Oleh KOMARUDDIN HIDAYAT
Di zaman modern ini semua agama tumbuh dalam ruang negara. Namun, hubungan antara keduanya tidak selalu harmonis, bahkan masih menyisakan banyak problem serius. Sering kali terjadi kontestasi antara pemimpin agama dan pemimpin negara dalam meraih dukungan publik.
Bahwa institusi agama merasa disaingi oleh negara, hal ini mudah dimaklumi mengingat agama merasa lebih dahulu lahir sebelum negara. Bahkan, agama diyakini sebagai cetak biru Tuhan pemilik semesta, sedangkan negara yang jumlahnya ratusan merupakan evolusi historis dan produk konsensus masyarakat.
Bagaimanakah konsep agama versi negara? Ternyata cukup beragam dan dinamis. Pengalaman Amerika, Eropa, Timur Tengah, dan Indonesia masing-masing berbeda dan saling memengaruhi. Di AS, misalnya, negara mengambil sikap separatif dan netral atas dasar prinsip sekularisme. Agama itu urusan personal. Agama tidak boleh masuk ruang negara. Namun, negara melindungi sepenuhnya hak dan kebebasan warganya untuk menganut keyakinan agama, apa pun agamanya, termasuk keyakinan untuk tidak beragama.
Bagi Abdullahi Ahmed An-Na’im, pemikir kenegaraan dan keislaman asal Sudan yang kini menetap di AS, ketulusan beragama lebih dimungkinkan jika seseorang tinggal di negara sekuler. Sebab, katanya, sikap keimanan dan keberagamaannya lebih ditentukan oleh kesadaran dan kebebasan, bukan karena keterpaksaan atau motif-motif sosial-politik lainnya. Dengan alasan itu pula, An-Na’im berpendapat bahwa Muslim membutuhkan negara sekuler; bukan agar mereka menjadi lebih modern atau liberal, melainkan agar menjadi Muslim yang lebih baik. Selain dapat beriman, beribadah dan beramal semata karena Allah, hak dan kebebasan mereka dalam kehidupan beragama pun dilindungi dan dibela negara secara lebih baik (An-Na’im, 2007).
Menurut dia, sekularisme model AS tidak anti agama, justru menghargai dan melindungi kebebasan individu untuk memilih agamanya dengan tetap menaati kaidah-kaidah hukum negara. Thomas Jefferson (1743-1826), presiden ketiga AS, turut berjasa dalam meletakkan fondasi sikap deistik yang inklusif, yang memberikan kebebasan beragama bagi warga AS. Sebuah teori mengatakan, dasar negara yang semula berbunyi In Jesus I Trust dia ubah menjadi In God We Trust yang diambil dari lagu rakyat AS, ”The Star-Spangled Banner”—karangan Francis Scott Key (1814)—yang sekarang menjadi lagu kebangsaan AS.
Meski AS membela paham sekularisme, sulit membayangkan muncul Presiden AS yang beragama Islam ataupun di luar komunitas Protestan. Pernah sekali penganut Katolik terpilih menjadi Presiden AS (presiden ke-35), yaitu JF Kennedy, yang meninggal terbunuh pada 22 November 1963, di usia 46 tahun, dan masih menyisakan misteri.
Dalam melindungi dan melayani warga negaranya, Pemerintah AS tidak diskriminatif. Oleh karena itu, di AS tumbuh ribuan sekte keagamaan yang kesemuanya relatif berkembang secara damai.
Di Eropa juga terjadi pemisahan negara dan agama, tetapi negara masih memberikan perhatian khusus pada warisan budaya dan simbol-simbol agama. Di Inggris, misalnya, Ratu Elizabeth adalah juga ketua gereja Anglikan. Bahkan, ada blasphemy law, siapa yang menghina ratu sama halnya menghina gereja dan bisa terkena pidana. Di Eropa, ada parpol bernuansa keagamaan yang dibantu oleh negara dalam kategori LSM (lembaga swadaya masyarakat). Berbeda dari AS dan Inggris, kultur sekularisme Perancis mengesankan anti agama. Hal ini mungkin akibat trauma perang antar-agama di masa lalu dan kenangan kolektif yang pahit mengenai hubungan antara gereja dan negara.
Pengalaman Indonesia
Di Indonesia, negara mengakui eksistensi dan peran agama-agama besar dunia, misalnya Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Keenam agama ini kemudian dianggap sebagai agama resmi negara yang didukung secara sosial-kultural, sejauh mereka tidak mengganggu eksistensi negara. Keistimewaan seperti itu terkadang dirasa kurang adil terhadap kepercayaan-kepercayaan lokal yang telah lama ada dan memperkaya budaya nasional. Karena itu, pemerintah berusaha untuk memberinya perlindungan dengan berbagai macam cara guna menjaga keseimbangan dan keadilan.
Kembali ke hubungan negara dan agama, Indonesia bukannya mengambil sikap separatif-sekularistik, tidak juga teokratik, tetapi suportif-akomodatif terhadap agama dalam porsi yang cukup besar. Sikap akomodatif terhadap agama terkadang menghasilkan respons publik yang ambivalen. Misalnya, publik bisa saja mencoba mendesak penerapan syariat di ruang publik dengan klaim sila pertama Pancasila: Ketuhanan yang Maha Esa. Namun, pihak lain bisa juga menolaknya dengan sila ketiga: Persatuan Indonesia.
Ini tampak ambivalen, tetapi sebenarnya keduanya bisa saling menguatkan. Artinya, sah-sah saja ketika nilai-nilai agama dipromosikan di ruang publik, asalkan mengikuti prosedur demokrasi dengan menggunakan argumen kepentingan dan kebaikan publik. Dalam hal ini syariat boleh saja dikedepankan asalkan bisa diyakinkan kepentingan publiknya, misalnya sistem perbankan syariat yang dapat dimanfaatkan oleh pihak mana saja karena manfaat publiknya jelas.
