Sunday, 3 January 2016

Toko Obat Pancoran: Menanti Kesepakatan Ahli Waris

Oleh DIAN DEWI PURNAMASARI dan WINDORO ADI
Apotek Chung Hwa yang berada di Jalan Pancoran Nomor 6, Glodok, Jakarta Barat, selesai dipugar, Selasa, 15 Desember, tahun lalu. Gedung berdinding warna krem itu berada di sudut jalan, didesain dengan hiasan jendela kaca memanjang mengelilingi bagian luarnya.
Bangunan cagar budaya Apotek Chung Hwa yang telah selesai direnovasi di persimpangan Jalan Pancoran dan Jalan Pintu Besar Selatan, Jakarta Barat, Selasa (15/12).
Bangunan cagar budaya Apotek Chung Hwa yang telah selesai direnovasi di persimpangan Jalan Pancoran dan Jalan Pintu Besar Selatan, Jakarta Barat, Selasa (15/12). (Kompas/Priyombodo)
Bohlam-bohlam lampu bercahaya kuning temaram menggantung menghiasi ruangan. Setelah diresmikan, gedung bermeja dan kursi kayu itu akan dipakai sebagai kedai teh bernama Pancoran Tea House yang terbuka untuk publik.
Menurut PT Jakarta Old Town Revitalization Corp (JOTRC), Apotek Chung Hwa berdiri sejak tahun 1928. Gedung yang awalnya seluas 400 meter persegi itu, kini hanya tersisa sekitar 218 meter persegi. Luas gedung berkurang karena terpotong proyek pelebaran jalan di kawasan Glodok.
"Sebelum kami sewa, gedung ini dipakai sebagai rumah dan toko. Sudah ada banyak perubahan, tetapi kami masih bisa mempertahankan struktur, dinding, dan kuda-kuda kayunya," ujar arsitek yang memugar gedung itu, Anneke Prasyanti.
Menurut dia, beberapa kesulitan saat melakukan revitalisasi gedung adalah mengembalikan sistem drainase dan sanitasi yang sudah rusak. Selain itu, saat menangani gedung cagar budaya, arsitek tidak boleh mengubah bentuk asli bangunan. Selain itu juga bagaimana meminta izin kepada pemilik pribadi untuk memanfaatkan gedung-gedung tua bersejarah di Kota Tua. Menjawab semua tantangan itu, eks apotek Chung Hwa bisa berhasil direvitalisasi dalam waktu 8,5 bulan. Hasilnya jelas tak mengecewakan. Kota Tua Jakarta pun makin cantik.
Para ahli waris
Namun, bersamaan dengan peresmian apotek tersebut, muncul pertanyaan, mengapa Apotek Chung Hwa yang dipugar? Mengapa yang dipugar bukan sejumlah toko obat cina di situ? Bukankah Jalan Pancoran, Glodok, lebih dikenal sebagai kawasan toko obat cina?
"Seingat saya, tahun 1930-an baru ada empat toko obat cina, yaitu Tay Seng Ho, Si Nei, Hauw Hauw, dan Ban Seng. Yang paling tua Toko Obat Cina Ban Seng," ungkap Thio Khiam Ho (89), saat ditemui awal Desember 2015. Rumahnya berada di sebelah Apotek Chung Hwa. Ia lahir dan besar di situ. Menurut dia, dulu hanya di jalan yang sederetan dengan Apotek Chung Hwa saja berdiri toko obat cina. "Kala itu Apotek Chung Hwa belum ada. Bangunannya masih berfungsi sebagai ruko (rumah toko)," tambah Thio Khiam.
Direktur Utama PT JOTRC Lin Che Wei mengakui, yang lebih pantas dipugar memang deretan bangunan toko obat cina. "Kami sudah menawarkan kepada para ahli waris agar bekerja sama memugar bangunan milik mereka, tetapi sulit menyatukan suara di antara para ahli waris ini," ungkap Che Wei.
Ada yang sepemikiran dengan Che Wei, tetapi ada sebagian ahli waris yang berpikir lebih komersial. Mereka yang berpikir lebih komersial justru menghendaki bangunan cagar budaya diratakan dengan tanah. Lalu, di atas lahan itu dibangun bangunan berlantai banyak. Maklum, harga tanah di kawasan ini sangat mahal.
Sinse
