Di pengujung tahun 2015, Presiden FIFA Sepp Blater dan Presiden UEFA Michel Platini dihukum oleh FIFA. Dua tokoh kunci yang begitu melegenda di dunia sepak bola itu tak kebal juga. Komite Etik FIFA sebagaimana disampaikan hakim asal Jerman, Hans-Joachim Eckert, bahwa Blatter dan Platini dihukum karena bayaran senilai 1,35 juta poundsterling pada 2011. Mereka dilarang terlibat di kegiatan sepak bola selama delapan tahun ke depan. Padahal, sepak bola adalah darah kehidupan mereka.
Sebelumnya, dalam waktu hampir sama, masih di sekitar pengujung tahun 2015, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) tidak memberi putusan tegas terhadap Ketua DPR Setya Novanto dalam kasus ”papa minta saham” PT Freeport. Meskipun semua ”hakim yang mulia” MKD menyatakan Novanto melanggar etika, bahkan beberapa di antaranya mengategorikan berat, tetapi tidak memberi putusan begitu Novanto mundur dari Ketua DPR sebelum sidang putusan MKD rampung. Sidang MKD yang sempat membuat gaduh menjadi antiklimaks. Seakan-akan masalah pelanggaran etik selesai seiring mundurnya Novanto.
Inilah bedanya realitas di negara kita dan negara orang lain. Kalau Blatter dan Platini dihukum ”karier dan kehidupan masa depannya” sehingga peluang untuk mengulangi perbuatan dapat dicegah. Namun, Novanto bukan saja tidak dihukum ”karier dan masa depan kehidupannya” sebagai bentuk pertanggungjawaban seorang politisi yang merupakan pimpinan lembaga negara, malah justru dapat ”promosi” sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR. Apakah pelanggaran etik dalam kasus ”papa minta saham” hanya berlaku untuk jabatan Ketua DPR. Apakah itu berarti anggota DPR boleh melakukan pelanggaran sejenis? Itulah sandiwara politik heboh tahun 2015.
Dikutip dari: M Shuban SD, Sekarang Sudah Tahun 2016, Kompas, Sabtu, 2 Januari 2016
No comments:
Post a Comment