Oleh AHMAD NAJIB BURHANI
Puasa merupakan praktik menahan atau membatasi diri, seperti
dari makanan dan minuman, yang dilakukan oleh berbagai tradisi dalam masyarakat
dunia sejak dulu kala. Puasa bisa bermotif agama, budaya, kesehatan, politik,
atau lainnya.
Di Jawa, seperti ditulis Clifford Geertz (1964), puasa merupakan ritual yang banyak dilakukan masyarakat dari seluruh tingkatan kelas dengan tujuan ”untuk kekuatan dan intensitas spiritual”. Melalui ritual puasa, seseorang akan bisa meningkatkan kesaktian, kekuatan spiritual, atau kemampuan supranaturalnya.
Pada masyarakat kuno tertentu, puasa dilakukan sebagai cara
untuk membersihkan diri, sebagai persiapan untuk menerima kekuatan gaib, atau
cara agar kekuatan atau potensi yang sudah ada pada diri seseorang bisa lebih
kuat dan bisa dibangkitkan atau ditampilkan keluar (Tamney 1980). Puasa jenis
ini biasanya dilakukan oleh seorang pangeran beberapa waktu sebelum dinobatkan
atau dikukuhkan menjadi raja.
Puasa, dalam konteks di atas, dipandang sebagai simbol
kematian dan kelahiran kembali. Pada saat pelaksanaan puasa akan terjadi proses
purifikasi terhadap berbagai kotoran dan keburukan yang ada pada diri manusia
sehingga seusai puasa orang tersebut seperti terlahir kembali di dunia dalam
kondisi bersih. Pada saat puasa pula, kekuatan positif dan berbagai potensi
diri akan dibangkitkan sehingga pelakunya akan siap dengan tanggung jawab dan
beban baru seusai puasa, seperti menjadi raja atau pimpinan masyarakat.
Meski ada beberapa irisan, makna puasa dalam tradisi
masyarakat kuno dan masyarakat Jawa di atas tak sepenuhnya sama dengan tradisi
puasa yang dilakukan pada beberapa agama besar. Dalam tradisi agama-agama,
puasa kadang dimaknai sebagai upaya pertobatan terhadap dosa-dosa yang pernah
dilakukan atau sebagai bentuk ketaatan terhadap perintah Tuhan atau sebagai
upaya mengontrol diri dan hawa nafsu.
Dalam Islam, misalnya, banyak orang melakukan puasa,
termasuk di luar bulan Ramadhan, dengan tujuan untuk kesalehan atau mendekatkan
diri kepada Allah. Dalam bahasa Al Quran, tujuan diwajibkan melaksanakan puasa
adalah agar para pelakunya mencapai derajat takwa atau menjadi muttaqin (Q 2:183).
Selain beberapa bentuk pemaknaan di atas, masyarakat modern
akan memberikan pemaknaan yang berbeda lagi terhadap puasa. Umumnya, pemaknaan
ini lebih bersifat rasional ataupun sekuler. Puasa dilakukan agar pelakunya,
misalnya bisa mengontrol diri, nafsu, dan fisiknya secara lebih baik. Oleh
karena itu, kemudian dikenal adanya jenis puasa dalam tradisi kesehatan dengan
sebutan ”diet”. Kadang, puasa dimaknai secara sosial sebagai upaya agar
pelakunya bisa merasakan penderitaan atau kelaparan yang dialami oleh orang
fakir miskin.
Puasa bisa juga dilakukan dengan tujuan politik tertentu. Ini, misalnya, terjadi dengan hunger strike atau puasa sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah yang dirasa tidak adil atau tak bisa diterima. Melakukan protes dengan cara berpuasa ini kadang dilakukan ketika protes dengan suara sudah tak lagi didengarkan. ”Menyiksa diri” dengan melakukan puasa menjadi lebih ekspresif dan kadang memiliki appeal yang lebih tinggi daripada doa atau protes dengan cara berteriak.
