan Pangan melalui Pengurangan Pemborosan Pangan”, kehilangan pangan di Indonesia umumnya terjadi  sepanjang proses produksi dan rantai pangan, sejak dari tahap kegiatan produksi bahan mentah pangan (usaha tani), pascapanen, hingga pengolahan. Nilai indeks subindikator proses produksi tersebut mencapai 97,3 persen.

Kehilangan pangan yang relatif besar umumnya terjadi pada bahan pangan dalam bentuk masih segar, seperti sayur. Adapun pada awal terjadi perubahan bentuk, seperti padi menjadi beras, jagung tongkol menjadi jagung pipilan, dan sayuran dalam bentuk kemasan.

Penelitian tersebut juga menyebutkan, kehilangan pangan terbesar di dunia dari umbi-umbian, yakni 40 persen. Saat panen umbi, petani sulit mengenali tingkat kematangan umbi karena ada di bawah tanah. Jadi, umbi yang sebenarnya belum matang berpotensi ikut tercabut.

Pemborosan pangan kedua berasal dari buah dan sayuran yang mencapai 37,6 persen. Buah dan sayur lebih cepat membusuk. Jika membusuk, buah dan sayur tersebut di pasar tidak laku dan terbuang begitu saja.

Pemborosan pangan

Berbeda dengan kehilangan pangan yang terjadi di tingkat produsen, food waste atau pemborosan pangan terjadi pada konsumen. Semua produk makanan yang siap diolah atau disajikan untuk dikonsumsi, jika tidak habis, akan menjadi sampah.

Nilai subindikator pemborosan pangan atau disebut end-user waste tercatat 69,6. Nilai terendah dari subindikator tersebut adalah aspek kebijakan untuk mengatasi food waste (44,4 persen), pengurangan food waste (50 persen), serta institusi yang mengurusi food waste mencapai 50 persen.

Perhitungan indeks Barilla tersebut benar. Sampai saat ini, upaya pemerintah masih sangat minim dalam mengatasi masalah pemborosan pangan. Hal ini karena tidak ada regulasi yang mengatur food waste. Regulasi terkait pangan berupa Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2017 mengenai Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi baru akan direvisi tahun ini. Menurut rencana, perpres tersebut akan mengatur mengenai kehilangan dan pemborosan pangan.

Ketut dan Ahmad (2011) dalam penelitiannya menyebutkan, potensi pemborosan pangan sudah dimulai saat bahan pangan diperjualbelikan di tingkat pasar pengecer hingga tiba di rumah konsumen. Demikian juga dengan pangan yang terlalu lama disimpan di pasar karena tidak ada yang membeli atau pangan yang tersimpan lama di lemari pendingin konsumen. Sisa makanan di atas piring yang tidak dimakan pun bisa menjadi sampah.

Penyebab pemborosan pangan ini lebih pada gaya hidup dan ketidaktahuan bagaimana menyimpan makanan. Gengsi untuk menghabiskan makanan di depan orang banyak karena khawatir jika disebut banyak makan bisa menjadi penyebabnya.

Dampak

Banyak tidak menyadari dampak buruk dari adanya limbah makanan yang diperoleh dari kehilangan ataupun pemborosan pangan. Anggapan yang muncul, sampah makanan adalah sampah organik sehingga akan lebih cepat terurai di alam dan tidak memberikan dampak negatif.

Namun, ternyata sampah makanan ini juga meningkatkan gas rumah kaca yang memperburuk perubahan iklim. Sampah yang membusuk di TPA, menurut riset Barilla, akan menghasilkan gas metan, yakni gas rumah kaca yang 21 kali lebih berbahaya ketimbang karbon dioksida. Riset yang sama juga menyebutkan, mengurangi sampah makanan di Amerika 20 persen akan mengurangi 18 juta ton gas rumah kaca setiap tahun.

Pemborosan pangan ini tanpa disadari bisa menyebabkan kerugian negara. Merujuk dari laman WRI Indonesia, FAO secara global memperkirakan, makanan bernilai sekitar 940 milliar dollar AS hilang atau terbuang setiap tahun di seluruh rantai pasokan makanan.

Selain itu, FAO juga melaporkan kerugian dari food loss and waste di sejumlah negara. Makanan bernilai sekitar 32 milliar dollar AS, misalnya, dibuang di China. Di Afrika Selatan, kerugian pascapanen bernilai 4 miliar dollar AS per tahun. Adapun limbah makanan di rumah tangga dan restoran di Amerika bernilai 1.600 dollar AS per tahun dan sekitar 1.060 dollar AS per tahun untuk rata-rata rumah tangga di Inggris.

Dampak lain yang cukup menonjol, hal ini berpengaruh pada ketahanan pangan. Penelitian Ketut dan Ahmad juga menunjukkan, pengurangan pemborosan pangan 25 persen akan bermanfaat meningkatkan 4,1 kilogram per kapita ketersediaan pangan beras di Indonesia dan 2,5 kilogram per kapita beras penduduk dunia. Indonesia sebenarnya berpotensi meningkatkan ketersediaan pangan hingga 975.400 ton. Jika pemborosan pangan ini bisa ditekan sampai 50 persen, tambahan ketersediaan pangan dari beras di Indonesia bisa mencakup untuk sekitar 10 juta jiwa.

Di sisi lain, saat semakin banyak orang yang membuang makanan, masih banyak orang lain yang kelaparan.  Nilai Indeks Kelaparan Dunia 2019 mencapai 20, masuk kategori ”serius”. Meski dalam lima kali penghitungan angka ini menunjukkan penurunan dan perbaikan data, masih ada beberapa negara di dunia yang nilai indeksnya lebih dari 35, bahkan 50, dengan kategori ”peringatan” dan ”peringatan ekstrem”. Beberapa di antaranya adalah Republik Afrika Tengah, Yaman, Chad, Madagaskar, Zambia, Liberia, Haiti, Timor Leste, dan Zimbabwe.

Di masa pandemi ini, kehilangan pangan dari produksi pertanian harus segera teratasi. Dampaknya tak hanya merugikan petani yang berujung pada penurunan kesejahteraan petani. Namun, kondisi ini juga mengancam ketersediaan pangan karena bisa jadi petani akan mengurangi kualitas produksinya pada masa tanam berikutnya.

Di sisi lain, kebiasaan membuang makanan yang siap disantap juga harus dikurangi. Kita tidak tahu sampai berapa lama usia pandemi ini. Pangan yang tersedia harus bisa dimanfaatkan dengan bijaksana. 

(LITBANG KOMPAS)

No comments:

Post a Comment