Oleh BAGONG SUYANTO
Bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana─termasuk di DAS Bengawan Solo─hujan adalah awal dari situasi krisis yang bakal dihadapi.
Sungai Bengawan Solo (Panoramio/Edy Dwi Rianto)
Meskipun kehadiran hujan bagi petani merupakan berkah tersendiri, musim hujan yang berkepanjangan sering kali justru mempersulit keseharian keluarga-keluarga miskin.
Bagi keluarga miskin di sepanjang DAS Bengawan Solo, hujan deras yang terus menerus adalah isyarat akan datangnya banjir yang bisa menghancurkan sawah-sawah mereka, membanjiri rumah, dan merusak aset produksi yang mereka miliki.
Jika terjadi luapan air di Waduk Gajah Mungkur dan Sungai Bengawan Solo di sekitar Madiun-Solo akibat hujan, dalam 10-12 jam kemudian luapan air akan menerjang daerah langganan banjir di Provinsi Jawa Timur, mulai dari Bojonegoro, Lamongan, Gresik, dan Tuban.
Dampak sosial banjir
Studi penulis tentang “Dampak Sosial Banjir Bengawan Solo” menunjukkan, bencana banjir yang melanda daerah-daerah rawan bencana, seperti Kabupaten Bojonegoro dan Lamongan, menyebabkan keluarga miskin gagal panen, kehilangan aset produksinya, dan terganggu kehidupannya sehari-hari karena genangan air yang tak kunjung surut. Penyakit bermunculan, utang meningkat, ujung-ujungnya kehidupan para keluarga miskin itu menjadi lebih sengsara karena mengalami proses pendalaman kemiskinan.
Di kalangan masyarakat, musim hujan adalah masa yang kerap menciptakan tekanan-tekanan hebat, terutama pada keluarga yang paling miskin, yang kemudian akan mendorong mereka yang paling lemah masuk dalam pusaran kemiskinan. Spiral ketergantungan dan keputusasaan meningkat (Korten & Sjahrir, 1988: 148).
Keluarga miskin yang sehari-hari sudah hidup dalam kondisi pas-pasan, bahkan kekurangan, semakin tidak berdaya ketika bencana menyergap.
Di Kabupaten Bojonegoro dan Lamongan, bencana banjir yang rutin setiap tahun menyebabkan keluarga miskin membuat kehidupan mereka menjadi lebih buruk, dengan peluang bangkit yang sangat kecil.
Ketika banjir melanda, bayangan untuk dapat memanen hasil garapan tiba-tiba raib, yang kemudian terjadi adalah mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Sejumlah keluarga miskin yang diwawancarai menuturkan, setiap kali terjadi banjir, seluruh harapan mereka tiba-tiba hilang dan masa-masa penderitaan dipastikan akan segera menyergap.
Dari 100 keluarga miskin yang diteliti, sebagian besar rumahnya bisa terendam air 1-2 hari, bahkan sampai berhari-hari. Sebanyak 27 persen mengaku rumah mereka terendam hingga lebih dari 10 hari, 10 persen rumahnya terendam 10-12 hari, dan 17 persen terendam 13-15 hari.
Selain rumah, luapan banjir Sungai Bengawan Solo juga akan merendam sawah atau lahan. Dari 100 keluarga miskin yang menjadi korban banjir, sebagian besar mengatakan banjir telah merendam sawah mereka hingga berhari-hari. Sebanyak 24 persen responden mengaku sawahnya terendam 10-12 hari, bahkan 9 persen responden mengaku sawah mereka terendam hingga 13-15 hari atau sekitar 2 minggu penuh. Namun, ada 21 persen responden mengaku sawah mereka hanya terendam 1-3 hari. Ada juga yang terendam selama 7-9 hari (28 persen).
Namun, meski hanya 1-3 hari sawah mereka terendam, dampak banjir relatif sama. Lahan garapan mereka hancur dan ancaman gagal panen muncul di hadapan mata. Tanaman apa pun ketika terendam dan tersapu banjir akan rusak parah. Akibatnya, seluruh investasi yang ditanamkan sia-sia.
Makin sengsara
Sebanyak 40 persen keluarga miskin yang diteliti menyatakan kehidupan mereka menjadi lebih buruk alias lebih sengsara pasca bencana banjir. Bagi keluarga miskin yang setiap tahun menjadi langganan korban banjir, belum usai berbenah untuk bangkit kembali dari bencana yang dialami tahun lalu, mereka sudah kembali tertimpa bencana.
Sawah terendam banjir di di Desa Pucangarum, Kecamatan Baurno, Sabtu (1/10/2016).(Tribratanews.com)
Bisa dibayangkan bagaimana dampak yang dialami. Yang dimaksud kehidupan mereka lebih buruk di sini, bukan saja mereka terpaksa mengalami proses pendalaman kemiskinan, melainkan juga tekanan kebutuhan hidup yang makin menjejas karena tidak dimilikinya tabungan, usaha, dan penghasilan uang cukup.
Pada masa tidak terjadi bencana saja kehidupan sehari-hari keluarga miskin sudah dihadapkan pada berbagai kesulitan. Bisa dibayangkan apa yang terjadi ketika keluarga miskin itu masih dilanda bencana yang memusnahkan harapan mereka.
