Oleh IWAN PRANOTO
Jika haluan kapal melenceng, mempercepatnya semata justru akan menjauhkan dari tujuan. Seperti itulah keadaan pendidikan matematika sekolah kita.
Jika hanya meningkatkan upaya kegiatan belajar-mengajar tanpa dibarengi mengubah arah, pelajar kita akan tetap tertinggal. Meralat arah pembelajaran matematika mutlak dibutuhkan.
Besar kemungkinan ini alasannya mengapa setiap tiga atau empat tahun sejak hampir 20 tahun lalu kita rutin membaca berita hasil buruk pelajar Indonesia dalam tes pemetaan matematika internasional. Laporan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) menunjukkan capaian yang rendah sekaligus menurun dan Programme for International Student Assessment (PISA) menunjukkan capaian yang secara statistika stagnan rendah.
Untuk memperbaikinya, mau tak mau harus diawali dengan merumuskan ulang kecakapan bermatematika sebagai tujuan pembelajaran matematika. Dari rumusan itu, kemudian didaftar keterampilan yang diharapkan dan diterjemahkan menjadi sasaran pembelajaran matematika pada tiap jenjang pendidikan.
Kecakapan yang relevan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tiap tahun sudah meningkatkan tingkat kesulitan soal ujian nasional (UN) Matematika. Beberapa sekolah juga sudah menambah jam pengajaran matematika, tetapi semua ini tetap tak memberi dampak berarti pada capaian TIMSS ataupun PISA walau nilai UN Matematika naik. Artinya, ada perbedaan jenis kecakapan bermatematika yang diharapkan.
Maka, jika sekarang pelajar diminta lebih giat belajar, guru diminta kreatif mengajar, UN dipersulit serta dibuat tiga kali setahun, dan uji kompetensi guru (UKG) tiap tahun, kecil peluangnya ini akan membuahkan perbaikan berarti. Walau dari sisi perencanaan dan penganggaran berbagai program pendidikan berskala nasional, seperti UN dan UKG, memiliki ”daya serap” tinggi dan juga ”menjalankan amanat UU”, dampak terhadap peningkatan kecakapan bermatematika pelajar tidak berarti.
Ada data yang menunjukkan bahwa jam sekolah di Indonesia termasuk tinggi, sekarang ada yang menuduh lama waktu di sekolah itu sebagai alasan rendahnya kecakapan murid. Maka, muncul ide untuk menguranginya. Ini akan sama saja. Seperti layaknya laju kapal dipercepat atau diperlambat, tetapi arah haluannya meleset. Semua upaya jadi nirguna. Malah mungkin justru semakin menjauhkan dari sasaran. Yang pertama dan utama harus dibenahi: mengoreksi arah tujuan. Koreksi drastis harus dimulai dengan merumuskan ulang kecakapan bermatematika yang relevan dengan kehidupan dunia hari ini sebagai tujuan pembelajaran matematika.
Teknologi dan sains telah mengubah kehidupan, termasuk kecakapan hidup yang dibutuhkan zaman ini sudah berubah dari masa sebelumnya. Sejumlah pekerjaan telah diambil alih oleh mesin dan komputer. Khususnya jenis pekerjaan dengan keterampilan berpikir tingkat rendah, seperti routine-cognitive atau proses berpikir rutin. Misalnya, kasir atau penjaga di loket gerbang tol telah jamak digantikan oleh komputer dan mesin.
Maka, pelajar sekarang perlu mengutamakan belajar keterampilan yang belum tergantikan oleh komputer atau mesin, seperti keterampilan menyelesaikan masalah tak rutin, berpikir kreatif, dan berkomunikasi kompleks. Ringkasnya, pelajar perlu menekankan pengembangan kecakapan berpikir tingkat tinggi dan secukupnya mengembangkan keterampilan berdasar kecakapan berpikir tingkat rendah yang perlahan-lahan akan berkurang. Pendidikan matematika sekolah di Asia mutlak perlu menyeimbangkan pengembangan kecakapan bermatematika berdasar berpikir tingkat rendah dan tinggi karena kehidupan serta dunia kerja di Asia sebagian masih tradisional.
Di kelas matematika, kegiatan melibatkan berpikir canggih, tetapi menggunakan konsep sederhana, misalnya mengestimasi perhitungan dan menyelidiki kesahihan suatu pernyataan perlu ditambah porsinya. Sebaliknya, praktik kuno guru ”menyuapi” murid dengan rumus matematika ruwet yang seperti turun dari langit dan akhirnya dihafal semata sekadar untuk ujian perlu ditinggalkan.
Justru sekarang harus mulai fokus pada kegiatan pelajar menurunkan atau menemukan rumus-rumus dasar sendiri. Ukuran banyaknya rumus yang dihafal harus diganti dengan dalamnya gagasan matematika yang dipahami. Dengan pengalaman bermakna seperti ini, tidak saja anak jadi memahami secara mendalam dan percaya diri, tetapi juga akan kasmaran bermatematika sekaligus akan berhasrat terus mempelajari matematika.
Yang tak kalah penting ialah merumuskan ulang problem solving atau penyelesaian masalah di sistem pendidikan matematika nasional. Yang sebelumnya diartikan secara sempit sebagai menjawab soal panjang, ruwet, tetapi sudah ”siap santap” dilahap rumus hafalan tertentu perlu diralat. Anggapan sempit penyelesaian masalah matematika sebagai penyelesaian soal yang disajikan dalam bentuk ”cerita” juga perlu diluruskan.
Keterampilan menyelesaikan masalah matematika hari ini diartikan sebagai merancang berbagai jawab untuk masalah tak rutin dari fenomena yang belum tampak jelas konsep matematikanya. Pelajar diharapkan mulai dari menggali gagasan matematika yang tersembunyi dalam fenomena itu dan mematematikakannya, menentukan jawab matematika, sampai menafsirkan jawabnya ke fenomena semula.
Tindak lanjut
Upaya pelajar mengembangkan kecakapan bermatematika bermakna tersebut bukan tanpa kendala. Para guru yang hendak membelajarkan kecakapan bermatematika bermakna ini juga dihadapkan pada kendala.
Ironisnya, kendalanya justru sebagian ada di kebijakan pemerintah sendiri. Rangkaian UN Matematika, Standar Isi Matematika, Kurikulum Matematika, buku ajar matematika, dan pelatihan guru matematika masih setengah hati atau bahkan mengganduli pelajar dan guru mengembangkan kecakapan bermatematika bermakna itu.
Akhirnya, tantangan bagi badan penelitian dan penentu kebijakan pendidikan serta organisasi pendidikan matematika negara-negara di Asia adalah merumuskan kecakapan bermatematika hari ini. Kemudian, dari rumusan ini dirancang alat evaluasi guna mengukur kecakapan bermatematika tersebut. Baru kemudian dapat disusun strategi pembelajaran matematika dan menyiapkan fasilitas pendukungnya yang sistematis mengarah tepat pada pengembangan kecakapan bermatematika itu. Jika ini sudah dilakukan, barulah menggiatkan proses belajar-mengajar masuk akal dan akan memberi dampak berarti.
IWAN PRANOTO
Guru Besar Matematika ITB; Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI New Delhi
Kompas, Jumat, 15 Januari 2016
No comments:
Post a Comment