Oleh AHMAD ARIF
Seorang kawan, pegiat taman bacaan, tersentak saat akan menyampaikan bantuan buku ke Desa Caringin, pelosok Sukabumi, Jawa Barat. Ia mencoret daftar buku ilmu pengetahuan alam karena membaca catatan guru sekolah dasar di sana, pemuka agama setempat melarang ajaran ilmu kebumian.
“Ia meminta saya tak mengajarkan bentuk Bumi dan peredarannya karena bertentangan dengan agama,” ujar Mulyadi, guru itu dalam laman blognya.
Menurut Mulyadi, pemuka agama itu menjelaskan bentuk Bumi datar. Konsep Bumi mengitari Matahari dianggap tak sesuai karena Matahari beredar dari timur ke barat. “Jika tetap mengajarkan IPA, khususnya tata surya, saya dianggap kufur.”
Melalui sosial media, saya menemukan sosok Mulyadi. Ia bercerita, kejadian itu dialami saat bertugas jadi guru di sekolah dasar negeri Caringin, lima tahun lalu. “Saat itu, Caringin amat terpencil. Warganya tertutup, tak ada televisi dan radio. Kiai jadi tokoh kunci di desa,” ucapnya.
Kini, Mulyadi berpindah ke sekolah lain di Sukabumi selatan. Sebelum ia meninggalkan Caringin tiga tahun lalu, perubahan mulai terjadi seiring keterbukaan dan rasa percaya yang terbangun.
Mulyadi mengajak berdiskusi. Beberapa kali pak kiai diundang ke sekolah, diputarkan video dan ditunjukkan foto-foto Bumi dari angkasa setelah ditayangkan pembacaan ayat Al Quran. Akhirnya, dua anak kiai yang semula tak disekolahkan, menjadi muridnya di SD itu. Keterbukaan informasi dan dialog jadi kunci perubahan.
Paradoks internet
Keterbukaan informasi bukan jaminan kemajuan pengetahuan. Saat dunia kian terhubung lewat internet, paham lama yang percaya bahwa Bumi datar justru bangkit lagi.
The Flat Earth Society, kelompok dibentuk pada 1956, mendapat pengikut di sejumlah blog sejak 2004 dan forum diskusi dunia maya. Kelompok itu⎼dibentuk orang Inggris, Samuel Shenton⎼percaya, bentuk Bumi seperti disket, Kutub Utara di tengah dan Kutub Selatan di batas terluar berselimut es.
Fundamentalis Kristen asal Amerika, Charles K Johnson, meneruskan gerakan Shenton, menganggap gambar Bumi bulat dari angkasa sebagai kebohongan sistematis. Pendaratan Apollo 11 di Bulan disebut konspirasi. Menurut Johnson, jatuhnya satelit Challenger pada 1986 sebagai hukuman Tuhan (Regal, 2009).
Di Indonesia, grup Indonesian Flat Earth Society di Facebook dan kelompok lain mempromosikan paham Bumi datar dan mengunggah di Youtube. Paham itu dibumbui tafsir agama.
Ketegangan agama dan ilmu pengetahuan jadi soal lama. Galileo Galilei (1564-1642), ilmuwan, pendukung teori heliosentris, Bumi mengelilingi Matahari, ditahan atas pandangan itu oleh gereja Katolik di Roma. Teori itu di Barat dikembangkan Copernicus (1473-1543). Lalu, 350 tahun setelah kematian Galileo, gereja Katolik mengakui keliru atas pandangan sains. Saat itu, teori Bumi bulat dan Bumi mengitari matahari telah kukuh.
Brian Regal dalam buku Pseudoscience: A Critical Encyclopedia (2009) memasukkan konsep flat earth sebagai pseudosains, sesuatu yang seolah-olah ilmiah, tetapi tak sesuai kaidah sains. Contohnya, ada guru besar, lulusan Amerika Serikat, percaya kemampuan Dimas Kanjeng Taat Pribadi “menggandakan uang” dengan teori gravitasi, fisika kuantum, hingga transdimensi.
Pseudosains pun tampak dari pernyataan Donald Trump bahwa perubahan iklim ialah hoax dan ciptaan Tiongkok agar industri AS tak kompetitif. Ia membantah ribuan artikel ilmiah perubahan iklim. Nyatanya Trump terpilih sebagai presiden AS.
Psedosains bisa melanda siapa saja, mulai dari orang yang jauh dari pengetahuan hingga mereka yang terpapar informasi.
Kompas, Rabu, 28 Desember 2016
No comments:
Post a Comment