Walaupun tidak menganut paham sekularisme, Indonesia menerapkan prinsip-prinsip kenegaraan dan pemerintahan yang biasa berlaku di negara sekuler. Contohnya, fungsi legislasi dilakukan DPR. Fungsi yudikatif oleh seperangkat sistem peradilan. Fungsi eksekutif dijalankan oleh pemerintah yang berkuasa. Presiden dan wakil presiden sebagai kepala pemerintahan dipilih dalam pemilu yang bebas dan rahasia. Hak asasi manusia (HAM) diterapkan dengan cukup baik.
Tiap warga negara, termasuk umat Islam, berkedudukan sama di depan hukum. Hanya saja, umat Islam yang mayoritas terkadang menuntut lebih dari pemerintah. Ini masuk akal saja karena alasan sejarah dan demokrasi. Sejarah mencatat bahwa umat Islam memiliki saham dan memberi dukungan politik sangat besar bagi lahirnya Republik Indonesia. Mereka tidak pernah ragu mendukung kemerdekaan. Bahkan, mereka memprakarsai ide tentang kemerdekaan, malah banyak yang gugur dalam perjuangan kemerdekaan melawan penjajah. Namun, setelah merdeka hingga sekarang umat Islam merasa hanya menikmati sedikit dari sumber daya ekonomi nasional yang maha besar itu. Salah satu sebabnya mungkin juga dikarenakan pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam lemah dalam pengembangan sains dan ekonomi. Agenda yang menonjol dari Kementerian Agama pun masih berkutat pada pendidikan keagamaan dan dakwah.
Dalam konteks ketidakseimbangan ini, sering kali kita saksikan kekecewaan muncul dari sekelompok umat Islam dengan ekspresinya yang bermacam-macam. Ada yang lembut-lembut, konseptual-intelektual, tetapi ada juga yang agak keras, meskipun pada dasarnya Islam membenci kekerasan. Terlebih lagi kekerasan yang memperalat agama yang jelas tidak sejalan dengan ajaran Islam, kecuali ketika mereka ditindas dan diperlakukan tidak adil. Periksa saja peristiwa-peristiwa sejarah sejak masa kolonial, dari Perang Diponegoro sampai Peristiwa Tanjung Priok di masa Orde Baru. Bahkan, pemberontakan Darul Islam sekalipun, semua itu merupakan protes terhadap ketidakadilan.
Lantas kenapa agama digunakan? Ya, karena itu salah satu sumber daya yang mereka punya dan hanya itu yang bisa menginspirasi mereka untuk menyatakan protes kepada negara secara bersama-sama. Jadi, bukan memperalat agama seperti yang sering kali dituduhkan, melainkan agama digunakan sebagai sumber daya untuk mengekspresikan kekecewaan sosial mereka.
Maka, ke depan, aspek keadilan harus diperhatikan untuk menjaga agar hubungan antara agama dan negara tetap harmonis, apa pun agamanya. Negara dan pemerintah tentu akan terus mendukung perkembangan umat beragama, apalagi jika hal itu bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa serta memperkuat karakter dan identitas nasional guna mengantisipasi persaingan regional ataupun global.
Prinsip keadilan dan kebaikan
Fenomena yang selalu mengemuka, terjadi gesekan hubungan antara negara ketika agama dijadikan instrumen bagi mobilitas dan perjuangan politik untuk memperebutkan kursi legislatif dan eksekutif. Sentimen dan aspirasi keagamaan selalu muncul dan dimunculkan setiap menjelang pemilu dan pilkada. Semua ini menunjukkan betapa kuatnya peran agama dalam proses dan mekanisme politik di Indonesia, sementara negara juga memanfaatkan sentimen agama untuk mendukung legitimasi pemerintah.
Namun, proses negosiasi antara negara dan agama tidak selalu mulus. Terlebih ketika muncul paham dan gerakan agama yang tidak mau mengakui eksistensi negara di atas institusi agama. Muncul ideologi tandingan terhadap negara yang digerakkan oleh sekelompok tokoh agama yang memiliki jaringan kerja sama dengan gerakan transnasional.
Dalam sistem teokrasi, otoritas keagamaan diberi peran politik dan memiliki kekuasaan eksekutif dalam pemerintahan, seperti halnya Republik Islam Iran atau negara Vatikan, sekalipun kepala pemerintahannya dipilih melalui proses pemilihan yang demokratis. Adapun Arab Saudi pada dasarnya sebuah monarki yang kebetulan rajanya seorang Muslim yang sangat peduli kepada kepentingan Islam, bahkan menyebut dirinya sebagai pelayan dua kota suci: Mekkah dan Madinah (khadimul kharamain). Cerita yang tidak sedap didengar adalah Pakistan yang memisahkan diri dari India karena alasan agama. Namun, Republik Islam Pakistan selalu menampilkan peristiwa kekerasan yang berdarah-darah, yang sangat tidak sejalan dengan ajaran Islam.
Dalam ajaran Islam, pemimpin diminta lebih mengutamakan prinsip keadilan, baru diikuti prinsip kebaikan. Adil itu memberikan sesuatu kepada yang berhak, sedangkan kebaikan itu memberikan sesuatu dari yang seseorang miliki untuk membantu orang lain. Jadi, kalau pemimpin bertindak adil, artinya dia memberikan dan melindungi apa yang menjadi hak warga negaranya: tidak pandang mayoritas atau minoritas, tidak mengenal lawan atau kawan.
KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Kompas, Jumat, 13 Mei 2016
No comments:
Post a Comment