Selain ragam makna dan tujuan dari puasa, pola dan durasi
pelaksanaan puasa juga bervariasi berdasarkan tradisi dan model yang diikuti.
Puasa Ramadhan, misalnya, dilakukan selama sebulan penuh. Pelakunya dilarang
makan, minum, berhubungan seksual, dan hal-hal lain yang membatalkan sejak
subuh hingga maghrib.
Berbeda dari puasa yang dilakukan umat Islam, umat Yahudi
berpuasa di Yom Kippur, yang merupakan hari kesepuluh dari bulan ketujuh dalam
kalender Yahudi. Lamanya berpuasa adalah sepanjang 25 jam nonstop yang dimulai
sebelum matahari terbenam. Dalam puasa ini, mereka tak makan, minum, bekerja,
menyopir, berbelanja, dan menghindari kesenangan fisik. Selama 25 jam ini hidup
akan diisi dengan beribadah.
Umat Kristiani melakukan puasa pada Jumat Agung, saat
peringatan wafatnya Jesus. Kristen Orthodox Yunani melakukan puasa 40 hari
sebelum Natal dan 48 hari sebelum Paskah. Puasa ini dilakukan dengan menahan
diri dari makanan tertentu, seperti telur, daging, dan alkohol. Ada lagi puasa
Daniel dilakukan sebagian umat Kristiani. Puasa ini mirip vegan diet karena
hanya makan sayuran, buah, gandum, dan biji-bijian. Biasanya dilakukan
sepanjang 21 hari selama setahun (Venegas-Borsellino, Sonikpreet, dan Martindale
2018).
Dalam tradisi Buddha, puasa disebut dengan istilah ”Vassa”.
Puasa umumnya hanya dilakukan oleh para biksu. Secara umum, umat Buddha
berpuasa sepanjang tahun dalam bentuk diet dari makanan tertentu, seperti
daging, keju, susu, dan alkohol. Namun, ada beberapa perbedaan dalam berbagai
tradisi di Buddha. Theravada berpuasa tiga bulan pada musim hujan. Puasa ini
dilakukan selama 12 jam. Vajrayana di Tibet melakukan puasa selama dua hari
penuh sebagai bagian dari perayaan Nyungne. Pada saat berpuasa, pelakunya
bahkan dilarang berbicara (Gaikwad 2017).
Dalam Hindu, puasa disebut dengan istilah upawasa. Umat
Hindu di India berpuasa pada hari-hari besar tertentu, seperti Maha-Shivaratri
dan puasa sembilan hari pada festival Navaratri. Puasa pada Shivaratri juga
dipraktikkan di Bali dengan tidak makan dan minum dimulai sejak matahari terbit
sampai dengan matahari terbenam. Pada Hari Nyepi, umat Hindu Bali juga berpuasa
sejak fajar hingga fajar berikutnya.
Meski ada beragam makna dan tradisi dalam melaksanakan
puasa, ritual ini secara umum dilakukan agar manusia mampu memperbaiki dirinya,
”fortify the body, purify the spirit, and
elevate consciousness” (membentengi tubuh, penyucian jiwa atau ruh, dan
meningkatkan kesadaran). Secara kesehatan, ia memberikan waktu bagi organ-organ
pencernaan dalam tubuh untuk beristirahat sehingga bisa menghindarkan diri dari
penyakit yang diakibatkan oleh proses metabolisme.
Tentu saja, karena beragamnya jenis puasa, masing-masing
memiliki analisis yang berbeda dari segi kesehatan. Demikian pula dengan
pencapaian tujuan puasa, tak semuanya bisa dipastikan tercapai. Bahkan, Buddha
pun merevisi praktiknya berpuasa secara eksesif yang dilakukannya sebelum
mencapai pencerahan (enlightenment).
(Ahmad Najib Burhani, Profesor Riset di LIPI (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia))
No comments:
Post a Comment