Bagi keluarga miskin, dampak yang ditimbulkan pasca banjir bermacam-macam. Yang pertama dan paling sering terjadi adalah bencana banjir menyebabkan utang mereka meningkat.
Kedua, akibat banjir yang merusak lahan garapan dan rumah mereka, sebagian besar tabungan─kalaupun ada─akhirnya terkuras habis.
Ketiga, banjir yang terjadi karena luapan Sungai Bengawan Solo juga menyebabkan aset produksi mereka rusak, khususnya lahan garapan atau toko/warung yang mereka kelola.
Keempat, ancaman terjadinya gangguan kesehatan anggota keluarga miskin. Selama musim hujan, ancaman penyakit memang memuncak. Seperti dikatakan Chambers (1988), di kalangan masyarakat miskin, ancaman musim hujan adalah malaria dan kadang-kadang diare. Selain itu, penyakit cacing guinea (Dracunculus medinensis) dan infeksi kulit menjadi ancaman lainnya.
Kondisi daerah yang lembab akibat banjir menjadi habitat yang subur bagi berbagai penyakit yang menyerang keluarga miskin. Sebanyak 31 persen keluarga miskin menyatakan anggota keluarga mereka sering terserang penyakit ketika bencana banjir tiba.
Tak mudah bangkit
Untuk memulai kembali usaha yang ditekuni pasca banjir, bukanlah hal yang mudah. Ketika aset produksi mereka rusak, lahan garapan rusak, bahan baku hilang, ditambah berbagai persoalan lain, salah satu masalah besar yang dihadapi keluarga miskin untuk membangun kembali usahanya adalah persoalan modal.
Dari 100 keluarga miskin yang diwawancarai, hanya 12 persen yang bisa membiayai sendiri kebutuhan modal usaha mereka. Sebagian besar keluarga miskin yang lain menyatakan bahwa untuk memulai kembali usaha, mereka, menggantungkan diri pada bantuan dari pemerintah (18 persen), bantuan dari kerabat (29 persen), atau terpaksa meminjam dari lembaga kredit formal (20 persen) dan lembaga kredit informal (21 persen).
Dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan, bahkan kekurangan, memang merupakan hal yang mustahil bagi keluarga miskin untuk dapat segera membangun usahanya yang hancur dengan kekuatan sendiri. Dalam banyak kasus, upaya mengembangkan kembali usaha biasanya mengandalkan pada peran dan uluran tangan patron-patron atau orang kaya setempat. Namun ketika keberadaan pranata sosial patron- client mulai memudar, pihak yang diharapkan keluarga miskin untuk membantu mereka adalah pemerintah dan lembaga permodalan lain. Padahal, lembaga keuangan informal umumnya memberi pinjaman dengan bunga yang mencekik leher.
Diakui atau tidak, selama ini upaya penanggulangan bencana minim mendapat dukungan masyarakat karena adanya anggapan bahwa penanggulangan bencana adalah wujud dari salah satu fungsi pemerintah dalam perlindungan masyarakat.
Di sejumlah daerah, ketika bencana tiba-tiba menyergap, sering terjadi masyarakat bersikap pasif, berharap penanggulangan bencana sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah.
Bangkitkan sistem sosial
Ke depan, untuk meningkatkan efektivitas penanganan masyarakat korban bencana, seluruh sistem, pengaturan, organisasi, rencana, dan program yang berkaitan dengan penanggulangan bencana, khususnya di daerah rawan banjir, harus benar-benar terpadu. Di samping itu, yang tak kalah penting upaya penanggulangan bencana juga harus melibatkan semua pihak sejak fase pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, hingga fase pemulihan.
Untuk menghindari dampak bencana yang berpotensi merugikan masyarakat, selain mencoba menyiasati melalui perencana yang sifatnya teknis-planologis, yang tak kalah penting adalah dengan meningkatkan daya tahan masyarakat dalam menghadapi dampak bencana.
Melatih masyarakat peka mengantisipasi bencana dan meningkatkan kapasitas masyarakat untuk segera bangkit kembali pasca terjadinya bencana adalah solusi yang paling efektif menghadapi situasi darurat bencana yang setiap saat mengancam negeri ini.
BAGONG SUYANTO
Dosen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Meneliti Dampak Bencana Banjir di Kalangan Masyarakat Miskin di DAS Bengawan Solo
Kompas, Sabtu, 10 Desember 2016
Warga melintasi jalan yang terendam banjir Sungai Bengawan Solo di Desa Piyak, Kecamatan Kanor, Bojonegoro, Jawa Timur, Senin (18/2/2013). Banjir yang mencapai ketinggian satu meter tersebut memutus jalan yang menghubungkan antara kecamatan Kanor dengan dengan Kecamatan Sumberejo. (Kompas/Bahana Patria Gupta)
Warga Ngablak Kecamatan Kalitidu Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur Selasa (9/4/2013) menerjang banjir Bengawan Solo. Sekitar 3000 warga Bojonegoro sudah mengungsi ke tanggul, balai desa, gedung serbaguna dan rumah saudara. (Kompas/Adi Sucipto)
Anak-anak di Desa Dukun Anyar di Kecamatan Dukun, Gresik, sedang asyik bermain air banjir yang merendam desanya, Minggu (27/11/2016). (Kompas/Hamzah Arfah)
No comments:
Post a Comment