Oleh AGNES ARISTIARINI
“Jika sihir modernisasi menganggap pengobatan tradisional sulit berkembang dan menghapusnya segera, maka dunia akan dalam bencana besar.” Charles Leslie, antropolog,dalam bukunya "Asian Medical System" (1976)
Sistem pengobatan modern berkembang ke seluruh dunia seiring dengan kolonisasi. Sistem pengobatan yang tumbuh dalam budaya Barat ini ”unggul” karena mudah diterima nalar, berbasis penelitian, sekaligus bisa dibuktikan dan direplikasikan. Dengan cepat—apalagi dengan tekanan penjajah pada yang terjajah—terpinggirkanlah sistem pengobatan lokal yang juga acap disebut pengobatan Timur atau tradisional.
Meskipun pengobatan tradisional menjadi lebih personal dan biaya sesuai kemampuan pasien, dalam banyak hal, pengobatan tradisional ”kalah” karena menjadi antitesis pengobatan modern: berbasis kepercayaan dan kekuatan supernatural yang sulit diverifikasi dan direplikasi (Foster & Anderson, 1978).
Namun, di banyak negara pengobatan tradisional tetap tumbuh karena perkembangan pengobatan modern tidak bisa mengakomodasi semua kebutuhan masyarakat. Di India, metode pengobatan ayurveda masih jadi pilihan dan di Tiongkok metode pengobatan tradisional yang disaintifikasi dan direplikasi berkembang pesat.
Hasil penelitian A Tahir dan kawan-kawan dalam ”Use of traditional and complementary medicine in Malaysia: a baseline study” (2009) menunjukkan, sebagian besar populasi di Malaysia menggunakan terapi herbal untuk mengatasi masalah kesehatan (88,9 persen) dan memelihara kesehatan (87,3 persen).
Sayang, di Nusantara yang kaya keragaman hayati, baru jamu yang berkembang dalam skala industri. Padahal, kalau kita bisa mendokumentasikan dan mengembangkan berbagai resep dan metode pengobatan berbasis kearifan lokal, Indonesia mungkin tak kalah dengan India dan Tiongkok.
Pengobatan alternatif
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan pengobatan tradisional sebagai kumpulan pengetahuan, kemampuan, dan praksis yang berbasis pada kepercayaan dan pengalaman masyarakat untuk pengobatan dan pemeliharaan kesehatan.
Namun, dikotomi modern-tradisional, Barat-Timur, lokal-global akhirnya mengerucut menjadi metode kedokteran versus metode komplementer atau alternatif. Dalam kerangka inilah berkembang homeopathy, espiritismo,ayurveda, dan lain-lain, termasuk tentu saja chiropraktik.
Sebagai pengetahuan yang baru berusia 120 tahun—dirintis Daniel David Palmer tahun 1895 di Iowa, AS—perkembangan chiropraktik pesat dibandingkan metode pengobatan alternatif lain yang lebih tua. Bisa jadi karena chiropraktik dilahirkan dalam tradisi Barat: mudah dinalar, dibakukan, dan ditiru.
Chiropraktik berarti dilakukan dengan tangan. Ini sejalan dengan upaya Palmer memperbaiki persoalan tulang belakang, yang sampai saat itu belum ada metodenya. Dalam Where Does Chiropractic Come From? (University of Minnesota, 2013), Palmer membakukan dan mengembangkan ilmu, seni, dan filosofi chiropraktik lewat Palmer School of Chiropractic, 1905.
Murid-murid pertamanya banyak yang berlatar belakang dokter meski dalam perkembangannya chiropraktik sering berbenturan dengan ilmu kedokteran medis. Setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya chiropraktik mendapatkan lisensi resmi di AS tahun 1974. Ahli chiropraktik tak selalu dokter, tetapi ada pendidikannya yang terakreditasi di berbagai universitas di AS, Kanada, Eropa, dan Australia.
WHO resmi membuat panduan praktik chiropraktik tahun 2005 dan mendefinisikannya sebagai profesi yang mendiagnosis, mencegah, dan mengobati gangguan pada sistem tulang belakang, termasuk saraf dan ototnya.
Namun, dalam praktiknya, metode pengobatan alternatif, termasuk chiropraktik, sering disalahgunakan. Orang-orang yang tak bertanggung jawab memanfaatkan celah dalam pemahaman dan peraturan demi keuntungan. Tak ada jalan lain. Seperti kesimpulan penelitian Tahir dan kawan-kawan, perlindungan masyarakat harus dengan membuat panduan ketat dan tegas, seiring dengan pendidikan pemahaman publik yang intensif.
Jangan lagi ada korban.
Kompas, Rabu, 13 Januari 2016
No comments:
Post a Comment