Saturday, 8 April 2017

Suriah

Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Suriah adalah sejarah panjang. Di awal sejarah, wilayah ini dikenal dengan nama Eber Nari (seberang sungai, yakni seberang Sungai Eufrat) oleh orang-orang Mesopotamia. Wilayah yang masuk Eber Nari adalah Suriah, Lebanon, Israel, Palestina, dan Jordania. Wilayah itu dahulu juga disebut sebagai Levant. Nama Eber Nari merujuk pada buku-buku karya Ezra dan Nehemiah, juga laporan sejarawan para raja Assyria dan Persia. Nama Nari muncul sekitar 5000 SM.
Ada yang berpendapat bahwa nama “Suriah” berasal dari “Assyria” untuk menyebut seluruh wilayah Mesopotamia. Yang pertama kali menyebut seluruh wilayah Mesopotamia sebagai Assyria adalah Herodotus (lahir 485 SM), penulis dan ahli geografi Yunani, sampai akhirnya ketika wilayah itu berada di bawah kekuasaan Kerajaan Seleucid, nama Assyria menjadi Suriah. Orang-orang Yahudi kuno menyebut wilayah tersebut sebagai “Siryon”, dalam bahasa Yahudi kata “siryon” berarti “baju baja” yang dipakai saat perang.
Teori lain menyatakan bahwa kata “Suriah” berasal dari kata “Siddonian”, yakni nama untuk menyebut Gunung Hermon. Gunung ini memisahkan wilayan Eber Nari bagian utara dengan Phoenicia bagian selatan (sekarang disebut Lebanon). Teori lain lagi menyebutkan, “Suriah” berasal dari kata Sumeria, yakni “Saria” nama lain Gunung Hermon (Joshua J Mark: 2014).
Apa pun namanya, semuanya menunjukkan sekaligus membuktikan bahwa “Suriah adalah sejarah panjang,” sepanjang peradaban manusia. Para arkeolog, misalnya meyakini bahwa di Suriah pernah ada salah satu kota paling kuno di dunia. Sebutnya Ebla, sebuah kota yang diyakini oleh para arkeolog telah muncul pada sekitar tahun 3000 SM. Di kota yang terletak di kawasan Bulan Sabit Subur inilah, salah satu bahasa tulisan tertua dikenal. Sekarang Ebla dikenal dengan nama Tall Mardkh, juga sering disebut Tell Mardikh. Kota tua ini terletak sekitar 53 kilometer barat daya kota Aleppo, Suriah.
Ebla adalah salah satu kota di Suriah yang sejak zaman dahulu menjadi rebutan para penguasa dari Mesir, Hittites, Sumeria, Mitanni, Assyria, Babilonia, Kanaan, Phoenisia, Aramea, Amorit, Persia, dan akhirnya Suriah jatuh ke tangan orang-orang Yunani di bawah pimpinan Aleksander Agung. Penguasa Yunani inilah yang dikisahkan memberikan nama wilayah itu menjadi Suriah. Pada tahun 64 SM, Gnaeus Pompeius Magnus (Gnaeus Pompeius Agung) yang juga disebut Pompey Agung (106 SM-48 SM), seorang komandan militer terkemuka dan politisi Republik Romawi, merebut Antiokhia, ibu kota Yunani (yang sekarang bagian dari Turki dan pernah menjadi wilayah Suriah). Sejak saat itu, Suriah menjadi provinsi Romawi. Dari Antiokhia inilah pasukan Pompeius bergerak ke selatan dan pada akhirnya menguasai Jerusalem di Yudea.
Dalam sejarah Kristiani, Suriah merupakan bagian penting dalam penyebaran agama, yakni dimulai dengan kisah Saulus di Damaskus, Saulus yang kemudian bernama Paulus adalah rasul yang menyebarkan agama Kristiani di Suriah, salah satunya Antiokhia, saat Suriah berada di bawah kekuasaan Romawi. Dari tangan Romawi, Suriah pada tahun 637 jatuh ke tangan tentara Muslim, yang kemudian mendirikan Dinasti Umayyad dan menjadikan Damaskus sebagai ibu kotanya. Pada tahun 750 (758?), Dinasti Umayyad ditundukkan oleh Dinasti Abbasiah, yang memindahkan ibu kotanya ke Baghdad, Irak.
Kisah Suriah masih panjang, sampai di akhir PD I, Inggris dan Perancis membuat kesepakatan rahasia membagi wilayah Ottoman yang mulai pudar. Pada 1916, Inggris dan Perancis menandatangani Perjanjian Sykes-Picot, yang merupakan dasar pembagian wilayah Ottoman menjadi zona Inggris dan Perancis. Suriah masuk ke dalam zona Perancis. Pada 1918, ketika pasukan Arab dan Inggris merebut Damaskus dan Aleppo, Suriah dimasukkan ke dalam mandat Liga Bangsa-Bangsa dan kemudian, pada 1920, di bawah kontrol Perancis, sampai akhirnya merdeka pada 1946 (meskipun deklarasi kemerdekaan dilakukan pada tahun 1944, tetapi tahun 1946 dipilih sebagai hari kemerdekaan berbarengan dengan penarikan mundur pasukan Perancis).
Semua itu, sejarah. Sejarah Suriah, bagian dari masa lalu Suriah. Kini, Suriah adalah nestapa. Suriah adalah bencana. Suriah adalah malapetaka. Suriah adalah hilangnya rasa kemanusiaan. Suriah adalah musnahnya nilai-nilai kemanusiaan. Suriah neraka dunia. Suriah adalah tragedi. Masih bisa lebih panjang lagi litani tentang kesengsaraan Suriah saat ini. Suriah adalah sebuah negeri tempat manusia membunuh manusia lain, dengan berbagai macam senjata termasuk senjata gas saraf, demi yang namanya kekuasaan. Di Suriah, kekuasaan menjadi sangat kejam, tidak punya mata dan hati.
Sejak pecah perang pada Maret 2011, sudah lebih dari 4,8 juta orang Suriah mengungsi, meninggalkan negara berpenduduk 22 juta jiwa itu ke berbagai negara. Negara-negara Eropa termasuk yang kebanjiran pengungsi dari Suriah. Lebih dari 6,3 juta orang juga tersebar ke pelbagai pelosok Suriah, meninggalkan kampung halaman mereka untuk mencari selamat. Jumlah warga sipil yang tewas mencapai angka 400.000. Lebih dari 13,5 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Semua itu merupakan angka-angka moderat. Bisa jadi jumlah korban tewas, pengungsi, dan orang yang membutuhkan bantuan lebih besar lagi.
Lembaga-lembaga kemanusiaan dunia melaporkan, selama ini terjadi pelanggaran secara sistematis terhadap hak-hak asasi manusia dan pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh semua pihak yang berkonflik, baik pemerintah maupun oposisi termasuk kelompok yang menyebut dirinya Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Tersebar berita, telah terjadi eksekusi massal, pemerkosaan, dan kejahatan seksual secara sistematis, penyiksaan, serta perlakuan tidak manusiawi terhadap tahanan perang. Pada saat bersamaan, kekurangan makanan, air bersih, obat-obatan, serta sarana kesehatan terjadi sehingga beragam penyakit muncul.
Pada akhirnya, ke mana Suriah melangkah. Negeri yang dahulu indah dan elok, makmur, dan menjadi bagian dari palung peradaban dunia, kini semakin meninggalkan nilai-nilai peradaban manusia.

Kompas, Minggu, 9 April 2017

No comments:

Post a Comment