Seperti disampaikan Thio Khiam, sejak awal 1930-an Pancoran mulai dikenal sebagai sen-tra toko obat cina paling lengkap di Indonesia. Tampak bermacam bagian flora dan fauna di toko obat ini sudah dikeringkan atau direndam dalam arak.
Jika Anda melintas ke kawasan ini, akan tampak sejumlah pekerja sedang menimbang akar, daun, biji-bijian, serangga bahkan cacing, yang dikeringkan.
Setelah ditimbang, bahan-bahan tersebut dicampur di atas kertas coklat, lalu dibungkus dalam lipatan sedang.
Para peracik dan penimbang obat cina ini umumnya sudah bekerja lebih dari 20 tahun.
Di negeri asalnya, ramuan obat cina berkembang sejak Kaisar Tiongkok Shen Nung, 3500 SM (sebelum Masehi), yaitu lewat kitab karya sang kaisar, Pen Tsao. Pada pemerintahan Dinasti Han, yaitu tahun 350 SM, muncul kitab penyempurnaannya, Materi Obat Shen Nung.
Pada masa ini, tulis majalah Tempo edisi 18 November 2001, telah dikenal pembuatan pil. Pil ini berbentuk bulat kecil, berasal dari adonan ramuan yang sudah dikeringkan.
Terakhir, kitab Pen Tsao mencatat 1.000 jenis obat lengkap dengan cara menanam, memetik, meramu, berikut khasiat dan penggunaannya.
Di Toko Ban Seng di Jalan Pancoran Nomor 32E tampak deretan stoples kaca, guci keramik, dan rak berukir huruf cina berisi ramuan obat yang bisa dibeli berdasarkan resep dari sinse (tabib). Oleh karena itu, sebelum membeli ramuan, pasien dipersilakan menemui sinse di toko tersebut.
Acin (58), pengelola Toko Obat Ban Seng, saat ditemui Sabtu (2/1), menjelaskan, sebagian bahan ramuan masih diimpor dari Tiongkok. Meski demikian, impor ramuan tersebut tak bisa membendung menyusutnya pelanggan toko obat ini. "Setelah tahun 1980-an, pelanggan kami terus menyusut," kata Acin.
Pengamatan Kompas, sampai sekarang, toko-toko obat di Pancoran umumnya menyediakan tiga obat paling populer, yaitu Pien Tze Huang, Angong Niuhuang Wan, dan Yunnan Baiyo.
Pien Tze Huang dipercaya bisa mempercepat proses pengeringan luka pada luka jahit operasi, terutama pada operasi caesar. Pien Tze Huang juga mampu mengatasi radang, hepatitis, demam berdarah, dan memperlancar sirkulasi darah. Angong Niuhuang Wan dipercaya mampu merangsang kesadaran penderita stroke, sedangkan Yunnan Baiyo menghentikan bermacam pendarahan.
"Pembeli Pien Tze Huang umumnya meminta tablet ini digerus dan dibagi menjadi enam kapsul. Aturan pakainya dua kali sehari," ujar Acin.
Sementara itu, Toko Obat Tay Seng Ho di Jalan Pancoran nomor 28 yang saat ini dikelola oleh generasi ketiga pendirinya, mempekerjakan dua sinse.
Yanuar (50), pengelola Toko Tay Seng Ho, mengatakan, pengunjung tokonya bukan hanya berasal dari kalangan Tiong-hoa saja, tetapi juga dari kalangan pribumi dan warga asing lainnya. Lina (30), salah satu pengunjung yang ditemui mengatakan, sudah sejak tahun 2000 ia menjadi pelanggan tetap.
"Biasanya saya membeli ramuan penambah daya tahan dan kekebalan tubuh," ujarnya. Ia mengenal Toko Ban Seng dari orangtuanya yang tinggal di Cianjur, Jawa Barat.
"Saya dan keluarga memang gemar mengonsumsi obat tradisional. Meskipun reaksinya agak lambat, tetapi efek sampingnya minim," kata Lina.
Tahun 2004-2008, Wali Kota Jakarta Barat Fadjar Panjaitan menata Pancoran dengan membangun saluran penghubung yang membelah jalan tersebut, serta merelokasi pedagang kaki lima (PKL). Sayang, sepeninggal Fadjar, tepian Jalan Pancoran kembali menyempit diserbu para pengasong dan juru parkir liar.
Kompas, Senin, 4 Januari 2016

No comments:

Post a Comment