Oleh ABDULLAH FIKRI ASHRI
Setiap tahun, menyambut peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, kompleks keraton di Kota Cirebon, Jawa Barat, didera kemacetan lalu lintas. Ribuan orang hilir mudik di antara pedagang dan kendaraan. Uniknya, saat itu pula, semangat toleransi antarumat yang berbeda agama dan suku tak sekejap pun macet.
Pengunjung memadati Mande Manguntur di kompleks Keraton Kanoman, Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (12/12). Ribuan pengunjung hilir mudik di Keraton Kanoman untuk ikut serta dalam rangkaian peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. (Kompas/Abdullah Fikri Ashri)
Seperti malam itu, Senin (12/12), di sepanjang Jalan Pulaseran, sekitar Keraton Kasepuhan, Kota Cirebon, pedagang makanan dan pakaian memadati bahu jalan yang juga telah menjadi tempat parkir. Hujan mengguyur tanpa henti.
Ribuan orang berdesak-desakan di keraton yang berdiri lebih dari lima abad itu. Berbagai suku dan agama menyatu dalam tradisi Panjang Jimat, puncak acara Maulid Nabi Muhammad SAW. hal itu tampak dalam acara sungkeman atau silaturahim antara Sultan Keraton Kasepuhan XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat dengan masyarakat, termasuk dengan warga Tionghoa.
“Saat ini, yang perlu diteguhkan ialah toleransi di antara kita. Jangan sampai bangsa kita terpecah,” ujar Arief malam itu.
Prosesi Maulid atau muludan di “Kota Wali” memang menjadi momen memperkuat toleransi. Tidak sulit mendapatkan contoh. Halaman depan Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh dan Perguruan Advent Cirebon (PAC) yang terletak di sekitar keraton, misalnya, diokupasi pasar tumpah muludan.
Bagi Kepala Sekolah TK dan SD PAC, Marni, meskipun muludan bukan bagian dari ritual agamanya, ia tidak mengeluhkan kemacetan yang dipicu Pasar Maulid. Bahkan, halaman parkir gereja dan sekolah dijadikan tempat pengunjung peringatan hari besar Islam itu.
Padahal, tradisi peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Kota Cirebon tidak berlangsung sehari dua hari. Pada pedagang berjualan sejak pukul 10.00 hingga 22.00 di bahu jalan sebulan penuh. “Sekolah dan jemaat enggak terganggu. Ibadah kami setiap hari Sabtu pagi, sebelum pedagang berjualan. Kami juga saling mengajak untuk berbelanja di muludan,” ujarnya.
Kepala PAC, J Siboro, menuturkan, meskipun berbeda agama dan suku, toleransi tetap menjadi yang utama. Sebelum peringatan Maulid, pihaknya rapat bersama pihak Keraton Kasepuhan dan aparat kecamatan untuk menyukseskan acara itu.
“Kami mencoba membantu sebisanya. Kalau Idul Fitri, kami mengunjungi Sultan Keraton Kasepuhan,” ujarnya.
Di sekolah beragama Kristen itu juga terdapat empat guru beragama Islam. Mereka mengajar dengan mengenakan jilbab.
Sekitar 1 kilometer ke arah utara, semarak menyambut Maulid juga tampak di Keraton Kanoman. Pasar Kanoman lebih ramai dengan pengunjung dan pedagang baru. Sekitar 400 meter dari keraton, terdapat kawasan Pecinan, sebagai salah satu pusat perdagangan. Pedagangnya kebanyakan etnis Tionghoa. Tidak terasa sedikit pun persaingan antarpedagan yang berbeda etnis tersebut.
Pasar Maulid juga menjadi tempat bagi siapa saja, tak peduli agama dan etnisnya. Setidaknya 700 hingga 1.000 pedagang atau usaha kecil menengah, berpartisipasi di pasar itu. Perputaran uang diperkirakan Rp 20 miliar dalam sebulan.
“Non-Muslim di Kota Cirebon berkontribusi besar dalam perekonomian dan kehidupan sosial umat Muslim. Begitu pun sebaliknya. Mereka saling mendukung,” ujar Sultan Sepuh Arief.
Kesejukan relasi sosial itu tidak terbentuk dari program pemerintah daerah ataupun pusat. Akan tetapi, selama berabad-abad secara turun-temurun diselenggarakan oleh keraton dan masyarakat.
