JAKARTA, KOMPAS — Tidak hanya berkinerja buruk, DPR juga dianggap terus memboroskan uang rakyat. Ini terlihat dari pengalokasian anggaran sejumlah proyek yang tergolong tidak wajar dalam pos anggaran DPR pada 2016.
Berdasarkan hasil kajian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), setidaknya ada sembilan proyek tidak wajar. Salah satunya proyek pembangunan kompleks DPR yang senilai Rp 570 miliar. Anggaran sebesar itu dialokasikan untuk pembangunan gedung, alun-alun demokrasi, dan klinik.
Pengalokasian anggaran proyek DPR dianggap tidak wajar karena belum ada dokumen perencanaan dan dokumen pendukung lainnya. "Proyek ini ajaib karena dokumen pendukungnya belum ada, tetapi anggarannya sudah dialokasikan dan disetujui pemerintah," kata Manajer Advokasi Fitra Apung Widadi dalam jumpa wartawan di Jakarta, Jumat (8/1).
Selain itu, ada pula proyek penambahan fasilitas rumah jabatan anggota (RJA) DPR di Kalibata dan Ulujami yang besarnya mencapai Rp 106,14 miliar. Anggaran itu dialokasikan untuk pengadaan kelengkapan kamar utama dan kamar anak, kelengkapan ruang kerja, kelengkapan ruang keluarga, seperti meja televisi, sofa, dan bantal, serta pengadaan meja, kursi, dan lemari makan.
Ketidakwajaran lain adalah pengalokasian anggaran pengadaan satu mobil ambulans sebesar Rp 1,7 miliar. "Ambulans model apa yang harganya sampai Rp 1,7 miliar?" kata Apung.
Ada pula pengadaan pakaian dinas untuk petugas pengamanan dalam (pamdal), pakaian kerja teknis TV Parlemen, jas petugas protokol, dan seragam sopir dinas yang jumlahnya mencapai Rp 3,7 miliar. Naik sekitar Rp 300 juta dari anggaran sama tahun 2015, yakni Rp 3,4 miliar.
Menurut Apung, seragam pamdal dan sopir dinas bukanlah tanggung jawab negara, melainkan perusahaan rekanan DPR. Sebab, petugas pengamanan dalam bukanlah pegawai yang diangkat Sekretariat Jenderal DPR, melainkan pegawai outsourcing (alih daya).
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai, anggaran DPR disusun berdasarkan daftar keinginan, bukan daftar kebutuhan. "Lihat saja ada juga anggaran pengadaan satu paket treadmill test yang besarnya sampai Rp 984 miliar. Masa perut gendut juga jadi tanggung jawab negara?" tuturnya.
Baik Apung maupun Lucius menganggap, banyaknya pengalokasian proyek tidak wajar menunjukkan bahwa DPR telah memboroskan uang rakyat. Apalagi, anggaran untuk proyek-proyek tidak wajar itu dialokasikan hampir setiap tahun anggaran.
Pelaksana Tugas Ketua DPR Fadli Zon di kompleks Parlemen, Senayan, Jumat, mengatakan, proyek pengembangan kompleks Parlemen akan tetap dijalankan. Hal itu akan kembali dibahas di masa sidang ketiga DPR yang dimulai Senin (11/1). "Kan, sudah ada tim khususnya dari Sekretariat Jenderal DPR, nanti saya akan cek lagi dengan mereka. Koordinasi baru akan dilakukan nanti antara pimpinan DPR dan Setjen DPR," ujar Fadli.
Ia mengatakan, proyek akan dilanjutkan sebab alokasi anggaran sudah ditetapkan melalui APBN 2016. Alokasi yang diberikan bagi program penataan kawasan legislatif adalah Rp 570 miliar. Fadli menyatakan, demi transparansi, untuk pelaksanaan konstruksi, yang menangani harus perusahaan badan usaha milik negara (BUMN). "Berikutnya proyek ini juga harus diawasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP)," kata Fadli.
Anggota Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), Irma Suryani, mengatakan, sejauh ini belum ada koordinasi lagi antara BURT dan Setjen DPR terkait proyek pengembangan kompleks Parlemen. Selama kisruh sengketa permintaan saham PT Freeport Indonesia yang melibatkan Ketua DPR terdahulu Setya Novanto, pembicaraan terkait hal itu sempat terhenti.
Namun, menurut Sekretaris Jenderal DPR Winantuningtyastiti, Setjen DPR masih akan membicarakan kelanjutan proyek tersebut dengan pimpinan DPR, BURT, dan Yayasan Arsitek Indonesia (YAI) pada masa sidang DPR mendatang. Hal itu karena arsitek Gregorius Supie Yolodi serta PT Arkonin, yang membuat maket desain gedung, bukan pemenang pertama, melainkan pemenang kedua dan ketiga sayembara desain.
"Bisa saja ada alternatif melakukan sayembara desain lagi, atau apakah ada yang harus direvisi, mana yang cocok dengan harapan, nanti akan dibicarakan lagi," kata Winantuningtyastiti.
Terhadap megaproyek itu, Fitra mendesak DPR merevisi anggaran pengadaan barang dan jasa yang tidak wajar. DPR juga didesak untuk membatalkan megaproyek pengembangan kompleks DPR karena tidak sesuai dengan kebutuhan peningkatan kinerja. Pemerintah pun diminta lebih tegas menolak usulan anggaran tidak wajar dari DPR. Jangan sampai pemerintah mengalah, seperti saat pemerintah meloloskan anggaran gedung DPR pada pembahasan RAPBN 2016.
(NTA/AGE)
Kompas, Senin, 9 Januari 2016
No comments:
Post a Comment