Jika Anda membaca media Barat, konsentrasi mereka adalah berita gejolak bursa saham dan kurs. Media Barat luput akan transformasi yang terjadi pada perekonomian. Berada di Tiongkok membuat Anda lebih memahami perubahan yang mencengangkan.
Dua pekerja mengelas kerangka baja yang akan dijadikan papan iklan di Jiaxing, Provinsi Zhejiang, Tiongkok, 24 Maret lalu. (Reuter/Stringer)
Demikian dikatakan Geoffrey Garrett, profesor manajemen dan salah satu dekan di Wharton School of the University of Pennsylvania, AS (Xinhua, 23 April). Garret berada di Beijing, Shanghai, Hangzhou, dan kota-kota lain di Tiongkok tahun lalu untuk membantu dan mengamati proses transformasi ekonomi.
Dia benar. Jangan melihat Tiongkok hanya dari kacamata media Barat. Pertumbuhan ekonomi sedang menurun dan ada gejolak bursa saham, tetapi itu hanya bagian kecil dari potret perekonomian. Tiongkok kini saksama melakukan transformasi yang visioner untuk menata perekonomian masa depan. Tiongkok tak main-main memikirkan masa depan perut 1,4 miliar warganya.
Negara ini belajar dari kegagalan Jepang, kisah sukses Korea Selatan, serta dari Eropa dan AS. Tiongkok tidak menutup telinga pada pandangan asing dan siap belajar serta mau mengakui kesalahan demi perbaikan. Contoh, ketika AS terkena resesi pada tahun 2008, Tiongkok belingsatan karena ekspor menurun, padahal motor ekonomi adalah ekspor. Untuk itu, Tiongkok membeli surat berharga AS guna menopang anggaran Pemerintah AS. Tujuannya agar ekonomi AS tercegah resesi lebih dalam, yang pasti membahayakan ekspor. Di dalam negeri, kebijakan fiskal dan moneter digenjot. Semua ini tak kunjung menolong perekonomian.
Resesi AS bahkan diikuti Eropa pada 2009 karena kebangkrutan keuangan pemerintah di zona euro. Jepang tak bisa diandalkan dengan stagnasi ekonomi sejak 1980-an. Ekonomi Barat yang bertahun-tahun hidup dari akumulasi utang tak bisa diharapkan lagi, ditambah masalah penduduk menua. Ekonomi negara-negara besar tujuan ekspor Tiongkok bertumbangan.
Di dalam negeri, kucuran kredit, hasil stimulus ekonomi pemerintah dan kebijakan moneter, berujung dengan tumpukan kredit macet. Ini bahkan dikhawatirkan meledak, seperti AS dan Eropa. Tiongkok sadar telah melakukan kekeliruan serupa AS dan Eropa, mengucurkan uang semata dan berakhir sia-sia.
"Hal ini memaksa Tiongkok memikirkan lagi strategi perekonomian agar lebih berkesinambungan," kata Michael Spence, seperti dituliskan di jurnal Stanford Graduate School of Business, 8 Mei 2014. Spence adalah mantan salah satu dekan di Stanford University (AS) dan berbagi Hadiah Nobel Ekonomi 2001 dengan Joseph E Stiglitz.
Tiongkok di sisi lain semakin diserbu produk-produk AS, Eropa, dan Jepang. Kelesuan di Barat dan Jepang telah membuat korporasi mereka menjadikan Tiongkok sebagai sasaran pemasaran. Ada sepuluh besar produk bermerek asal Barat yang merambah ke Tiongkok berdasarkan urutan paling disukai, yakni Chanel diikuti Starbucks, Cartier, IKEA, Nike, Adidas, Louis Vuitton, Uniqlo, Dior, dan Burberry.
Saat ekspor melesu, produk impor merebak. Tiongkok terentak telah memasuki pola middle income trap, satu hal yang umum terjadi dalam proses pembangunan. Ada 247 juta jiwa lebih warga kelas menengah Tiongkok yang turut menjebak perekonomian dengan menyukai produk luar. Produk domestik dengan kualitas lebih rendah tersedia, tetapi kurang diminati. Ini disebut sebagai international demonstration effect (efek pamer internasional).
Menghambat impor tidak mungkin karena Tiongkok sudah menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) serta telah menjadi negara eksportir terbesar di dunia.
Tiongkok bergegas. Pemerintah ingin kelas menengah di negaranya menjadi motor penggerak ekonomi lewat konsumsi pada produk-produk domestik. Terlebih lagi pada tahun 2020 akan ada 607 juta jiwa warga kelas menengah, menurut Homi Kharas, ekonom AS dari The Brookings Institution.
Menurut Spence, untuk itu kini Tiongkok tak lagi mengutamakan manufaktur berbasis upah murah, bahkan memindahkannya ke seberang. Tambahan pula Tiongkok menderita polusi akibat manufaktur kategori ini. Di sisi lain, ada tuntutan perbaikan upah untuk mencegah ketimpangan antara wilayah pantai dan pedalaman Tiongkok.
Tiongkok mendorong produksi berbasis teknologi dan padat modal. Ini program yang sudah dimulai 10 tahun terakhir. Akan tetapi, perubahan pertumbuhan perekonomian dunia, jebakan kelas menengah, membuat pemerintah semakin serius.
Garrett mengatakan, pemerintah benar-benar mendorong inovasi teknologi. Salah satunya dia contohkan lewat Xiaomi, perusahaan telekomunikasi, yang berhasil melejit dalam enam tahun terakhir.
Sektor jasa diperdalam. Ada jasa dokter berbasis online, yaitu pasien bertemu dokter lewat dunia maya dan obat dikirimkan via kurir. Yu Gang, salah satu alumnus Wharton, pada tahun 2008 telah mendirikan toko swalayan online, Yihaodian. Pada Juli 2015, Yihaodian telah mengambil alih posisi Walmart sebagai pasar swalayan terbesar di Tiongkok.
Tiongkok relatif membiarkan produk dunia masuk, tetapi di dalam negeri berbenah, termasuk mendorong pendidikan untuk memicu kemajuan teknologi dan jiwa wirausaha warga.
Berhasilkah? Alicia Yu, pendiri dan pemimpin umum Luxe.co, mengatakan, produk Barat bermerek didominasi kelas menengah dengan usia relatif tua. Akan tetapi, produk bermerek buatan Tiongkok lebih disukai generasi lebih muda. Inovasi mulai membuahkan hasil.
Begitulah perkembangan ekonomi Tiongkok yang sedang mengubah paradigma pembangunan dengan prospek yang tinggi.
Menurut riset Credit Suisse, Tiongkok sudah melampaui AS soal jumlah warga kelas menengah berusia dewasa (tabel). Paradigma baru pembangunan akan membuat Tiongkok semakin melejit sekaligus membuat dunia memiliki pasar besar di Tiongkok. "Paradigma ekonomi Tiongkok sangat bagus juga bagi manufaktur dunia," kata Spence.
Orang kaya dunia Bill Gates, yang berkunjung ke Tiongkok awal 2016, juga terkesima. "Saya kira, Tiongkok cukup matang merencanakan perekonomian. Saya sangat terkesan," katanya seperti dikutip Bloomberg, 13 Februari 2016.
(REUTERS/AFP/AP/MON)
Kompas, Minggu, 8 Mei 2016
No comments:
Post a Comment