Warisan besar
Menurut Arief, toleransi tersebut merupakan warisan besar Syekh Syarif Hidayatullah yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, salah satu dari wali sanga, ulama besar di Jawa sejak abad ke-15 Masehi.
Antrean kendaraan hingga 1,5 kilometer terjadi di Jalan Raya Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, tepatnya sekitar makam Sunan Gunung Jati. (Kompas/Abdullah Fikri Ashri)
Pengunjung memadati Bangsal Sekaten di kompleks Keraton Kanoman. (Kompas/Abdullah Fikri Ashri)
Nayaga, pemain gamelan, memainkan gamelan pusaka di Keraton Kanoman, Kota Cirebon, Jawa Barat. Gamelan yang berumur lebih dari 500 tahun itu hanya dimainkan menjelang perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. (Kompas/Abdullah Fikri Ashri)
Sebagai pemimpin, Sunan Gunung Jati paham betul akan pentingnya keberagaman dan sifat toleransi. Apalagi, berdasarkan naskah Purwaka Caruban Nagari yang ditulis tahun 1720 oleh Pangeran Arya Carbon, Cirebon berasal dari kata Sarumban lalu diucapkan Caruban yang berarti campuran. Orang berbagai etnis, dari Jawa, Tionghoa, hingga Arab yang berada di wilayah Panjunan bercampur di kota ini.
Tengoklah arsitektur keraton dan sejumlah masjid yang merupakan akulturasi budaya. Bangunan Siti Inggil di Kasepuhan dan Kanoman, misalnya, mengadopsi gerbang berupa bangunan berundak bercorak Hindu.
Bahkan, Sunan Gunung Jati tidak mengubah nama bangunan itu. Nama Panca Niti yang merupakan tempat istirahat pejabat Keraton Kanoman, misalnya, tidak berganti.
“Ini bukti bahwa Sunan Gunung Jati tidak merusak kepercayaan yang sudah ada sebelumnya. Meskipun berbeda etnis dan agama, masyarakat di Cirebon sadar persatuan,” ujar Cepi Irawan, kerabat Keraton Kanoman.
Keramik asal Tiongkok, misalnya, juga menempel di dinding kompleks Keraton Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Peguron Kaprabonan, serta Masjid Sang Cipta Rasa dan Masjid Merah Panjunan.
Profesor Dadan Wilda dalam bukunya Sunan Gunung Jati (Petuah, Pengaruh dan Jejak-Jejak Sang Wali di Tanah Jawa), corak Tionghoa masuk ketika utusan perdagangan Tiongkok yang dipimpin Laksamana Cheng Ho atau dikenal dengan nama Sampo Kong tiba di Cirebon. Sunan Gunung Jati menerima hadiah keramik dan bahan porselen lain. Ia juga menikah dengan Putri Ong Tien asal Tiongkok.
“Itu sebabnya, setiap acara besar warga Tionghoa di Cirebon juga menjadi kegiatan bersama masyarakat di Kota Wali,” ujar Sidik Sugiharto, Ketua Wihara Dewi Welas Asih. Saat perayaan Cap Go Meh, misalnya, ribuan orang memadati Jalan Kantor, sekitar wihara. Keraton ikut terlibat dalam acara itu.
Replika kereta Kencana Paksi Naga Liman dari keraton juga tersaji. Kereta peninggalan leluhur Cirebon itu menyimbolkan hibriditas kebudayaan. Dua sayap di kiri dan kanan menyimbolkan paksi atau burung (buroq) yang mewakili Islam. Adapun wajah yang mirip naga, tetapi memiliki belalai masing-masing melambangkan peninggalan Tionghoa dan Hindu.
Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW telah usai. Denyut toleransi di Kota Wali pun terus hidup.
Kompleks makam Sunan Gunung Jati di Cirebon, Jawa Barat, yang dihiasi keramik asal Tiongkok. (Kompas/Rini Kustiasih)
Kereta Singabarong di Keraton Kasepuhan, Cirebon, Jawa Barat. (Kompas.com/Fitri Prawitasari)
Keramik-keramik berwarna cokelat ini dibawa ke keraton Kasepuhan, Cirebon pada sekitar 1745. Keramik-keramik yang berisi cerita para nabi dalam Kitab Perjanjian Lama dipasang sebagai hiasan di salah satu sudut keraton. Keberadaan keramik-keramik ini semakin membuktikan bahwa keraton menjadi pusat percampuran berbagai budaya. (Kompas.com/Ervan Hardoko)
Kompas, Minggu, 18 Desember 2016
No comments:
Post a Comment