Oleh AHMAD ARIF
Tsunami Aceh 2004 seperti pembuka kotak pandora tentang betapa rentannya negeri ini terhadap bencana. Namun, kotak ini masih separuh terbuka, belum sepenuhnya menjadi pengetahuan yang menggerakkan perubahan untuk menjadikan negeri ini lebih siaga bencana.
Suasana pesisir laut Aceh yang kembali padat setelah lebih dari 10 tahun dilanda gempa dan tsunami di kawasan Meuraxa, Kota Banda Aceh, Aceh. Upaya mitigasi bencana di Aceh dinilai belum optimal. Pemerintah gagal merelokasi warga dari area pesisir yang dulu terdampak parah tsunami. Kini, daerah itu sudah padat lagi. Di sini lain, pemerintah jarang melakukan simulasi bencana. Akibatnya, warga belum cepat tanggap ketika gempa besar terjadi. (Kompas/Eddy Hasby)
Rencana pengosongan pesisir Aceh yang rentan tsunami dari hunian hanya menjadi wacana. Pesisir yang pernah dilanda tsunami, mulai dari Banda Aceh, Aceh Besar, Calang, hingga Meulaboh kembali dipadati hunian.
Fenomena yang sama terjadi di kawasan lain yang terdampak tsunami, seperti Pangandaran, Jawa Barat, dan Cilacap, Jawa Tengah. Kawasan wisata Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat, dibangun kembali di lokasi yang pernah hancur dilanda tsunami 2006. Fenomena sama terjadi di Cilacap, Jawa Tengah. Hal itu menunjukkan, aspek tata ruang yang peduli mitigasi bencana diabaikan dalam pembangunan di daerah.
Seperti di Aceh, hunian, warung makan, dan hotel kembali menjamur di pesisir Pangandaran. Jarak bangunan dengan pantai rata-rata kurang dari 5 meter dari garis pantai, bahkan sebagian berbatasan langsung dengan laut. Kondisi sama terjadi di Cilacap, Jawa Tengah. Beberapa kawasan yang pernah dilanda tsunami akibat gempa berkekuatan 6,8 skala Richter yang berpusat di Pangandaran kembali dipadati hunian.
Kondisi ironis terjadi di kawasan relokasi tsunami yang jauh dari pantai yang justru ditinggalkan karena warganya memilih kembali pulang ke kampung lama di pesisir. Misalnya di Lhok Kruet, Kecamatan Sampoinie, Aceh Jaya. Menurut survei yang dilakukan Abdul Muhari, peneliti tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, rumah-rumah di relokasi Lhok Kruet yang berada di bukit dan relatif aman dari tsunami hanya dihuni 40 persen. Sebaliknya, kampung lama kembali penuh.
Yuichiro Tanioka, profesor seismologi dari Hokkaido University yang berkunjung ke Aceh, beberapa waktu lalu, mengatakan, ”Ada kecenderungan pola kembali ke daerah berisiko di Aceh, seperti juga halnya di Jepang. Akan tetapi, di Jepang hal itu terjadi bukan dilakukan korban selamat, melainkan oleh pendatang yang tak mengalami langsung kejadian tsunami.”
Tanioka menyimpulkan, kembalinya warga ke daerah berisiko dikarenakan kurangnya fasilitas, sarana, dan prasarana penghidupan di lokasi relokasi. ”Hal ini yang seharusnya dihindari dalam rekonstruksi tsunami di masa depan,” kata Tanioka.
Irina Rafliana dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan fenomena serupa di kawasan Mentawai yang terdampak tsunami tahun 2010. Setelah lima tahun, kawasan relokasi di Dusun Sabeu Gununggung, Km 14 di Pagai Utara, Mentawai, tak tersedia sumber air bersih dan listrik. ”Jika kondisi ini terus dibiarkan, saya khawatir warga kembali ke kampung lama,” katanya.
Belajar dari Jepang
Abdul Muhari mengatakan, ada tiga hal pokok yang menjadi pembeda jika kita melihat hasil rekonstruksi di Aceh dengan Jepang setelah tsunami 2011. Faktor itu adalah regulasi, konsep rekonstruksi, skala prioritas saat tanggap darurat, dan fase pemulihan.
Dari aspek regulasi, Jepang menerbitkan 17 undang-undang (UU) pada 2011. Undang-undang itu terkait pelaksanaan rekonstruksi mulai dari pembentukan badan otoritas, aturan rekonstruksi fisik, ekonomi, tata ruang, struktur pelindung tsunami, pengembangan wilayah baru, keuangan, hingga pajak.
Keberadaan UU itu membuat segala kebijakan yang diambil badan rekonstruksi Jepang memiliki dasar hukum kuat untuk mengosongkan pesisir yang terkena tsunami berketinggian 2 meter lebih dari permukiman.
Di Aceh, tak satu pun produk undang-undang untuk menunjang rekonstruksi. ”UU No 24/2007 lebih pada pengelolaan bencana secara umum dan pembentukan BNPB. Ketiadaan regulasi tertinggi dalam pelaksanaan rekonstruksi menjadikan pengambilan keputusan tak memprioritaskan mitigasi bencana,” ujarnya.
Muhari menambahkan, rapuhnya koordinasi di tingkat perencanaan dan implementasi membuat rekonstruksi Aceh tak terkonsep baik. Misalnya, penyeragaman pola rekonstruksi daerah datar dengan perbukitan. Penduduk di daerah datar, seperti Calang dan Banda Aceh, tentu keberatan dipindahkan ke perbukitan karena jauh dari kawasan mereka sebelumnya.
Di Jepang, untuk daerah datar, seperti Sendai, pola rekonstruksi yang digunakan adalah pola multilayer, yakni proteksi berlapis dengan membangun tanggul tak hanya di pantai, tapi juga di darat. Untuk daerah perbukitan, pola rekonstruksi yang digunakan adalah relokasi ke daerah ketinggian.
Sementara itu, saat fase tanggap darurat dan pemulihan, dari berbagai kasus di Indonesia, cenderung gagal menyediakan hunian sementara yang memadai. Kepastian berapa lama di pengungsian juga tak diberikan. Kondisi itu membuat korban selamat ingin secepatnya kembali ke kampung asal agar segera lepas dari ketergantungan terhadap bantuan. Kondisi sebaliknya terjadi di Jepang. Hunian sementara dibuat dengan amat baik, termasuk kepastian waktu kapan akan di sana.
Jika ketiga persoalan itu tidak dibenahi, rekonstruksi Indonesia setelah bencana hanya akan menanam bom waktu karena gagal membangun kawasan yang lebih aman bencana.
Kompas, Rabu, 24 Desember 2014
No comments:
Post a Comment